Share

Bab 15

Namun, pintunya tetap tidak terbuka setelah didobrak.

Budi melambaikan tangannya sambil berkata, “Jangan dobrak lagi, sudah ditahan dari dalam. Panjat dinding saja!”

Keempat bawahan itu pun berhenti mendobrak. Kemudian, mereka mulai bertumpu pada satu sama lain untuk memanjat dinding rumah Wira. Setelah melompat masuk, bawahan itu pun membukakan pintu dari dalam agar Budi bisa masuk.

Setelah melihat Budi masuk ke rumahnya, Wulan langsung berlari ke ruang utama dengan panik.

Budi melangkah dengan santai sambil berkata, “Cantik, suamimu sudah kabur, tapi kamu masih begitu setia padanya. Bukannya lebih baik hidup bersamaku yang penyayang?”

“Suamiku nggak kabur! Dia pasti pulang untuk bayar utang! Kamu jangan macam-macam!”

Wulan menyeret meja di dalam ruang utama untuk menahan pintu.

“Apa bagusnya si Pemboros itu hingga kamu begitu setia padanya?”

Budi memberi isyarat pada bawahannya, lalu dua bawahannya langsung mendobrak pintu.

Saat pintu didobrak, Wulan yang sedang menahan meja juga terempas ke lantai.

“Pakai tenaga!” seru Budi sambil tersenyum licik.

Setelah didobrak beberapa kali, pintu itu pun terbuka.

Budi mendekati Wulan dengan ekspresi mesum sambil berkata, “Cantik, berhubung si Pemboros itu nggak ada di rumah, kita bisa langsung masuk kamar. Menurut surat perjanjian, kamu itu sudah jadi milikku.”

Wulan buru-buru bangkit dan berlari ke dalam kamar.

“Cantik, jangan buru-buru dong. Baru dibilang sudah langsung masuk kamar?”

Budi tersenyum licik, lalu membuka tirai menuju kamar tidur.

Syut!

Sebuah gunting tiba-tiba melesat ke arah Budi. Dia langsung ketakutan dan buru-buru mundur.

Baru saja dia mundur beberapa langkah, sebilah pisau dapur menebas ke arahnya lagi.

Wulan menyerbu keluar dari kamar dengan memegang sebuah gunting dan sebilah pisau dapur.

Dia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya selain suaminya. Meskipun harus mati, dia juga tidak akan tunduk pada si Tua Bangka ini.

“Ce ... cepat tahan dia!”

Selesai memberi perintah, Budi buru-buru kabur ke luar.

Seorang bawahan melambaikan tongkatnya, lalu pisau dapur dan gunting di tangan Wulan langsung jatuh ke lantai. Kedua bawahan lainnya segera memungut senjata itu.

Wulan yang sudah kehilangan senjatanya pun perlahan-lahan mundur sambil menggenggam pergelangan tangannya.

Budi menyeka keringat dinginnya dengan kesal. Tadi, dia hanya menggoda Wulan. Sebenarnya, ada tokoh besar yang sudah menginginkan Wulan. Jadi, Budi juga tidak bisa menodainya.

Namun, Budi sudah murka begitu mengalami peristiwa mengerikan seperti tadi. Dia pun kehilangan akal sehatnya dan berteriak, “Tahan dia!”

Empat bawahan Budi langsung mengepung Wulan.

“Aku lebih rela mati daripada dilecehkanmu!”

Wulan menguatkan niatnya, lalu membenturkan kepalanya ke dinding.

Tiba-tiba, belasan warga dusun menyerbu masuk dengan memegang tongkat kayu. Mereka semua adalah warga Dusun Darmadi.

Ada orang yang berteriak, “Budi, kamu mau apa! Berhenti sekarang juga! Kalau nggak, kami nggak bakal sungkan lagi!”

Wulan pun menghentikan tindakannya. Dia mengenal orang-orang ini.

Herman dan Hamid adalah adik Paman Hasan. Sementara Sofyan, Said dan Surya adalah kakak-kakak Sony. Sisanya adalah kerabat Wira yang lainnya.

Budi melirik para warga dusun itu, lalu mengikat kembali ikat pinggangnya dan mengeluarkan surat pinjaman. “Aku datang buat tagih utang. Buat apa kalian kemari? Awas aku jebloskan kalian ke penjara pengadilan daerah!”

Setelah mendengar ucapan Budi, ekspresi beberapa warga dusun langsung berubah drastis.

Rakyat biasa paling takut pada pemerintah. Bagi mereka, yang paling bagus adalah tidak perlu berhubungan dengan orang-orang pemerintah.

Namun, kepala desa adalah penghubung warga desa dengan pemerintah. Begitu ada warga desa yang tidak bisa membayar pajak, Budi akan langsung menyuruh orang menjebloskan mereka ke penjara pengadilan daerah.

“Budi, memangnya kamu kira kamu itu pemimpin kabupaten? Seenaknya saja mau tangkap orang!”

Herman memaksakan diri untuk berkata dengan berani, “Memang benar Wira berutang padamu. Tapi kakakku sudah pergi menemani Wira menjual ikan. Kalau mereka pulang, utangnya sudah bisa dibayar.”

Semalam, Hasan menemui Herman dan menyuruhnya untuk lebih memperhatikan rumah Wira karena takut Budi datang berbuat onar. Hasan juga bilang kalau Wira adalah orang baik.

“Benar!” sahut Surya.

Semalam, Sony membawa pulang dua ekor ikan. Sebelum pergi ke ibu kota provinsi tadi pagi, dia juga mengingatkan Surya untuk mencegah orang yang datang menagih utang ke rumah Wira untuk berbuat onar. Dengan begitu, mereka pasti bisa terus makan ikan ke depannya.

“Beraninya kalian membantahku! Awas aku naikkan pajak kalian di musim panen tahun depan!” ujar Budi dengan kesal.

Biasanya, pajak panen yang harus dibayar penduduk desa ditentukan oleh kepala desa. Pajak itu dibayar dalam bentuk memberikan sebagian hasil panen mereka. Kepala desa akan membayar jumlah yang ditentukan kepada pemerintah, lalu menyimpan kelebihannya sendiri atau dibagi-bagikan kepada pejabat kecil lainnya. Jadi, ancaman ini sangat berguna bagi warga desa.

“Naikkan pajak?”

“Dasar bajingan nggak manusiawi! Asal sudah waktunya bayar pajak panen, kamu selalu hanya mengambil sedikit hasil panen warga Dusun Silali, tapi malah mengambil banyak hasil panen Dusun Darmadi!”

“Kalau kamu berani naikkan pajaknya tinggi-tinggi, kami nggak bakal bayar pajak! Kami bakal lapor ke pemimpin kabupaten!”

Warga desa sudah sepenuhnya marah.

Budi mengerutkan keningnya, dia hanya mengatakan hal itu untuk menakut-nakuti mereka, tetapi mereka malah percaya.

“Sudahlah, ribut apa sih!”

Tiba-tiba, Agus berjalan mendekat dan menegur warga desa, “Nggak mau bayar pajak? Kalian mau memberontak, ya! Menurut kalian, pemimpin kabupaten bakal percaya omongan kalian atau omongan Pak Budi yang bantu dia terima hasil panen?”

Para warga menunduk. Amarah dalam hati mereka sudah berkurang begitu mendengar ucapan Agus.

Herman berkata lagi dengan berani, “Tapi kami juga nggak bisa pergi sekarang. Kakakku dan Wira sedang pergi jual ikan. Asal mereka pulang, utangnya sudah bisa dibayar!”

“Apa kamu nggak bisa hitung? Kamu nggak tahu berapa banyak ikan yang harus dijual untuk mendapatkan 40 ribu gabak?”

Agus menatap Herman, lalu berkata dengan meremehkan, “Harga ikan kecil cuman 10 gabak per setengah kilo, sedangkan ikan besar cuman 16 gabak per setengah kilo. Dari ikan yang didapatkan Wira kemarin, ikan besar paling cuman ada 100 kilo, sedangkan ikan kecil cuman 50 kilo. Jadi, dia paling banyak juga cuman bisa hasilkan 14 ribu gabak.”

“Belum lagi harus bayar pajak ke pemerintah 10% dan ke bos ikan 20%. Uang yang tersisa nggak bakal sampai 10 ribu gabak. Itu masih belum sampai seperempat utangnya!”

Wajah Herman langsung memucat. Kalau uang yang didapatkan Wira belum mencapai 10 ribu gabak, Wira tidak mungkin bisa membayar utang 40 ribu gabak.

Wulan pun berkata, “Meskipun uang penjualan ikan nggak cukup, aku sudah berikan sebuah gelang giok yang harganya 20 ribu gabak untuk digadaikan. Kalau dia pinjam uang sama kakakku lagi, kita sudah punya cukup uang untuk bayar utang!”

Warga desa mengangguk.

Saat pernikahan mereka, ada juga keluarga Wulan yang datang. Mereka memakai baju sutra yang bagus serta menaiki kereta kuda yang cantik dan besar.

Agus berkata sambil mengelus-elus janggutnya, “Apa kalian tahu aturan penggadaian? Giok cuman bisa digadaikan setengah harga. Jadi, giok seharga 20 ribu gabak juga cuman bisa digadaikan seharga 10 ribu gabak!”

“Keluargamu memang kaya, tapi nggak ada gunanya Wira pergi. Keluarga Linardi toh mau kamu kembali, mana mungkin mereka melewatkan kesempatan ini?”

Setelah mendengar ucapan Agus, Wulan langsung terduduk ke lantai.

Situasinya mungkin memang seperti apa yang dikatakan Agus.

Kakak Wulan pasti memilih menghabiskan lebih banyak uang untuk menebusnya kembali daripada meminjamkan uang pada Wira untuk membayar utang.

Setelah melihat situasi Wulan, para penduduk desa pun merasa kasihan terhadapnya.

Jika Wira tidak bisa membayar utang, sepasang suami istri ini harus menjadi budak Budi.

“Bubarlah! Wira nggak mungkin bisa bayar utang. Rumah ini bakal segera jadi milik Pak Budi. Mana sopan kalian datang dengan membawa tongkat kayu!”

Agus mengibaskan tangannya untuk mengusir warga desa. Kemudian, dia tersenyum dan mengangguk pada Budi.

Sebagai penguasa tertinggi Dusun Darmadi, dia harus memiliki hubungan yang baik dengan kepala desa. Dengan begitu, pajak panen yang mereka serahkan bisa menjadi lebih sedikit.

Saat pejabat kecil punya masalah, penguasa tertinggi dusun akan menolong mereka bahkan bila harus menggertak orang dusunnya.

Lagi pula, Agus juga merasa tidak senang terhadap Wira gara-gara insiden ikan kemarin.

“Kepala dusun kalian juga sudah bilang kalau Wira nggak mungkin bisa bayar utang. Cepat pergi!” teriak Budi pada warga dusun. Dengan bantuan Agus, Budi pun menjadi sombong kembali.

“Yang harus pergi itu kamu!”

Wira masuk ke dalam rumahnya dengan murka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status