Seorang pasien gangguan jiwa paruh baya, sedang membaca buku dengan teman dan santai di atas ranjangnya dengan duduk sambil menyandarkan punggungnya di atas bantal yang tempelkan di dinding. Ia terlihat sedang tersenyum malu ketika membaca sebuah buku anak-anak. "Haha, si kancil sudah kabur!" ujarnya sambil tertawa. Lalu, Erik dan seorang perawat perempuan memasuki ruangan pasien untuk melakukan pemeriksaan. Sontak pasien itu menyembunyikan buku yang sedang dibacanya di bawah selimut. Ia langsung terdiam dengan memasang tatapan yang kosong. "Selamat Pagi, Bu Hasti," sapa Erik memberikan senyuman. "Aku tidak baik, Perawat Harris. Aku kesakitan. Seluruh tubuhku memanggil nama anakku dan anakku. Apakah Perawat Harris tau, dimana dia berada?" tanya pasien itu seraya memegang tangan Erik kuat. "Ibu Hasti tenang dulu, kita akan mencari anak ibu," sahut perawat wanita. Sontak pasien itu menatapnya dengan tajam. "Diam kau, Syifa!" ucap pasien lantang. "Syifa? Bu Hasti tau nama saya?
Rendra melepaskan pelukannya dan menatap Eva sambil menempelkan kedua telapak tangannya di pipi Eva agar ia tetap tenang. "Aku nggak ke mana-mana kok, Sayang. Ayo kita masuk dulu. Kamu ingin sekali bertemu dengan Kakakku 'kan? Sudah, jangan sedih lagi." Rendra menggenggam tangan Eva dan mereka memasuki apartemen. Sisi sedang asyik nonton acara komedy di televisi sambil duduk di kursi sofa tanpa reaksi apa pun. Ia hanya melihat dan mendengar. Ia sama sekali tidak tertawa atau pun menangis. Rendra membawa Eva ke hadapan di sisi. "Kakak?" panggil Rendra dengan lembut. Sisi tak perpaling. Ia menunjukkan wajah yang cemberut. Ia bahkan tidak bergeming saat Rendra memanggilnya. "Kenapa Kakak diam saja? Aku bawa seorang yang akan menjadi teman Kakak. Memangnya Kakak nggak mau diajak main sama wanita cantik ini?" bujuk Rendra agar Sisi melembut. "Teman?" Sisi memainkan bola matanya dan agak tersenyum. "Iya, aku butuh teman. Di mana temanku?" tanya Sisi menoleh ke arah Eva sambil ters
Sore harinya, Rendra bergegas meninggalkan rumah bersama pengawalnya, Pati. Perjalanan yang mereka tempuh terlihat cukup jauh. Rendra membawa beberapa makanan ringan untuk santapan mereka. "Kali ini, saya tidak mau gagal Mas. Jadi, kita harus berhati-hati," ujar Rendra yang duduk di belakang Pati. "Baik, Tuan Muda. Saya pastikan dia tidakkan tau," jawab Pati sambil menyetir dengan fokus. Rendra dan Pati pergi menggunakan mobil Jeep. Sedangkan di sisi lain, Eva terlihat begitu penasaran dengan Rendra yang buru-buru pergi. Untuk memastikannya, Eva menghampiri Rendra ke rumahnya. Eva menekan bel rumah Rendra. "Ting, tong, ting, tong." Eva menekannya berkali-kali. "Ren!" panggil Eva. Ia menekan bel kembali berulang kali. "Ren, ini aku Eva! Kamu ada di rumah 'kan?!" teriak Eva memastikan keberadaan Rendra. Eva menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar suara Rendra di dalam rumah. Tapi, suara Rendra sama sekali tidak terdengar. "Berarti, Rendra memang tidak ada di rumah. Dia
Eva berbaring di atas ranjangnya sambil senyum-senyum sendiri saat mengingat momen menggemaskan bersama Rendra pada siang tadi. Hati Eva tersentuh saat Rendra menyuapinya makan, membantunya mencuri piring, hingga menggendongnya saat ketakutan melihat seekor kecoa. Jantung Eva berdetak kencang. "Ya Tuhan, aku benaran jatuh cinta padanya. Rendra sedang duduk di kursi sofa sambil nonton drama cinta dengan adegan ala gendong pacar. Awalnya Rendra bersikap biasa saja, tapi, tiba-tiba Rendra terlihat gugup dan mengingat adegannya saat menggendong Eva siang tadi. Rendra menghela napas berat seraya menampar pipi kanannya untuk membuatnya sadar. "Apa aku benaran jatuh cinta sama dia? Aduh, Ren, kau ke sini bukan untuk cari jodoh," ujar Rendra sambil merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang. "Please, sadarlah. Sebelum papa tahu." Rendra mematikan drama cinta itu dan pergi menuju ke kamar untuk beristirahat. "Greeet, greeet, greeet!" Suara panggilan masuk dari ponsel Eva. 'Paman
Hati siapa yang tak sedih melihat saudara kita sendiri disakiti, dihancurkan marwahnya, bahkan impiannya pun hancur demi mempertahankan cinta. Begitu juga dengan Rendra yang sangat terluka melihat kondisi Kakaknya yang tak berdaya setelah bertahun-tahun tidak mendapatkan pengobatan yang pantas dari Erik. Ia sangat kecewa dan marah dengan apa yang sudah Erik lakukan. Rendra membawa Sisi ke sebuah apartemen yang di sewanya khusus agar lebih aman dan jauh dari gangguan orang kalayak ramai. Ia mendudukkan Kakaknya di atas kursi roda sambil memberikan sarapan berupa bubur dan segelas susu. Sisi begitu penurut. Ia terus memakan bubur yang diberikan Rendra dengan lahap. Ia tersenyum dan tertawa dengan riang dan terus meminta disuapi bubur itu sampai habis. Rendra merasa sedih melihat Kakaknya yang merasakan perlakuan yang tidak adil, padahal dia sosok wanita yang sangat baik dan kuat. 'Sampai kapan pun aku tidak memaafkanmu Pak Erik' Tiba-tiba, Sisi merasakan kesedihan Rendra dan meli
Rendra keluar dari sebuah ruangan arsip rumah sakit untuk mencari data tentang Kakaknya bersama Erik. Namun, sepertinya ia tidak mendapatkan bukti apapun. Rendra terlihat sedih dan bingung. 'Apa mungkin Mas Pati salah mendapatkan informasi' "Mungkin suruhan kamu salah mendapatkan informasi," kata Erik mengunci pintu arsip itu kembali. "Mungkin, Pak." Rendra berjalan berdampingan dengan Erik menuju lobi rumah sakit. "Kamu sabar, ya. Saya akan bantu kamu cari Kakak kamu di rumah sakit lain." "Terima kasih, Pak," ucap Rendra. Ia melihat Pati menunggunya di samping mobil, "Kalau begitu saya kembali ke Jakarta duluan." "Baiklah. Kamu hati-hati." Erik menepuk pundak Rendra lembut untuk memberikannya semangat sambil tersenyum. "Iya, Pak," jawab Rendra membalas dengan senyuman pula. Namun, Pati memasang wajahnya yang tegang tanpa tersenyum. Ia langsung membuka pintu mobil untuk Rendra. "Kita harus kembali sekarang, Tuan Muda, sebelum macet," kata Pati. Rendra mengangguknya dan mem
"Aaaaa!" teriak Eva ketakutan saat melihat seekor kecoa berjalan ke arah kakinya. Saat ia menghindar dari seekor kecoa, kakinya terpeleset. Ia berusaha menyimbangi tubuhnya agar tidak terjatuh seraya memegang tiang besi tangga dengan kuat. "Akh!" keluh Eva saat dahinya terbentur tiang besi. Sontak Rendra terkejut mendengar suara teriakan Eva. Ia menghentikan cuciannya dan menaruh piring ke dalam bak cucian piring. "Eva." Rendra lari menghampiri Eva di tangga dengan rasa khawatir. Rendra melihat Eva terduduk di atas anak tangga sambio mengeluh kesakitan. "Eva, kau kenapa?" tanya Rendra berlari menaiki tangga. "Aku terpeleset, Ren. Sakit sekali kakiku," keluh Eva sambil memegang kakinya. Rendra mendekati Eva seraya menaiki tangga. "Kenapa kau bisa jatuh?" tanya Rendra memyodorkan tangannya untuk membantu Eva bangun. "A-ada kecoa lari ke arahku," jawab Eva sedikit malu. "Kecoa?" heran Rendra sambil tertawa. "Kau ketawa?" Eva terlihat kesal dan berusaha bangun dari dudukn
Seorang sopir memasukkan dua koper besar ke dalam bagasi mobil yang berdiri di depan rumah. Daddy dan Sisi mengantar Rendra di depan rumah yang akan bergegas kembali ke Indonesia seorang diri. Ia berpelukan dengan Daddy dan Sisi untuk mengucapkan perpisahan. "Rendra pamit. Daddy jaga diri, juga jagain Kak Sisi untuk Rendra. Mungkin setelah pekerjaan selesai, Rendra akan kembali," kata Rendra melepaskan pelukan."Bukankah kamu rencananya akan menetap di sana?" tanya Daddy memastikannya karena ia pikir Rendra akan terus di Indonesia. Tapi, setelah mendengar perkataan dia akan kembali, membuat Daddy ragu."Itu hanya omongan dia, Dad. Dia akan tinggal di sana. Sebelum dia melewati batas perang, dia tidak akan kembali," sahut Sisi mengatakan kondisi yang belum jelas. "Kak Sisi jangan menerjemahkan banyak hal. Sekarang yang penting Kak Sisi jaga diri di sini. Jaga Daddy juga." Rendra mengingatkan banyak kepada Sisi agar ia lebih mementingkan kesehatannya dari berdebat dengan Rendra tiap h