Terimakasih telah membaca chapter <#39 Pertanyaan> ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya! (Kritik dan saran sangat diapresiasi)
Alam bawah sadar, sesuatu yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup, entah itu hewan maupun manusia. Berisikan akan kenangan, memori, perasaan, hasrat, maupun trauma yang tidak mengenakkan sekalipun. Dan alat ini, adalah alat yang dapat memvisualisasikan 'hal yang paling ditakutkan' tersebut. Mind Interpreting System, atau yang biasa disebut sebagai MIS ini, kerap kali digunakan dalam bidang psikologis. Namun, diperlukan sebuah kondisi sebagai salah satu syarat utama untuk menjalankan sistemnya, yakni orang yang akan ditafsirkan harus dalam keadaan tertidur… atau tidak sadarkan diri. | Bip.. bip.. bip.. Bunyi sebuah mesin dengan monitor yang menampilkan layar hitam kosong. “Bagaimana?” tanya Dua. “Seperti yang kau lihat, tidak ada respon apapun dari otaknya.” jawab Empat. “Ini sudah yang kedua kalinya lho… Kemarin hasilnya juga seperti ini…” ujar Satu. “……” Tiga hanya diam. Tiba-tiba Barrelth keluar dari ruangan pengawas, berjalan masuk ke dalam ruangan pasien dan mulai mencab
“Hmm~ hmm~ hm~~” Dengan langkah kecilnya ia berlari-lari kecil menyusuri koridor. Sebuah robot berbentuk rakun berwarna putih bercampur biru melayang dan mengikutinya dari belakang. Lalu ia mengintip melalui celah-celah jendela kaca yang berada di depan sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu terlihat seorang anak perempuan remaja yang sedang duduk di balik layar sebuah komputer. Melayang dua buah layar hologram di sebelah kiri dan kanannya. “??” Anak itu menyadari kedatangannya. Lalu ia terlihat mengucapkan satu atau dua patah kata dan pintu ruangan pun terbuka. “Kakak!” teriaknya berlari masuk dan langsung melompat ke pangkuan sang kakak. “Hmm? Ada apa?” balas sang kakak. “Tidak. Manggil aja! Ehehe!” Sang kakak tersenyum. “Bagaimana dengan kelas senimu hari ini?” Kemudian ia menjelaskan dengan panjang lebar dan tingginya. “Wa-wah… seru ya…” ucap sang kakak yang bingung harus merespon apa setelah mendengar kisah tak jelas tersebut. “Oh iya, kak! Hari ini mama buat kue ungu lagi
-Lantai xxx, ruang ABCD- Serpihan-serpihan cahaya biru keputih-putihan mulai bermunculan di sudut ruangan, semakin banyak dan semakin banyak hingga berkumpul menyerupai seorang manusia. “Aku masih tidak terbiasa melihat ini. Silau sekali seperti cahaya Ilahi.” ujar Sharon yang sudah beranjak dari tempat duduknya. “Wajar, kamu kan selalu datang yang paling terakhir setiap kita kumpul-kumpul di sini.” balas Monic. “Enak saja! Kalian kadang juga datang yang paling terakhir! Kali ini saja Haylee yang datang terakhir…” Monic hanya menangguk-angguk dan menggumamkan, “oh... gitu, oh… gitu… iya iya iya…” iya-in aja dah. Kembali ke serpihan-serpihan cahaya. Ketika penggabungan telah sempurna, cahaya tersebut meredup dan menampilkan sebuah avatar dengan kode nama… [ Hei ] “Haylee, Haylee! Jadi apa yang kalian bicarakan bulan kemarin…?!” ujar avatar dengan kode nama ‘Sharr’ itu bahkan sebelum ia selesai membuka matanya. “…..tu-tunggu dulu. Sabar.” jawab Haylee berjalan melewati. Kemudian ia
-Lantai 75, Brown’s Manipedi- Pukul tujuh malam, dimana merupakan jam-jam tersibuk kedua pada setiap toko publik, baik yang pusat maupun yang cabang, di berbagai lantai. Setiap staff melakukan tugasnya masing-masing tak terkecuali. “Selamat datang di Brown’s Manipedi!” Hazzel menyambut setiap tamu. “Apa anda ingin menggunakan desain yang kami rekomendasikan ataukah ingin membuat desainnya sendiri?” Fuschia menunjukkan sebuah layar berisi jejeran desain-desain cat kuku yang pernah dipoles di dalam toko tersebut sejak 27 tahun yang lalu. Sang pelanggan pun terkagum-kagum. “Kita lanjut ke proses evaporasi ya kak…” ujar seorang staff lain yang memasangkan sebuah alat seperti helm ke kepala salah seorang pelanggan. “Kayaknya dia ketiduran…” gumam seorang staff lain memaku pandangannya pada sang pelanggan yang sedang mengorok. “Yasudah, biarkan dulu saja lah.” sahut staff yang lain. Pip! “Azure! Kalau sudah selesai, tolong tangani nomor 27!Carob! Nomor 43 sudah siap untuk ke proses s
“…lalu berikutnya Tuan Anomen!” Terdengar suara tepuk tangan yang cukup meriah dari layar. Visera yang mendengar itu langsung berbalik dan menatap tajam ke arah layar. Dilihatnya sosok pria paruh baya yang terlihat sangat familiar itu sedang tersenyum ramah dan menyapa para khalayak. Itu… papa…? Visera terdiam. Pandangannya masih terpaku ke layar. “Vis? Ada apa?” tanya Dan ikut menoleh ke layar. Terlintas sebuah pertanyaan di benaknya. Ingin ia menanyakan hal tersebut. Namun segera ia urungkan, mengingat banyaknya mata dan telinga yang bisa saja melihat dan mendengar perkataannya. Dan hanya bisa menatap secara bergantian kedua pasang mata berwarna jingga keemasan tersebut. “???” Visera kebingungan dengan tingkah laku Dan. “Yuk, pulang.” ajak Dan. Visera menoleh dan menatap uluran tangan tersebut. “Atau kamu mau daftar ke akademi itu?” tanya Dan lagi. Visera menggeleng. “Tidak, ayo pulang.” ucapnya berjalan mendahului Dan. Dan lalu menurunkan tangannya dan kemudian berjalan menyusul
-Lantai 130, gerbang masuk- Dari kejauhan, dapat dilihat dua orang siswi berseragam tengah berjalan melewati gerbang dan menuju aula tempat diadakannya upacara penerimaan siswa baru. “Hehe… hehe…” siswi yang berambut ungu dan dikuncir kuda tidak bisa berhenti terkekeh. “Hish, berisik…!” teriak seorang siswi lain. Rambut merah muda cerahnya digerai hingga menutupi lehernya, membuat setiap pasang mata yang berpapasan dengannya terpaku ke arahnya. Namun bukannya menjadi diam, tawa temannya itu malah semakin menjadi-jadi. | Dua hari yang lalu… -Lantai 49, gudang- Ding! Muncul sebuah pesan notifikasi pada layar hologram yang ada di atas meja. Bayangan rambut berwarna merah muda yang terpantulpun memudar. [ Selamat! Anda dinyatakan LAYAK untuk menjadi bagian dari akademi kami. Untuk perinciannya, dapat diunduh di sini. Jika masih ada hal yang kurang jelas, anda dapat mengirimkan pertanyaan ke alamat surel yang tertera di bagian atas. ] [ Ingin melakukan proses lebih lanjut? ( Ya /
Samar-samar ia membuka kelopak matanya. Dilihatnya langit-langit ruangan yang sejajar dengan batang hidungnya. Jaraknya cukup dekat. Mungkin dia tidak bisa menegakkan tubuhnya jika berdiri di atas ranjang. Dari kejauhan, sebuah jendela bertirai menghadap lurus ke arahnya. Tunggu, ini kan?! sontak ia langsung bangun dari tidurnya dan melihat ke sekelilingnya. Ah… bukan… batinnya memasang ekspresi kecewa begitu melihat sesosok manusia yang sedang terlelap di tempat tidur seberangnya. Tergantung sebuah wig berwarna merah muda di atas dinding. “Sekarang ini kita sedang berada di lantai 131, tepatnya di APPT Dormitory!” Celetuk sebuah suara di telinganya. “Iya, aku tahu. Kamu selalu muncul di saat-saat yang tidak berguna.” balas Rosa ketus. “…..” Lalu tidak ada balasan apapun lagi. Tuh kan, ngilang lagi… “Hmph! Yasudahlah, ayo lanjut tidur lag-” DURU DUDUM DUM DUDUM DUM Suara dentuman drum yang keras itu mengejutkannya. Kemudian berlanjut dengan suara musik yang cukup berisik. Jad
Langit telah berwarna biru kehitaman. Rembulan memutuskan untuk bersembunyi di balik awan- enggan untuk menampakkan wajah bundarnya. Lampu-lampu jalanan pun bekerja sama dengan lampu-lampu yang berada di teras-teras rumah, di sepanjang dinding pagar, dan di tiap-tiap balkon, bersama-sama menerangi area di sekitar. “Uuh…” rintihnya ketika hawa dingin berhembus dan menusuk ke tulang, membuat ia yang tengah terbaring di atas sebuah bangku taman semakin meringkuk Krik… krik… “…….” Krik… krik… krik… “……” Krik… krik… krik… krik… krik… Merasa terganggu, ia langsung bangun dari tidurnya dan duduk menatap lurus ke arah depan. Suara jangkrik itu langsung berhenti. “Huh, dasar… ganggu orang tidur aja… Hooaahhmm….” gerutunya sembari merenggangkan tubuhnya. “Eh? Ini di… lho? Lho?” Ia lompat berdiri dan langsung celingak celinguk kebingungan. Panorama yang terlihat familiar di matanya itu membuatnya terdiam seribu bahasa. Drrt… drrt… Tiba-tiba terdengar suara getaran dari dalam sebuah t