Isak tangis masih terdengar di dalam kamar. Namun, sayangnya tidak bisa mengembalikan semua yang ada sudah terjadi. Menyadari jika semua sudah tak bisa kembali lagi, Cia menghentikan tangisnya. Meraih pakaiannya dan memakainya.
Netranya tak berkedip ketika melihat sekujur tubuhnya dipenuhi tanda merah. Entah apa saja yang dilakukan pria itu saat dia tidak sadar, Cia benar-benar tidak tahu.Dengan sekuat tenaganya, Cia berusaha untuk pulang. Sambil menahan perih di tubuhnya dan di hatinya, dia keluar dari hotel. Pandangannya menunduk agar orang tak melihat wajahnya yang baru saja menangis.Keluar dari hotel, Cia mencari halte bus terdekat. Satu tempat yang ditujunya adalah kediaman Maxton. Sepanjang jalan, Cia hanya melamun. Pikirannya kosong ketika mendapati semua yang terjadi dalam hidupnya serasa mimpi. Tak ada harapan yang bisa digantungkan lagi. Mungkin jika terluka, masih dia bisa menahannya, tetapi melukai orang tuanya. Rasanya, Cia tidak sanggup. Pastinya orang tuanya akan sangat terluka dengan apa yang menimpanya. Bus berhenti di halte dekat kediaman Maxton. Cia berjalan menyusuri perumahan untuk mencapai rumah. Cia menguatkan dirinya. Tak mau ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi padanya. Cia membuka pintu. Saat masuk tampak Bian menghampiri Cia. “Dari mana saja kamu?” tanyanya ketus. Semalaman Bian menunggu Cia pulang, tetapi sayangnya gadis itu tak kunjung pulang. “Dari rumah teman. Mereka mengadakan pesta,” jawab Cia. Dia tampak tenang saat menjawab. Tak menampakkan kesedihan dalam dirinya. “Apa kamu tidak bisa sekadar menghubungi aku atau Kak Noah? Kami semalaman sibuk menghubungimu, tetapi ponselmu mati.” Ingin rasanya menjerit. Namun, sekuat tenaga dia menahannya. “Aku bukan anak kecil yang harus dicari. Jadi jangan berlebihan.” “Berlebihan katamu? Apa Kak Cia sadar jika Kakak itu seorang wanita? Hal buruk bisa saja terjadi padamu.” Memang sudah terjadi padaku, Bi. Dalam hatinya Cia menangis. Meratapi apa yang terjadi padanya. “Aku baik-baik saja. Aku pulang juga dengan selamat. Jadi sudahlah. Jangan dibesar-besarkan. Aku lelah.” Cia tak mau memperpanjang masalah. Dia memilih untuk bergegas masuk ke kamarnya dan meninggalkan Bian. “Kamu selalu saja seperti itu! Kamu itu tanggung jawabku juga. Jadi wajar aku berlebihan.” Suara Bian terdengar berteriak. Cia yang masuk ke kamar langsung menutup pintunya rapat. Tangisnya pecah ketika pintu sudah tertutup. Rasanya sakit di hatinya saat orang-orang yang menyayanginya begitu khawatir. Sayangnya, dia tidak bisa menjaga dirinya. Cia tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi nanti ke depan. Seberapa kecewa mereka padanya.***Sebulan berlalu sejak kejadian itu. Cia tidak pernah menyangka jika kini dia harus mendapati kenyataan jika dirinya hamil. Meringkuk di atas tempat tidur, Cia hanya bisa meratapi hidupnya. Pandangannya masih tertuju pada alat tes kehamilan yang dipegangnya. Sakit ketika mendapati jika dia hamil dengan pria yang entah keberadaannya tidak diketahuianya. Sebulan setelah kejadian naas itu, Cia masih tetap menghubungi Ken, tetapi nomor pria itu tidak bisa dihubungi. Cia juga berusaha untuk bertanya pada teman-teman Ken, sayangnya mereka mengatakan jika Ken juga tidak bisa dihubungi. Seolah pria itu lenyap begitu saja dari muka bumi. “Mama dan papa pasti akan terluka melihat ini semua.” Cia menggenggam alat tes kehamilan. Tak tahu harus berbuat apa. Di dalam kamar Cia terus meratapi nasibnya. Menangis dan terus menangis yang bisa Cia lakukan. Walaupun itu tidak dapat mengubah apa pun yang terjadi. Sepanjang hari Cia mengurung diri di dalam kamarnya. Tak melakukan aktivitas sama sekali. Tubuhnya terasa lemas karena kenyataan yang baru saja didapatinya. Yang dilakukannya hanya menangis sepanjang hari.Suara ketukan pintu yang terdengar pun diabaikannya. Tak mau menjawab sama sekali. “Kak, kamu belum makan?” Suara Bian terdengar dari balik pintu. Memanggil Cia yang sedari tadi tidak keluar kamar. Tadi sepulang kuliah, dia mendapati cerita dari asisten rumah tangga jika Cia tidak keluar kamar. “Kak, apa kamu tidur?” tanya Bian kembali. Dalam keadaan mata yang sembab, tidak mungkin dia menemui Bian. Yang ada Bian akan curiga dengan apa yang terjadi padanya. Akhirnya, dia memilih mengirim pesan pada Bian. [Aku sedang datang bulan. Tidak mood untuk keluar.]Bian yang di balik pintu mendapati pesan singkat masuk ke ponselnya. Mendapati pesan dari Cia, dia pun berbalik. Meninggalkan kamar Cia. Tinggal dengan Cia, membuatnya sudah hapal dengan gadis itu saat datang bulan. Cia yang di dalam kamar merasa tenang karena Bian sudah pergi. Kebiasaannya mengurung diri saat datang bulan di hari pertama, membuatnya punya alasan untuk tidak bertemu dengan Bian. Untuk waktu ini, Cia tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Dia butuh waktu untuk menyendiri. Memikirkan apa yang harus dilakukannya. ***Bian pikir Cia akan butuh satu hari saja seperti biasanya. Namun, sudah tiga hari Cia mengurung diri di kamar. Gadis itu tidak keluar untuk makan sama sekali. Bian sudah mencoba mengetuk pintu kamarnya, tetapi Cia hanya mengirim pesan jika dia belum mood untuk keluar dari kamar. “Kak, kalau kamu tidak membuka pintu. Aku akan mendobrak pintunya.” Bian memberikan ancaman ketika Cia tak kunjung membuka. Sayangnya, Cia benar-benar tidak membuka pintu. Merasa curiga akhirnya, Bian membuka paksa kamar. Di dalam kamar Cia meringkuk di atas tempat tidur. Bian menghampiri Cia. “Ada apa denganmu?” tanya Bian memegang bahu Cia yang membelakanginya.Cia menoleh. Dia langsung menangis. Tak kuasa menahan semuanya sendiri. Rasanya terasa sesak menghadapi semuanya. Bian membawa gadis yang sudah dianggapnya kakak itu ke dalam pelukannya. “Ada apa katakan!” Tak ada kata-kata yang keluar dari Cia. Dia memilih untuk menutup rapat mulutnya. Tak berani mengatakan pada Bian. “Jika kamu tidak mau mengatakannya, baiklah. Tapi, bisakah kamu makan dulu. Sudah tiga hari kamu tidak makan. Tubuhmu akan lemas.” Cia mengangguk.Bian langsung bergegas ke dapur. Mengambil makanan untuk Cia. Dengan perhatian dia menyuapi Cia. Bian merasa telah terjadi sesuatu pada Cia, hingga gadis itu mengurung dirinya. Namun, dia tidak bisa memaksa untuk bercerita, mengingat keadaan Cia begitu menyedihkan. Terlihat juga begitu tertekan. Yang terpenting kali ini, dia harus makan untuk mendapatkan energinya kembali. Cia memaksakan dirinya untuk makan. Dia sadar betul jika dia tidak boleh egois. Mengingat ada nyawa di dalam sana yang butuh asupan nutrisi.“Istirahatlah!” Bian memilih untuk membiarkan Cia sendiri lagi setelah makan. “Jika kamu butuh bantuan, panggillah aku.” Cia hanya mengangguk. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia kembali merebahkan tubuhnya. Memiringkan tubuhnya, membelakangi Bian. Bian memilih keluar dari kamar Cia. Memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk membuat Cia bicara. Selama tinggal bersama dengan Cia tiga tahun ini, baru kali ini gadis itu seperti itu. Bian bukan tipe pria yang bisa membujuk wanita. Jadi dia tidak tahu harus apa.Bian yang bingung pun akhirnya menghubungi kakak iparnya-sekaligus kakak dari Cia. Paling tidak dia bisa mendapatkan saran apa yang harus dilakukannya. Di ruang keluarga, Bian mengusap ponselnya. Menghubungi kakak iparnya. “Kenapa menghubungi kakak iparmu? Apa kamu lebih merindukannya dari pada aku?” El dari sambungan telepon menggoda adiknya. “Untuk apa aku merindukanmu. Aku lebih merindukan kakak ipar dan si kembar dari pada kamu.” El terdengar tertawa. “Ini.” Terdengar suaranya yang tampak memberikan ponsel pada istrinya. “Hai, Bi, ada apa?” Freya terdengar ceria sekali. Mendengar sedari tadi suaminya menggoda sang adik. “Hai, Kak.” Bian terdengar ceria. “Kak, ada yang aku ingin bicarakan tentang Kak Cia.” Suara Bian mulai serius. Tak seperti awal berbicara dengan kakak iparnya. Freya terdiam. “Sepertinya penting?” tebak Freya. “Tiga hari ini Kak Cia tidak keluar kamar. Tadi mencoba membuka pintu secara paksa.
“Kak Cia,” teriak Bian yang terkejut saat membuka pintu kamar. Dia yang melihat Cia sedang memegangi pecahan gelas langsung berlari masuk ke kamar Cia. Saat sampai di pinggir tempat tidur, dia meletakkan makanan yang dibawanya dan bergegas mencegah Cia yang sedang ingin memotong nadinya. “Biarkan aku, Bi,” ucapnya menangis. Berusaha keras untuk melepaskan tangannya yang dicengkeram oleh Bian. “Jangan gila, Kak. Apa begini caramu menghadapi hidup?” tanyanya. Tangannya terus berusaha menghalau Cia yang berusaha memotong nadinya. Bian berusaha keras untuk melepas pecahan gelas yang berada di tangan Cia. Setelah bersusah payah, akhirnya Bian dapat melepaskan pecahan gelas tersebut. Namun, tangan Cia sudah tergores sedikit. “Hidupku sudah tidak berarti lagi, Bi.” Air mata Cia mengalir deras dari mata indahnya. Merasa dirinya hancur setelah mendapati jika dia akhirnya hamil. Sedari tadi dia memikirkan bagaimana menghadapinya, dan mati adalah ja
El memegangi bahu Freya. Saat istrinya menatapnya, dia memberikan isyarat untuk tidak menekan Cia. Dalam waktu ini, Cia adalah orang yang paling terluka. Jika orang-orang dekatnya ikut menekan, pastinya akan membuat mentalnya lebih hancur. Freya pun langsung memeluk adiknya. Merasa bersalah dengan apa yang baru saja dilakukannya. Cia pun hanya bisa menangis di dalam pelukan kakaknya. Kali ini dia tidak bisa memaksa Cia untuk menceritakan lebih dalam lagi dengan apa yang terjadi padanya. Memilih membiarkan Cia lebih tenang dulu. El menatap Bian dengan tajam. Dia berdiri dan keluar dari kamar Cia. Bian tahu jika kakaknya memberikan isyarat dari sorot matanya untuk ikut dia keluar. Akhirnya, dia pun mengikuti sang kakak keluar dari kamar. “Bagaimana bisa kamu tidak tahu jika Cia hamil?” El langsung melayangkan pertanyaan tajam padanya. “Aku benar-benar tidak tahu, Kak.” Memang itu yang terjadi. Dia memang tidak tahu sama sekal
Cia masih sangat terpukul dengan apa yang terjadi padanya. Freya yang ingin mengorek lebih dalam, kesulitan dalam hal ini. El hanya bisa pasrah menunggu karena dia tidak akan dapat memulai usaha pencarian jika Cia tidak mengatakannya.“Aku akan pergi ke tempat Noah. Kabari jika kamu sudah dapatkan hotel mana yang ditempati Cia waktu itu.” El mendaratkan kecupan di dahi Freya. Dari sejak datang ke London, El belum bertemu dengan Noah. Dia pun sama ingin sekali memukul temannya itu karena tidak menjaga adiknya dengan baik. “Baiklah, aku kabari jika Cia mau menceritakan di mana hotel tempatnya dulu menginap.” Sejauh ini Freya masih mengali informasi pelan-pelan. Tak mau terlalu memaksakan karena takut Cia kembali terpuruk. Untuk saat ini Cia sudah mau makan dan mulaimendengarkannya. Jadi tidak mau Freya kembali membangkitkan ingatan Cia yang buruk.El pergi dengan menaiki bus menuju ke kantor Noah. Sepanjang jalan, dia memikirkan bag
Belum banyak yang berubah dari Cia. Dia masih diam dan sesekali menangis. Freya berusaha keras menenangkan. Sesekali menyelipkan dukungan jika kini Cia akan memiliki anak. Bujuk rayu Freya pun berhasil membuat Cia mau makan. Namun, tidak mengubah kesedihan yang dirasakannya. “Menjadi ibu adalah hal yang paling membahagiakan. Terlepas apa yang terjadi pada orang tua mereka. Mereka lahir dengan keadaan suci. Tanpa dosa sama sekali,” ucap Freya di sela-sela Cia makan. “Jika mereka bisa memilih, mereka akan memilih dilahirkan di rahim ibu yang mau menerima mereka dengan suka cita. Bukan mereka yang menolak kehadiran mereka.” Cia terdiam sambil menunduk. Kalimat itu terdengar seperti kalimat sindiran yang dilontarkan sang kakak. Karena selama ini, dia tidak mau anak yang dikandungnya.“Jika semua calon ibu menerima dengan lapang anak yang dikandungnya, terlepas apa yang terjadi. Aku rasa tidak akan ada wanita yang menggugurkan an
El dan Noah sampai di rumah. Rumah tampak sepi. Tak ada seseorang pun di rumah. Mereka tahu ke mana orang-orang itu pergi. Bian sedang di kampus, sedangkan Freya menemani Cia di kamar. “Mau soda?” tanya El.“Boleh.” Noah menatap sejenak pada El dan kembali menatap di mana kamar Cia berada. Sambil mendudukkan tubuhnya, pandangannya tak teralih sama sekali. “Ini.” El memberikan minuman soda pada Noah. Noah menerima minuman dan membukanya. Walaupun tadi sempat minum, tetapi tenggorokannya masih terasa haus. Satu kaleng soda langsung habis saat Noah meminumnya. “Sepertinya kamu haus.” “Biasanya musim gugur tidak akan sepanas ini. Namun, entah kenapa terasa panas.” El hanya tersenyum melihat temannya. “Kalian sudah kembali.” Suara Freya terdengar saat keluar dari kamar. Dia bergegas menghampiri suaminya. Tangannya yang langsung melepas gagang pintu, membuat pintu tidak s
Malam ini El dan Freya bersiap membawa Cia untuk pulang ke Indonesia. Mereka berdua tidak dapat meninggalkan anak-anak mereka lama-lama. Lagi pula, lebih aman jika Cia berada di dekat keluarganya. “Tidak mungkin kita membawa Cia pulang langsung ke rumah mama dan papa.” Freya sadar harus menjelaskan pelan-pelan pada papanya. “Sementara Cia akan tinggal di rumah kita, sampai kita bisa menjelaskan pelan-pelan pada papa.” El harus mencari waktu yang pas untuk mengatakan pada mertuanya itu. Freya mengangguk. Merasa apa yang dikatakan suaminya ada benarnya. Jika rumahnya yang paling aman dari pada tempat lain. “Aku masih heran melihat Noah yang tiba-tiba ingin bertanggung jawab.” Sampai detik ini, Freya masih memikirkan hal itu. El tersenyum. Kemarin, setelah kejadian di mana Noah menawarkan diri, dia masih menyempatkan diri mengobrol dengan temannya itu. “Apa yang membuatmu ingin menawarkan diri? Bu
Daddy Bryan yang melihat temannya sebegitu terluka hanya bisa terdiam. Netranya menatap sang istri yang sedang duduk menenangkan temannya. Kejadian Cia sama dengan sang istri. Dia membayangkan jika mungkin orang tua istrinya itu ada, mungkin sama terlukanya dengan temannya saat ini. Ada sedikit terbesit penyesalan di hatinya. Namun, beruntungnya semua sudah terbayar dengan kebahagiaan keluarga mereka.“Sabar. Kamu harus kuat. Jika kamu saja lemah, apa jadinya Cia? Dia butuh dukungan.” Daddy Bryan membelai bahu temannya. Mencoba menenangkan. Felix yang menangis, menghapus air matanya. Anaknya mungkin lebih butuh dirinya. Apalagi sampai sang anak tidak berani pulang untuk menemuinya. Pastinya anaknya takut jika mama dan papanya marah.“Kamu harus kuat. Jangan tinggalkan dia sendiri.” Mommy Shea menatap temannya. Dia tahu bagaimana rasanya dulu sendirian. Tak ada tumpuan untuknya bersandar. Apalagi saat hamil. Mama Chika menatap