"Tunggu!" sebuah suara mencegah Berlian dan Azka yang akan pergi dari lobi. Berlian menolehkan kepalanya menatap ke arah Kenan yang sejak tadi masih mengikutinya. Berlian memutar bola matanya jengah, gadis itu membalikkan tubuhnya dan menghadap Kenan sepenuhnya.
"Ada apa lagi, Pak Ken?" tanya Berlian.
"Ada investor yang ingin bertemu dengan Bu Berlian," ucap Kenan menunjukkan hpnya yang berisikan surel dari investor untuk merk baru Berlian. Berlian mengambil alih hp Kenan dan menbaca surel itu. Azka yang semula sudah bahagia dan yakin kalau mereka akan benar-benar pergi untuk jalan-jalan pun kini menjadi terdiam, raut wajah Azka juga mulai murung. Bara yang melihat perubahan Azka, langsung mengambil alih Azka ke gendonganya.
"Berlian, kalau kamu sibuk, tidak apa-apa kita jalan-jalan lain kali," kata Bara.
"Kenapa kamu berkata seperti itu?" tanya Berlian.
"Aku tidak mengerti bagaimana cara membantumu mendirikan merk bar
"Yeyyy asik!" Azka berteriak senang saat Bara mendorongnya di atas troli dengan kencang. Sejak memasuki mall, Azka sudah meminta untuk naik ke troli. Bara mendorongnya setengah berlari yang membuat bocah itu kegirangan. Mall yang terletak di tengah kota jakarta itu adakah salah satu properti milik keluarga Berlian. Sejak mereka datang pun, para pramuniaga menyambut dengan sopan. "Kakak, ayo naik ke sini!" ajak Azka menepuk tempat sampingnya. Keranjang dorong itu lumayan besar dan masih muat kalau Berlian masuk. "Kamu saja, kakak sudah besar," jawab Berlian. Namun sesaat kemudian Berlian memekik kencang saat Bara mengangkat tubuhnya dan memasukkannya ke troli. Azka berteriak kesenangan dan menggeser tubuhnya agar Berlian lebih leluasa duduk. "Masih muat, Berlian. Kamu kan seperti anak kecil," kata Bara. "Aku malu dilihatin orang," bisik Berlian menatap sekelilingnya. Banyak orang yang tengah menatapnya sembari tertawa geli. Wajah Berlian terasa memanas.
Lebih dari lima kantung plastik besar bahan makanan yang dibeli Berlian, lima kantung tas belanjaan berisi baju, sepatu, sandal, dan lima kantung tas mainan milik Azka. Bara nyaris pingsan ketika melihat bayaknya barang yang dibeli Berlian. Semua bisa dilakukan gadis itu dalam kedipan mata. Berlian menyerahkan kartu debit unlimitid pada kasir setelah hampir satu jam menghitung belanjaan Berlian."Tolong antar ke rumah saya sekarang, ya," kata Berlian pada staf toko yang ia kenal. Perempuan itu menganggukkan kepalanya."Sudah selesai, ayo pulang," ajak Berlian pada Bara dan Azka."Belanjaannya gimana, Kak? Kita kan gak bisa bawa pakai motor. Motor Om Bara kecil," ucap Azka dengan polos."Nanti diantar ke apartemen Kakak. Sekarang kita pulang," kata Berlian,"Berlian, bukankah ini berlebihan?" tanya Bara menatap ngeri belanjaan Berlian."Tidak ada yang berlebihan.""Kalau kamu minta ganti uangny
“Azka, ayo makan yang banyak!” titah Berlian menambahkan telur ke mangkuk Azka.“Kak Berlian juga makan yang banyak ya. Biar Om Bara gak ngatain kakak kecil lagi,” kata Azka dengan sura yang tidak begitu jelas karena bocah itu tengah memasukka banyak makanan ke bibirnya.Saat ini Azka, Bara dan Berlian tengah berada di pinggir sungai tempat jajanan jalanan berada. Mereka duduk beralaskan tikar yang di tengahnya ada meja kecil. Mereka tengah memakan somay dan batagor yang kini akan menjadi makanan favorit Berlian.“Iya kakak makan juga kok. Enak banget,” kata Berlian, setelahnya gadis itu nenyuapkan somay ke bibirnya.Setelah tadi puas di mall, mereka memutuskan mencari makanan di pinggir sungai tempat di mana Berlian dan Bara awal bertemu. Dulu mereka datang sebagai dokter dan pasien, juga seperti kucing dan tikus yang tidak pernah bisa akur. Tetapi sekarang keadaannya berbeda. Berlian datang ke sini untuk kedua kalinya
"Menurut informasi yang saya dapat, memang ini rumahnya, Bu," ucap Bian pada Berlian. Saat ini mereka tengah berada di depan rumah sederhana yang sebenarnya tidak jauh dari rumah Berlian. Rumah dengan cat ungu itu sangat kecil. Berlian terus mengamati rumah itu yang tampak tertutup.Berlian selalu mengaku dirinya pintar, tetapi ada yang lebih pintar darinya, yaitu Bian. Bian bisa menyembunyikan fakta ini yang sudah lama ingin ia ketahui. Berlian menggelengkan kepalanya karena ulah sekretarisnya."Bian, apa gaji yang aku berikan tidak cukup?" tanya Berlian melirik Bian. Bian yang sadar pun segera menggelengkan kepalanya."Gaji yang Bu Berlian berikan lebih dari cukup. Saya juga sudah bilang saya melakuannya bukan demi uang. Tapi demi kebaikan Bu Berlian," jelas Bian.Berlian menganggukkan kepalanya singkat, gadis itu mulai melangkahkan kakinya menuju rumah ayahnya. Rumah bercat ungu itu milik ayah Berlian, Evan. Berlian bersikeras m
"Kamu pikir aku gak kecewa dengan diriku sendiri? Aku kecewa juga, Evan. Andai waktu bisa aku ulang, aku pasti akan menyayangi anakku, aku akan mencurahkan banyak waktuku untuk Berlian. Hidup cuma satu kali, tetapi aku banyak menyia-nyiakan waktu untuk memupuk kebencian anakku sendiri padaku. Tetapi setelah aku berpikir ulang, aku sadar yang aku lakukan sudah benar. Tidak apa-apa aku dibenci anakku, daripada anakku tumbuh menjadi anak manja yang tidak bisa apa-apa."Evan terdiam, pria itu mengambil duduk di ranjang. Bagaimana pun di sini ia yang salah. Bertahun-tahun ia lari dari kenyataan, lari bahwa dirinya lah yang salah. Risa tidak salah apa-apa, bahkan berita yang ia sebar tentang Risa menceraikannya karena ia miskin adalah salah besar. Bukan karena ia miskin lalu Risa menceraikannya, tetapi karena ia sudah menjual banyak aset mantan istrinya."Kenapa, Evan?" tanya Risa. Evan mendongakkan kepalanya menatap Risa."Kenapa kamu menyebar berit
Berlian menghapus air matanya yang tanpa dikomando jatuh. Berlian menahan isakannya dengan sekuat tenaga. Sudah sekian tahun, tetapi Berlian bagai boneka bodoh yang tidak tahu apa-apa. Berlian bagai orang bodoh yang dibodohi sana sini. Selama ini Berlian selalu menganggap ibunya jahat, tidak berperasaan dan hanya bisa menekannya, tetapi di balik itu, ibunya memiliki alasan yang kuat. Sedangkan dengan ayahnya, Berlian sangat menyayangi ayahnya, Berlian juga mengerahkan banyak waktu dan tenaga untuk mendapatkan informasi mengenai ayahnya, hingga takdir mempertemukan kembali Berlian dan Evan. Tetapi setelah ia bertemu ayahnya, ada fakta lain yang baru ia ketahui.Selama ini Berlian menganggap ayahnya baik, ayahnya yang menyayanginya. tetapi yang terjadi malah kebalikannya. Ayahnya lah yang membuat ibunya memperlakukan Berlian dengan kejam. Ternyata kebaikan seseorang tidak bisa dilihat dari satu sisi, karena masih ada sisi lain yang menyimpan berbagai kejutan.
Dari pagi sampai siang Bian tidak berhenti mondar-mandir mengurus pekerjaan. Tanpa Berlian, pria itu sangat kuwalahan. Semua pekerjaan dia handle sendiri. Meski sudah beberapa kali Berlian mangkir dari pekerjaan dan Bian mengatasi sendiri, tetap saja di beberapa waktu Bian merasa kuwalahan. Apalagi saat pekerjaan lagi banyak-banyaknya. Kendati demikian pasti Bian bisa menyelesaikannya. Tetapi tetap saja kalau banyak-banyak pekerjaan otaknya bisa ngebul.Di sisi lain, Bintang tidak fokus mengerjakan tugasnya. Tubuh gadis itu tetap berada di depan komputer, tangannya pun berada di keyboard seolah tengah mengerjakan sesuatu, tetapi sejak tadi matanya terus melirik ke luar ruangan seolah mencari sesuatu. Kepalanya pun tidak berhenti menoleh ka kanan ke kiri. Seluruh dinding ruangan PU terbuat dari kaca, jadi tembus pandang sampai ke luar. Aktivitas di luar pun bisa terlihat jelas di dalam ruangan PU."Bintang, sejak tadi kamu gak fokus, lagi mikirin apa sih?" t
"Pak, apa yang Pak Bian lakuin?" pekik Bintang yang mencoba turun. Tetapi tubuhnya ditahan oleh Bian, membuat gadis itu tidak bisa berkutik. Bintang sedikit kikuk karena jarak wajahnya dan wajah Bian sangat dekat. Bahkan Bintang bisa melihat jelas kening Bian yang tidak ada pori-pori sedikit pun di sana. Wajah Bian sangat lah mulus dan bersih. Bahkan Bintang yang cewek saja merasa insecure dengan wajah Bian.Bian sangat tampan, apalagi pria itu juga memiliki alis yang tebal membuat kesan tegas di wajahnya. Tetapi selama ini Bintang tidak menyadarinya. Bintang kembali menatap Bian, kalau dalam mode diam begini damage Bian benar-benar tidak main-main. Tetapi kalau Bian mode pecicilan, Bian terlihat sangat menyebalkan."Kamu ke sini mau menemuiku?" tanya Bian."Tidak," sangkal Bintang yang tetap tidak mau jujur. Bian menaikkan sebelah alisnya, Bintang gelagapan di buatnya."Kalau tidak mau menemuiku, siapa yang akan kamu temui? Bu Ber