Berlian menangis terisak-isak di depan terasnya, buku catatan kecil yang hanya berisi coretan tangannya pun masih ia dekap dengan erat. Awan yang mendung pun membuat hujan turun lambat laun dengan deras. Berlian menatap berkali-kali ke arah pagar dan pintu rumahnya. Baik ibunya atau pun kakaknya tidak membukakan pintu untuknya masuk. Andai itu ibunya tidak ada, pasti kakaknya berani membuka pintu. Tetapi kalau ada ibunya, pasti kakaknya juga akan dimarahi habis-habisan. Meski masih kecil, Berlian merasakan kasih sayang ibunya hanya untuk kakaknya, sedangkan dirinya, ia merasa tidak pernah diinginkan ibunya. Hanya kebencian yang selalu ibunya berikan padanya.
Suara derum motor terdengar membuat Berlian menatap ke arah pagar. Seorang pria muda tengah turun dari motornya dan membuka pagar yang menjulang tinggi. Pria yang terbalut jas hujan itu setelah berhasil membuka pagar segera menaiki motornya lagi dan menuju ke depan rumahnya. Berlian tersenyum cerah saat melihat ayah
Berlian menghentikan mobilnya di basment perusahaannya, gadis itu bergegas turun setelah mengusap air matanya dan memastikan kalau wajahnya tidak ada jejak-jejak air mata. Berlian keluar dari area basment dan memasuki perusahaannya, sebisa mungkin Berlian menampilkan raut baik-baik sajanya. Langkah gadis itu terlihat tegap memasuki gedung pencakar langit itu."Berlian, bagaiaman? Apa Bara suka makanannya?" sebuah suara mengerinterupsi membuat Berlian menghentikan langkahnya. Gadis itu menolehkan kepalanya ke arah ruang tunggu. Di sana sang ibu tengah duduk dengan santai."Kenapa masih di sini?" tanya Berlian balik. Risa mendekati sang anak, sedangkan yang didekati pun berjalan mundur. Entah kenapa Berlian merasa jijik saat ini melihat ibunya. Wanita yang sudah berperilaku kasar padanya sejak kecil dan saat ini merenggut kebahagiaan yang belum sempat ia rasakan.Bagi Berlian, ibunya sudah merebut Bara. Dulu perkenalan Berlian dengan Bara selalu
"Dokter, apa yang terjadi dengan Dokter Evan?" tanya Bara saat dokter spesialis jantung baru saja keluar dari ruang UGD."Pak Evan mengidap penyakit pembengkakan jantung. Sudah saya periksa dan Pak Evan sudah istirahat, temui saja nanti kalau sudah membaik," jawab Dokter Surya pada Bara. Bara menganggukkan kepalanya, pria itu menatap ke jendela untuk melihat keadaan Dokter Evan.Bara masih berusaha menghubungi Berlian, tetapi satu kali pun Berlian tidak menjawab panggilan dari Bara. Bara tidak tahu pasti apa yang menyebabkan ayah dan anak itu ribut hingga Dokter Evan harus masuk Ruang Uni Gawat Darurat, tapi yang ia lihat Berlian sangat marah. Biasanya semarahnya Berlian masih bisa diajak berbicara, tetapi kali ini, jangankan berbicara, menurunkan kaca mobilnya saja Berlian enggan.Bara kasihan melihat Dokter Evan yang tidak ada sanak saudara menunggu, anak dan istri tidak di sampingnya saat sakit. Bara ingin masuk dan menemani Dokter Evan, tet
Dalam lisan Berlian boleh saja mengatakan kalau ia tidak peduli apapun yang terjadi pada ayahnya. Namun ikatan batin antara anak dan orang tua tidak bisa terlepas begitu saja. Berlian bersih keras tidak akan peduli dengan sang ayah, tetapi kenyataannya apa? saat ini Berlian kembali ke rumah sakit. Gadis itu menuju ruang administrasi. "Bu, pasien atas nama Evan, dokter yang bekerja juga di rumah sakit ini, ada di kamar nomor berapa?" tanya Berlian dengan sopan. "Dokter Evan ada di kamar Bougenville nomor tiga.""Saya mau melunasi administrasinya," kata Berlian. Petugas itu memberikan selembar kertas administrasi pada Berlian. Berlian membacanya dengan seksama. Tangan Berlian bergetar kecil saat membaca diagnosa kalau ayahnya mengidap penyakit pembengkakan jantung. Buru-buru gadis itu membayar semua administrasi ayahnya dan bergegas pergi. Berlian menuju ruang rawat yang ditunjukkan petugas. Saat sampai di kamar itu, Berlian tidak langsung masuk. Gadis itu
Berlian semakin menggigit bibirnya gelisah, gadis itu terus mencari keberadaan kalung. Hari yang mulai petang membuat gadis itu menghidupkan senter hpnya. Bagaimana pun caranya, Berlian harus menemukan benda itu."Ini yang kamu cari?" sebuah suara menginterupsi membuat Berlian menolehkan kepalanya ke belakang. Andre berada di belakangnya sembari menunjukkan kalung emas Berlian."Andre, kamu yang menemukannya," ujar Berlian segera mendekati Andre. Tetapi saat gadis itu ingin meraih kalungnya, Andre segera menggenggamnya kembali."Ndre, itu punyaku," kata Berlian."Memang, kalung dan liontinnya baru saja aku temukan," jawab Andre."Kembalikan!" pinta Berlian."Tidak ada yang gratis di dunia ini, Berlian," ujar Andre. Berlian mengerutkan keningnya, gadis itu menatap Andre dengan seksama. Ia pikir temannya itu juga sangat perhitungan."Kamu mau berapa, biar aku transfer sekarang," ucap Berlian. An
"Sekarang puas-puasin kalian berdua," kata Berlian yang ingin pergi. Tetapi tubuhnya dipeluk oleh Bara. Berlian membeku di tempatnya, mendapat pelukan Bara membuat tubuh gadis itu menegang. Tubuh Berlian terasa seperti ada aliran listrik sampai menuju tulangnya. Apalagi bisa mencium harum tubuh Bara yang sangat menenangkan."Kamu salah paham dengan hubunganku dan ibu kamu, Berlian," bisik Bara. Berlian berontak dan melepaskan pelukan Bara."Jangan membual, Dokter Bara. Silahkan nikmati waktu kalian, aku pergi," kata Berlian yang ingin beranjak pergi. Tetapi kali ini ucapan ibunya yang menghentikannya."Kamu salah paham, Berlian. Ibu menyuruh kamu mengangtarkan makanan ke dokter Bara agar kamu yang bertemu dokter Bara dan hubungan kalian semakin dekat. Kamu gila ya mengira ibu punya hubungan dengan Bara? Bara itu seumuran kakak kamu, apa kamu kira ibu bakal ada hubungan dengan dia? Kamu jangan ngaco Berlian, seumur hidup ibu setelah memilih pisa
"Berlian, ayo makan!" Bara menyuapkan makanan ke bibir Berlian, Berlian menerimanya dengan pelan. Saat ini Bara dan Berlian duduk saling berdampingan, tangan kanan Bara sibuk menyuapi Berlian, sedangkan tangan kirinya merangkul pundak perempuan itu."Kesalah pahaman ini cukup sampai di sini Berlian," kata Bara."Kalau kamu bohong?""Kalau aku bohong, kamu boleh memperlakukan aku sesukamu. Kamu hukum aku, hajar aku sampai aku babak belur juga aku gak akan melawan," jawab Bara."Terus apa hubungan kita?" tanya Berlian.Bara menghembuskan napasnya pelan, pria itu menatap makanan yang ada di piring dengan pandangan penuh kecamuk. "Di umurku yang sudah menginjak dua puluh sembilan tahun, aku hanya ingin menjalani kehidupan layaknya orang normal biasa. Bekerja, bertemu orang yang dicintai, lalu menikah, membangun hubungan rumah tangga, punya anak, mendidik anak sama-sama, lalu tambah anak lagi, dan-""Cukup!" se
Saat orang sedang dirundung asmara, pastilah akan tidak tahu tempat saat bermesraan. Seperti saat ini yang terjadi pada Bara dan Berlian, kedua orang itu masih di ruang makan rumah Risa. Tampak tidak ada beban yang ada pada Berlian, padahal biasanya ia tidak akan mau berlama-lama berada di rumah ibunya. Begitu pun dengan Bara, Bara sama sekali tidak peduli kalau ini di rumah Risa. Risa sudah memberinya waktu dan Bara tidak akan melepaskan kesempatan ini begitu saja.Bara mendekatkan tiga kursi makan hingga menjadi satu, pria itu duduk di kursi paling ujung, sedangkan Berlian tidur dengan kepala yang berada di paha Bara. Tangan Bara dengan pelan mengusap wajah Berlian yang sangat cantik. Bara seolah tidak melepaskan pandangannya dari wajah Berlian. Bara tengah menatap semestanya tanpa berkedip, sedangkan yang ditatap tampak malu-malu dengan mengalihkan pandangannya. Bara terkekeh kecil melihat tingkah Berlian."Berlian, mendekati kamu membutuhkan keberanian yang p
"Bintang, apa kamu ini gila, hah?" teriak Bian dengan nyaring tatkala kepalanya dilempar gelas kaca oleh Bintang. Gelas itu kini jatuh dan pecah berkeping-keping."Ah ... aku tidak sengaja," pekik Bintang tatkala tahu kalau yang ia lempar bukanlah hantu, melainkan manusia. Bian menolehkan kepalanya ke tembok, menekan saklar lampu hingga seluruh bar menjadi terang.Mata Bintang membulat sempurna saat melihat Bian yang berdiri tidak jauh dari dirinya. Bian memegangi keningnya yang mungkin terasa sakit, saat tangan pria itu turun, terlihat jelas kalau kening Bian sangat memerah."Pak Bian, maafkan saya. Saya tidak sengaja," ucap Bintang yang ingin mendekati Bian, tetapi Bian mencegahnya."Jangan mendekat!" kata pria itu."Itu, saya mau melihat luka Pak Bian," ujar Bintang."Banyak pecahan beling di sini, biar aku yang ke sana," kata Bian. Bian menyingkirkan pecahan gelas dan mendekati Bintang."P