Share

bab 2

"Teh, dia Bapak kita! Bapakmu!" pekik Zaki yang kembali emosi.

"Memang siapa bilang dia bukan bapakku? Aku hanya meminta dia pergi dari sini, karena aku sudah capek mengurusnya!" bentak Tari dengan kencang.

"Iya, tapi mau kemana bapak pergi, Teh? Ini rumah Bapak!" Zaki masih mencoba menyadarkan kakaknya, apalagi melihat Yahya menghapus air matanya diam-diam, hati Zaki sakit sekali.

"Terserah! Yang penting bukan di rumah ini. Kamu juga, kalau kamu mau pergi bareng bapak dari sini, ya silakan! Makin berkurang beban Teteh nanti," pungkas Tari dengan senyum meremehkan, dia lantas berbalik melanjutkan langkah menuju ke kamarnya. Dia harus bekerja, jangan sampai karena mengurus dua lelaki yang hanya bisa meminta uangnya, dia harus terlambat masuk bekerja dan mendapat surat peringatan.

Perusahaan tempatnya bekerja, saat ini tengah sangat ketat menerapkan aturan, surat peringatan akan mudah sekali diberikan pada karyawan, meskipun hanya terlambat beberapa menit saja. Kalau dia sampai dipecat, akan bagaimana dia membiayai Zaki? Makanya bapaknya harus diminta pergi untuk mengurangi bebannya.

Iya, be-ban!

Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh Zaki? Semua biaya dia dapet aku. Batin Tari saat dia menutup pintu kamar, dan melihat Zaki mendekat pada bapak mereka, sebelum bingkai kayu itu ditutup rapat.

"Pak, Bapak sabar, ya?! Jangan dimasukan ke hati ucapan teh Tari tadi. Zaki yakin, teteh hanya sedang kecapean, jadi bicaranya seperti itu," ucap Zaki bersimpuh di depan Yahya. Sama seperti Yahya, air mata Zaki juga turun begitu saja.

"Sudah, Bapak tahu itu. Kamu segera pergi sekolah saja sana. Jangan memikirkan tentang Bapak atau perkataan tetehmu, nanti juga dia baik lagi. Seperti biasa," jawab Yahya menepuk pundak anak lelaki kebanggaannya, "kamu sudah sarapan 'kan, Zaki?" lanjut Yahya, dia melihat pada piring plastik jatah sarapan yang diberikan Tari tadi, nasi putih yang berceceran di atas meja, diambilnya lalu disatukan lagi ke dalam piring.

"Sudah jangan diambilin, Pak. Nanti Zaki ambil lagi nasi yang baru," cegah Zaki menahan tangan bapaknya yang memunguti ceceran buliran nasi di atas meja.

"Tidak perlu. Ini juga masih bersih, masih bisa dimakan. Kamu sudah makan belum?" tanya Yahya mengulang pertanyaan yang belum dijawab Zaki tadi.

"Sudah, Pak, tadi Zaki sudah makan," jawab Zaki berbohong, padahal dia belum sarapan. Tadinya akan makan bareng dengan Yahya setelah siap berangkat sekolah, tapi ternyata kelakuan kakaknya malah membuat rasa laparnya menguap begitu saja. Lambungnya langsung penuh, oleh perlakuan dan kata-kata tajam yang terlontar dari bibir Tari.

"Kamu tidak berbohong kan, Zaki?" selidik Yahya menatap Zaki.

"Tidak, Pak. Zaki tidak berbohong. Beneran Zaki sudah sarapan tadi," yakin Zaki tanpa membalas tatapan sang ayah, tak ingin kebohongannya terbaca.

Suara langkah kaki Tari terdengar mendekat, dia sudah siap untuk berangkat bekerja. Harum parfum yang digunakannya, menguar memenuhi ruangan.

"Tuh, uang jajan kamu! Jangan boros!" kata Tari sambil melempar uang kertas dua puluh ribuan ke atas meja, "ingat, Pak, jangan lupa untuk menghubungi mang Ganjar. Nanti siang Tari akan telepon, dan Bapak harus sudah ada keputusan akan tinggal di mana," kata Tari menatap sekilas pada Yahya. Setelah itu dia melangkah pergi tanpa menoleh lagi meninggalkan rumahnya.

Ternyata kamu tega sama Bapak, Tari. Ada apa sebenarnya, Nak?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status