Hy teman-teman onlineku! Part baru sudah terupdate 🥰jangan lupa baca, komen, vote dan beli bab yang terkunci di apk good novel. Terima kasih guys!❤️
Keesokan paginya, saat langit masih terlihat remang-remang. Rendra, dan Pati berjalan di atas jalan yang licin tanpa aspal yang di tuntun oleh seorang penjaga ronda pendesaan. Hawa yang sejuk dan embun pagi yang menetes ke bawah tanah dari dedaun pohon, membuat Rendra semakin kedinginan. Lalu, Rendra melipat kedua tangannya ke dada untuk menahan dinginnya hawa alam yang begitu asing baginya, walaupun Rendra memakai jaket yang tebal. Pati melirik ke arah Rendra. "Apa Tuan Muda baik-baik saja?" tanya Pati. "Aku baik-baik saja," jawab Rendra. Rendra dan Pati terus berjalan mengikuti penjaga ronda itu. Perjalanan mereka terasa sudah jauh dari tempat ronda. Rendra melihat ke arah sisi kanan dan kiri jalan, ia memperhatikan pohon-pohon di hutan yang begitu tinggi dan lebat. Hatinya sedikit ragu saat mengikuti penjaga ronda itu. "Apa Bapak yakin mereka tinggal di sana?" tanya Rendra. "Iya, mereka tinggal di sana. Dik Rendra dan Mas Pati tenang saja, setelah melewati hutan lebat ini, di
Para murid berjalan membaris mendaki gunung kembar dengan hati-hati. Eva berada di barisan ketiga, Rena di barisan ke empat, Raisa di barisan ke enam, dan Cici di barisan ke tujuh. "Eva! Rena! Kalian memang tak setia kawan!" teriak Cici mengeluh seraya menghentikan langkahnya. Eva dan Rena saling tersenyum mendengar keluhan Cici. "Ayo, Ci, Rai! Cepat jalan! Jangan patah semangat!" balas Rena. Raisa menghela napas panjang dan menghentikan langkahnya seraya mengambil botol mimuman di samping kantong kiri tas ransel dan meminumnya. "Me-mereka memang ku-kurang setia." Raisa mengatur napasnya yang terengah-engah. Citra yang berada di barisan ke lima hanya diam dengan bergumam kesal di dalam hati. 'Dasar kelompok alai' Sedangkan, murid lainnya meneruskan pendakian dengan melewati barisan Cici dan Raisa. Di barisan depan dan akhir, ada seorang guru laki-laki dan perempuan yang menjaga para murid tetap aman di saat mendaki gunung. Guru perempuan bernama Siska yang mengawal di barisan d
Jeremi dan ketiga temannya berada di tengah hutan dengan mengikuti petunjuk dari peta yang ada di tangan Jeremi. "Kau yakin arahnya ke sini?" tanya Diyo kepada Jeremi. "Sepertinya iya. Coba kau lihat titik besar ini. Dia tempat kejutan yang kita tuju. Puncak gunung kembar," ujar Jeremi. "Tidak menurutku arah ke kirilah yang menunjukkan tempat puncak indah itu," sahut Diyo. "Menurutku ke kanan," sahut Jeremi lagi. "Ke kiri," sahut Diyo. "Ke kanan," balas Jeremi lagi. Jeremi dan Diyo saling berbedat memilih jalan yang berlawanan. "Sudah, sudah, sudah. Kita pilih jalan arah kanan saja, oke. Kata orang tua, pilihlah arah kanan agar tak tersesat," ujar salah satu temannya. "Baiklah. Kita ke arah kanan," sahut Diyo mengalah mengalah. Jeremi pun memilih arah kanan menuju puncak kembar. "Memang tak tau diuntunglah si Citra itu! Sudah baik-baik kita tunggu dia, malah di suruhnya kita tinggalin dia. Terserahlah!" geram Eva seraya menaiki tanjakan gunung. Lalu, Eva menemukan titik segi
Malam pun tiba. Para murid kembali menelusuri hutan untuk mencari keberadaan Eva yang tersesat di hutan. Murid-murid dan guru menerangi kegelapan hutan dengan lampu senter. "Eva! Eva! Eva!" jerit para murid berulang kali memanggil nama Eva. "Eva di mana kau?! Apa kau bisa mendengar suaraku?!" teriak Cici. Pak Hendri dan Bu Siska menghentikan langkah sejenak. "Pak, bagaimana jika Eva tidak ditemukan?" tanya Bu Siska cemas. "Bu Siska tenang dulu. Jangan terlalu cemas. Saya yakin Eva masih di dalam hutan ini," jawab Pak Hendri. "Baiklah. Tapi hutan ini, hutan terlindung 'kan?" tanya Bu Siska khawatir. "Iya. Hutan ini, hutan terlindung. Banyak sekolah-sekolah lain yang berkemah di sini. Saya juga sudah beberapa kali ke hutan ini semasa kuliah. Bahkan, ada penjaga hutan," jelas Pak Hendri. "Saya akan lebih tenang, jika Pak Hendri berkata seperti itu," ujar Bu Siska lega. Pak Hendri dan Bu Siska melanjutkan pencarian. Langkah Rendra terhenti saat mendengar suara raungan hariamau ya
Rumah Sakit Jiwa Sehat, kembali menjalakan perawatan terapi kepada pasien gangguan jiwa dengan melakukan tes psikologi. "Hari ini saya harus kembali ke kota. Jadi, saya harus mengurus pasien lebih awal," ujar Erik kepada seorang perawat paruh baya bernama Uti. "Baiklah. Jika perawat Harris nanti ingin kembali ke Jakarta, saya akan menjaga pasien anda dengan baik," jawab perawat Uti. "Terima Kasih," ucapnya sambil tersenyum. "Sama-sama," jawab perawat Uti membalasnya dengan senyuman. Erik langsung bergegas pergi menuju ruang pasien. Ia sudah berada di depan pintu nomor 111. Ia berhenti sejenak seraya menarik napas panjang dan membuka pintu. "Hy Sisi!" sapa Erik dengan senyuman yang begitu meriah. Pasien bernama Sisi ini hanya duduk terdiam menatap dinding kosong di depannya. Lalu, ia melirik sinis ke arah Erik. "Untuk apa kau ke sini lagi?" tanya pasien Sisi itu sangat judes. Pasien Sisi ini terlihat cantik, berusia 27 tahun, memiliki rambut lurus dan panjang. Pasien Sisi menga
Rendra terlihat begitu pulas tertidur di atas katilnya dengan posisi ke samping kanan. Ia menyelimuti dirinya hingga ke atas bahu dengan selimut tebal berwarna abu-abu senada dengan sprei. Ia lebih dulu tiba di rumahnya setelah bermalam di tengah hutan tanpa menemukan petunjuk apapun tentang kakaknya. Sedangkan Eva dan Erik baru tiba di rumah sekitar pukul sepuluh pagi. "Terus, Rendra bilang apa lagi?" tanya Eva melemparkan tas ranselnya ke sofa. "Dia suruh aku jemput kau lah," jawab Erik sambil duduk di atas sofa seraya menyingkirkan tas ransel Eva ke bawah lantai. Eva hanya menatap Pamannya tajam, namun, ia tidak mempedulikan tas ranselnya itu. "Dia suruh Paman jemput aku?" tanya Eva ragu. "Iya." "Baik sekali dia. Aku mau ke rumah dia, ah." Eva hendak menuju ke rumah Rendra. "Eh, eh. Ngapain kau ke rumah dia?" tanya Erik menahan Eva. "Ingin berterima kasih," jawabnya. "Nggak usah." "Kok gitu?" "Sekarang Rendra lagi tidur. Kau mau gangguin dia tidur dan bikin dia marah? La
Sebagian tubuh Eva terjatuh ke atas badan Rendra. Tatapan keduanya saling bertemu satu sama lain. Dak, dig, dug .... Suara detak jantung Eva dan Rendra berdetak kencang. Tanpa sadar kedua tangan Rendra berada di atas pinggang Eva. Rantang plastik terlepas dari tangannya. Di sisi lain, Erik menyusul Eva ke rumah Rendra. Ia sekarang berada di depan pintu. "Apa yang mereka lakukan di dalam? Awas saja jika Rendra mengganggu keponakanku." Rendra menekan bel rumah Rendra. "Eva. Eva. Apa kau masih di dalam?" teriak Erik seraya mengetuk pintu. Sontak Rendra tersadar dan melepaskan tangannya dari pinggang Eva. Mereka dengan cepat berdiri dari lantai. Rendra berdehem seraya menggaruk kepalanya dengan malu dan salah tingkah. "Eva!" teriak Erik lagi. "A-aku." Eva mengambil rantang plastiknya di lantai. "Ini ... Biar aku saja yang cuci," ujar Eva gugup. "I-iya." Eva langsung pergi meninggalkan Rendra dan kembali ke rumah. "Kenapa kau lama sekali?" tanya Erik sambil berjalan mengikuti Eva
Grup w******p SMA Angkasa Jakarta menerima pesan masuk. Seluruh murid dan guru berada dalam grup itu. Sebagian murid di kelas 12 IPA langsung membuka pesan di ponsel masing-masing. Pesan itu merupakan sebuah video yang di kirim oleh Zia dari kelas IPS, tapi ia menyamar dengan nomor tak dikenal.Semua tindakan Eva saat menggoda dan memotret catatan Rendra, terekam dengan jelas di video tersebut. Sontak murid-murid sangat terkejut melihat video yang membuat mereka sangat kesal dan marah dengan perilaku Eva yang kurang bijak."Pencuri!" teriak murid itu ke arah Eva sambil berdiri.Murid yang lain ikut menyerbu Eva dan berdiri dari tempat duduk mereka."Pencuri, penggoda!" sahut murid-murid yang lainnya.Eva menoleh ke arah murid-murid itu dengan bingung. Eva tidak mengerti akan maksud dari perkataan mereka."Hei, hei. Ada apa ini?" tanya Erik yang hendak pergi dari kelas.Para murid itu menatap Erik dengan tajam dan kembali menatap Eva dengan kemarahan yang membara."Dia tidak pantas menj