Share

Bab 7

Indri segera membuka dompet milik suami yang berada di atas tempat tidur, tepatnya di sebelah jas hitam Rasya.

Isinya dua lembaran merah dan satu lembaran biru. Apalah daya, Indri menurut saja. Lima puluh ribu dia ambil lalu belanja di tukang sayur yang keliling depan rumah.

Indri hanya menggunakan sebagian saja dari uang tadi. Meski isi dompet Rasya tidak banyak, ia tahu, ada beberapa ATM yang jelas isinya. Indri adalah wanita yang pantang meminta lebih. Dia wanita berprinsip, hanya meminta haknya sekadar untuk makan.

Ia tidak sekaligus memasak semua bahan yang tadi dibeli. Hanya cukup untuk sarapan.

"Masak apa, Ndri?" tanya Alma seraya mendekati.

"Bikin nasi goreng telur, Ma. Mama kalau mau, Indri siapin." Indri menoleh. Ia membawa satu wadah berisi nasi goreng yang dicampur telur serta timur dan tomat di piring lain.

"Enggak, ah. Mama tidak biasa pagi-pagi makan karbo." Alma dengan segera melengos dan pergi.

Indri yang mendengar langkah kaki dari arah kamarnya segera mempercepat gerakan tangannya yang kini sedang menyiapkan bekal untuk Rasya.

Setelah ditengok dari pintu dapur, ternyata Rasya sudah sampai di luar. Indri segera berlari mengejar sang suami.

"Mas, ini bekalnya!" Indri sampai di dekat pintu mobil yang sudah tertutup. Ia berharap, Rasya akan menerima sarapan buatan istrinya yang penuh ikhlas itu.

"Enggak usah dibawain. Buat kamu aja." Mobil mundur dan pergi begitu saja. Tidak ada acara cium tangan apalagi kening seperti kebanyakan suami istri lainnya.

Ada rasa kecewa, padahal itu adalah hal yang sangat dirindukan Indri sejak memiliki Angga kecil. Rasya sudah berubah. Tidak sama seperti dulu, yang selalu manis ketika mereka masih LDR sebelum menikah.

Kini dia lain. Seperti ada jarak dan orang ketiga. Namun, Indri hanya diam. Masih belum menemukan bukti yang kuat jika suaminya itu telah mendua.

Wanita dengan daster robek di ketiak itu kembali ke kamar. Ia mendesah pasrah. Duduk di tepi ranjang dan meraih Angga yang kini merangkak padanya.

"Ndri, ada tamu, tuh, di luar!"

Indri terkejut dengan suara yang telah berada di ambang pintu.

"Siapa, Ma?"

"Lihat aja sendiri," balas Alma lalu pergi lagi. Penampilannya sudah rapi, dan memang sudah menjadi rutinitasnya setiap hari Rabu memanjakan diri ke salon.

Indri menuntun Angga kecil dan melihat siapa yang datang.

"Bu ...."

Rumi datang sendirian. Ia segera memeluk putrinya. Mereka tak tahu ada yang tengah mengumpat di balik dinding.

"Ibu, sendirian?" tanya Indri sambil mengajak Rumi duduk di sofa.

"Tadi Ali yang nganterin. Ibu khawatir sama kamu, makanya ke sini. Gimana kabarmu, Nak?" Wajah keriput itu terlihat gusar.

"Indri baik, Bu. Ibu ... kenapa?" Indri balik tanya. Bukan wanita namanya jika ia tak dapat membaca mimik wajah seseorang.

"Tidak apa-apa. Ibu, cuman ...." Rumi ragu-ragu ingin mengatakan. Ia melirik kanan kiri, takut ada yang mendengar.

"Apa kita bicara di luar aja, Bu?" tawar Indri. Ia tahu maksud lirikan mata Ibunya.

Rumi tersenyum seraya mengangguk.

Mereka kini sudah berada di dalam kendaraan beroda empat. Tidak ada percakapan selain rasa khawatir yang baru saja diucapkan Rumi saat taksi baru saja berjalan membawa mereka.

"Kamu boleh tidak percaya, Nak. Ibu sama Mas-mu, berharap kamu kuat jika semua terbukti nanti."

Indri semakin tak tenang ketika Rumi mengatakan hal itu. "Bu, jangan begitu. Indri harus tahu yang sebenarnya dulu."

"Iya, Ibu tahu. Makanya Ibu ajak kamu ke sana."

Mereka sampai di tempat tujuan. Indri menatap ke atas pada bangunan besar itu lalu lanjut melangkah bersama Ibu dan putranya. Hatinya tak tenang ketika baru saja masuk ke dalam lift.

Sampai di depan ruangan suaminya tanpa basa-basi atau ketuk pintu, Indri membuka pintu dengan kasar.

Kotak bekal makan siang yang ia bawa terjatuh seketika. Wanita dengan gamis panjang dan jilbab segitiga menutup dada itu terperangah melihat seorang wanita duduk di atas meja kerja suaminya.

Ada menu istimewa di depan Rasya. Bukan hanya itu, Indri semakin perih melihat bekas lipstik di pipi putih Rasya.

"Ndri!" pekik Rasya. Ia tak kalah terkejut. Dengan segera, wanita bernama Laura itu turun dari atas meja. Lalu, merapikan rambutnya yang sempat acak-acakan.

"Sedang apa kalian?" Air mata Indri pecah.

Rasya menghela napas kasar. Dia tak mampu menjawab. Indri tak kuat berdiri lama-lama, seperti ingin terjatuh.

Ia segera menoleh pada Rumi lalu mengangguk. Indri menggandeng Ibunya, mengajak kembali.

Langkahnya cepat, tak peduli saat Ali yang memang sekantor dengan Rasya memanggilnya.

"Bu ... Ndri ...!"

Indri dan Ibunya memasuki lift lagi. Ada seorang lelaki yang melirik mereka. Terutama pada Indri yang tengah terisak hebat dalam pundak Rumi.

Seseorang tersebut mengulurkan sapu tangan putih miliknya. Indri pun tak sadar telah menerimanya. Ia mengusap wajahnya dengan rasa perih bagai dialiri cairan cuka.

Comments (9)
goodnovel comment avatar
Farida Tan
Bikin trenyiuh yg kuat ndri
goodnovel comment avatar
Donna Simarmata
Kasihan Indriiii
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
tololllll bodohhhhhh ya gituuu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status