Erik menghalangi Rendra agar tidak membawa Sisi. Ia melakukan berbagai cara untuk menggagalkan rencana Rendra. Tapi, Rendra sudah lebih dulu melaporkan Erik pada pihak kepolisian. "Selamat malam. Apakah benar Anda Erik Harris?" tanya Polisi yang datang bersama tiga polisi lainnya. "Iya, memangnya ada apa?" tanya Erik mulai ketakutan. "Anda terjerat kasus penculikan dan dalang kejahatan dengan memanipulasi data pasien di rumah sakit dan membangun ruang rahasia dengan dana penggelepan," jelas Pak polisi itu. "Pak. Sa-saya tidak mungkin, melakukan itu semua. Kamu jangan sembarangan tuduh ya, Ren. Dia, penjahatnya Pak!" tunjuk Erik ke arah Rendra. "Tangkap dia sekarang!" perintah polisi itu kepada bawahannya. "Itu istri saya, Pak. Saya tidak menculiknya sama sekali." Erik melawan para polisinya saat diborgol. Erik dibawa paksa ikuti menaiki mobil patroli menuju kantor polisi untuk diinterigasikan. Eva melihat Erik dai kejauhan sambil menahan air mata. Ia membenci Pamannya yang terl
Hati siapa yang tak sedih melihat saudara kita sendiri disakiti, dihancurkan marwahnya, bahkan impiannya pun hancur demi mempertahankan cinta. Begitu juga dengan Rendra yang sangat terluka melihat kondisi Kakaknya yang tak berdaya setelah bertahun-tahun tidak mendapatkan pengobatan yang pantas dari Erik. Ia sangat kecewa dan marah dengan apa yang sudah Erik lakukan. Rendra membawa Sisi ke sebuah apartemen yang di sewanya khusus agar lebih aman dan jauh dari gangguan orang kalayak ramai. Ia mendudukkan Kakaknya di atas kursi roda sambil memberikan sarapan berupa bubur dan segelas susu. Sisi begitu penurut. Ia terus memakan bubur yang diberikan Rendra dengan lahap. Ia tersenyum dan tertawa dengan riang dan terus meminta disuapi bubur itu sampai habis. Rendra merasa sedih melihat Kakaknya yang merasakan perlakuan yang tidak adil, padahal dia sosok wanita yang sangat baik dan kuat. 'Sampai kapan pun aku tidak memaafkanmu Pak Erik' Tiba-tiba, Sisi merasakan kesedihan Rendra dan melihat
Rendra melepaskan pelukannya dan menatap Eva sambil menempelkan kedua telapak tangannya di pipi Eva agar ia tetap tenang. "Aku nggak ke mana-mana kok, Sayang. Ayo kita masuk dulu. Kamu ingin sekali bertemu dengan Kakakku 'kan? Sudah, jangan sedih lagi." Rendra menggenggam tangan Eva dan mereka memasuki apartemen. Sisi sedang asyik nonton acara komedy di televisi sambil duduk di kursi sofa tanpa reaksi apa pun. Ia hanya melihat dan mendengar. Ia sama sekali tidak tertawa atau pun menangis. Rendra membawa Eva ke hadapan di sisi. "Kakak?" panggil Rendra dengan lembut. Sisi tak perpaling. Ia menunjukkan wajah yang cemberut. Ia bahkan tidak bergeming saat Rendra memanggilnya. "Kenapa Kakak diam saja? Aku bawa seorang yang akan menjadi teman Kakak. Memangnya Kakak nggak mau diajak main sama wanita cantik ini?" bujuk Rendra agar Sisi melembut. "Teman?" Sisi memainkan bola matanya dan agak tersenyum. "Iya, aku butuh teman. Di mana temanku?" tanya Sisi menoleh ke arah Eva sambil tersenyum
"Hai, Eva." Tristan menyapa Eva yang sedang duduk di taman. Ia memberikan senyuman manis kepada Eva dan ia merasa heran. "Kamu siapa?" tanya Eva mengerutkan keningnya. "Kamu nggak kenal aku lagi? Aku Tristan. Kita 'kan pernah sekelas waktu SMP," terang Tristan. "Tristan?" Eva memperhatikan wajah Tristan dalam waktu yang lama dan mencoba mengingat kembali memori ingatannya saat masih menduduki bangku SMP. 'Flashback on' Waktu SMP, Eva pernah berteman dengan seorang siswa berkacamata min yang sangat pendiam, yaitu Tristan. Ia selalu menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan dengan membaca buku. Suatu hari, Eva sangat penasaran dengan kehidupan Tristan yang sangat cuek dan ia mulai mengusiknya. Menyembunyikan tasnya adalah salah satu trik agar siswa itu bisa diajak bicara. Tapi, Tristan malah marah besar. "Siapa yang berani mengambil tasku?" tanya Tristan dengan nada tinggi dan terlihat kesal. "Aku!" jawab Eva keluar dari lorong rak buku sambil memegang tas Tristan. "Kamu?
Eva berjalan melewati jalan umum yang sepi di saat langit mulai mendung sehingga turunnya rintihan hujan yang begitu lebat. Ia menteteng tali tasnya dengan kekuatan yang lemah tanpa melindungi diri dari hujan. Ia terus berjalan menata lurus dengan tatapan kosong, tapi mengisyaratkan kesedihan. Hatinya terasa sakit sekali mengingat tentang kejadian hari ini yang tak bisa ia biarkan begitu saja. Kepergiaan Rendra yang hanya meninggalkan sepucuk surat untuknya tak membuat Eva tenang dan terus memikirkan isi surat itu. 'Flasback Off' "Kepergiaanku ini tidak terburu-buru ... Hanya aku saja yang tidak memberitahukannya padamu lebih awal. Aku minta maaf ... Mungkin aku takkan kembali." 'Flashback On' 'Aaaaak!' teriak Eva kecewa. Ia berlutut di atas badan jalan sambil menangis terisak-isak. Hujan yang begitu lebat membasahi tubuhnya, tapi ia berdiam diri dengan meratapi kesedihannya. Seakan-akan ia tak sanggup melewati hari-harinya tanpa kehadiran Rendra di sisinya. 'Tak bisakah kamu te
Eva sama sekali tidak peduli dengan perkataan jahat Luna terhadapnya. Ia tidak balas bahkan meresepon cibiran mereka dan segera memasuki ruang kelas. Eva memilih untuk bangkit dari keterpurukannya setelah satu bulan cuti kuliah. Hari itu, ia mengenakan pakaian yang begitu anggun dan semakin modis. Penampilannya itu membuat Tristan kagum karena Eva terlihat kuat dan begitu bersemangat. Tristan berdiri dari tempat duduknya yang berada di baris depan dan mengangguk ke arah Eva. Eva tersenyum dan berjalan ke arahnya. "Apa aku boleh duduk di sampingmu?" tanya Eva. "Pasti boleh." Tristan mengambil tasnya di kursi sebelah kiri. Ia sengaja menandai kursi itu dengan menaruh tasnya hanya untuk Eva. ⭐ Di sisi luar kelas, Luna terlihat begitu senang dengan penderitaan yang dirasakan Eva. Ia memasuki kelas dan kembali cemberut saat melihat kedekatan Eva dan Tristan yang membuat hatinya sakit. "Lun, dia ...," Langkah Luna terhenti di depan kelas sambil memandang Eva dengan tatapan tajam. Sed
Eva duduk di kursi meja depan yang berhadapan dengan meja dosen. Ia begitu fokus menulis catatan penting yang dipaparkan oleh Dosen di papan tulis. "Kalian boleh catat materi ini. Strategi menjadi jurnalis itu sangat penting bagi kalian yang masih menjadi seorang mahasiswa," kata Dosen paruh baya itu sambil memberikan senyuman kepada semua murid. Lalu, ia kembali duduk di kursinya untuk menunggu para mahasiswa selesai mencatat. Namun, tatapan semua mahasiswa tertuju ke arah Eva dan Tristan yang duduk bersampingan dan mereka terlihat begitu dekat. "Apa mungkin Eva sedang menggoda Tristan sekarang, setelah Rendra meninggalkannya." "Mungkin saja. Dia 'kan terkenal suka menggoda siapa saja. Dosen saja suka sama dia. Apalagi sekarang kita sudah mulai turun ke lapangan. Aku yakin dia pasti mendapatkan sebuah perusahaan yang bagus." "Tentu saja. Papa dia 'kan seorang jurnalis yang sudah memiliki perusahaan besar." "Wah. Aku tak sanggup untuk mengganggu seorang anak bos jurnalis indonesi
Eva berjalan penuh percaya diri menuju ruang syuting, Eva menatap tajam ke arah podium tersebut sambil membatin. 'Aku ini seorang presenter berita bukan juru bicara yang menerjemahkan setiap perkataan orang'. Eva menaiki podium acara dan bersiap-siap sambil merapikan jasnya, menyetuh sedikit rambut di sebelah kirinya dan berdiri tegak hingga ia terlihat semakin tinggi karena memakai hak 9 cm. Ia menarik napas pelan dan tetap santai sambil menunggu aba-aba dari sutradara pada saat acara akan dimulai. Ia memegang remote pengontrol infokus untuk nanti saat menunjukkan berita di layar dinding. Seorang kru berseragam hitam mengarahkan kamera ke arahnya dengan shot yang begitu bagus."Mulai!" ucap sutradara memulai acara. "Halo, selamat siang pemirsa. Bersama saya Eva Gricia Sukma Negara ...," Eva terus melanjutkan pemberitaannya setelah perkenalan diri. Ia bahkan tidak peduli dengan konsep berita yang sudah direncanakan oleh atasan. Ia tetap dengan pendiriannya untuk memberitahukan fak