"Mau makan dulu, atau belanja dulu?" tanya Mas Wira menawarkan pilihan ketika kami berdua memasuki pintu sebuah mall."Terserah Mas saja.""Hmm, sampai sekarang aku bingung kenapa wanita suka sekali mengeluarkan senjata ampuhnya itu," gumam Mas Wira."Hah? senjata apa, Mas?" Aku mengernyitkan dahi."Kata 'terserah'. Nggak mama, Rena, kamu, suka sekali bilang terserah," ucap Mas Wira."Terus, siapa lagi yang suka bilang 'terserah' ke Mas Wira?" godaku.Lelaki itu hanya tersenyum dan tak menjawab pertanyaanku. Aku juga tak berharap mendapat jawaban darinya. Niatku tadi hanya ingin menggodanya saja.Kami berdua pun menaiki eskalator. Mas Wira memutuskan untuk mengisi perut dulu. Alasannya, karena perempuan tidak boleh telat makan, begitu katanya. Aku hanya mengiyakan saja. Meski aku tidak tahu apa alasannya. Kalau lelaki berarti boleh telat makan, begitukah?Ketika sedang menunggu makanan tiba, tak sengaja pandangan mataku menangkap Bang Yossi yang juga tengah makan bersama dengan anak
Bibirku terus menyunggingkan senyum sembari berbaring di atas ranjang. Hatiku berbunga-bunga mendapati kenyataan bahwa Mas Wira ternyata terlalu peduli padaku. Menunggunya di atas ranjang adalah hal yang tepat kulakukan saat ini.Hingga lelaki itu keluar dari kamar mandi, setelah selesai membersihkan diri. Sebuah rutinitas yang biasa kami lakukan ketika akan mulai menyambangi alam mimpi.Ekor mataku seakan tak ingin lepas darinya. Aku merasa diriku ini mulai tidak waras karenanya. Aku menginginkan sesuatu yang lebih. Ya, lebih dari malam-malam kemarin selama kami menikah. Bagaimanapun, aku ini wanita normal yang butuh kasih sayang dari seorang suami. Bukan, bukan berharap melakukan aktivitas seperti yang biasa dilakukan oleh pasangan suami istri. Hanya ingin tidur di pelukannya seperti di hotel kemarin, itu saja. Akan tetapi, hingga Mas Wira selesai memakai piyamanya, pria itu malah tak mendekatiku sama sekali. Ia memilih beranjak ke sofa yang kini telah beralih fungsi menjadi tempat
Tepat pada saat jam makan siang tiba, Mas Wira datang menjemputku. Ia langsung masuk ke dalam kamar guna menemuiku."Sudah siap, Yessi?"Aku yang baru saja selesai berdandan, seketika menoleh dan mendapati dirinya telah berdiri di ambang pintu. "Sudah, Mas," sahutku seraya meraih slingbag yang sebelumnya sudah kupersiapkan di atas nakas.Kami pun berjalan beriringan. Ketika melewati ruang tengah, ada mama di sana yang sedang asik menonton televisi. "Mau pergi ke mana kalian?" tanyanya seolah menginterogasi. "Ke rumah teman, Ma," sahut Mas Wira."Penting banget ya temen kamu itu, sampai-sampai kamu pulang cepet dari kantor." "Kamu tau kan Wira, kalau perusahaan kita itu sedang tidak baik-baik saja. Itu artinya perusahaan sedang butuh sentuhan tangan kamu.""Ayolah, tunjukkan totalitas kerja kamu. Semangat untuk menaikkan kembali nama perusahaan kita. Jangan seenaknya keluar-keluar sementara jam kantor masih panjang."Aku tak tahu mengapa mama malah jadi membahas perusahaannya. Namu
Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba pandanganku menangkap sosok seperti Bram. Dia terlihat akan menaiki sepeda motornya yang sedang terparkir di depan sebuah ruko.Mataku sampai memicing demi memastikannya. Ya! aku tak salah lihat kalau orang itu adalah Bram. Meskipun hanya sekilas, aku sangat yakin jika itu dia. Tiga tahun menjalin kasih, tak membuatku lupa tentang bagaimana bentuk postur tubuhnya. Tapi, kenapa lelaki itu ada di sini? bukankah katanya dia sedang berada di Palembang karena katanya hendak merintis usaha baru milik ayahnya, dan akan kembali setelah lima bulan? Sementara sekarang ini baru dua bulan semenjak kepergiannya. Aku jelas tahu. Sebab, dia pergi meninggalkan kota ini di saat hubungan kami masih baik-baik saja. Dan memutuskanku begitu saja pada saat dia sedang berada di luar kota."Ada apa, Yessi? kamu sedang melihat apa?" tanya Mas Wira tiba-tiba dan hampir membuatku terlonjak saking kagetnya."A-anu, Mas ... itu—""Pingin rujak lagi?" potong Mas Wira."Buk
Siang ini, aku tengah berkutat di dapur. Sebab ibu mertua menyuruhku membuat camilan kesukaannya, cupcake keju. Awalnya semua baik-baik saja ketika aku mulai mengayak bahan-bahan keringnya terlebih dahulu. Hingga masalah pun dimulai pada saat aku mulai memasukkan telurnya. Seperti biasa, aku tak menggunakan masker lantaran nyonya besar berdiri di sebelahku bak manekin di Pasar Tanah Abang guna mengawasiku.Refleks, aku langsung menutup mulut begitu tercium aroma amis dari telur, yang langsung membuatku mual.Mungkin saking refleksnya, hingga tanpa sengaja tanganku malah menyenggol mangkuk kaca berisi telur yang baru saja kupecahkan. Akibatnya, mangkuk kesayangan mama mertua yang katanya beli di India itu akhirnya jatuh ke lantai, dan akhirnya ....Prang!Pecah.Sontak, raut wajah mama langsung berubah warna memelototiku."Kenapa kau pecahkan mangkuk kesayanganku, hah?! Itu telurnya berceceran ke mana-mana. Rugi saya rugi! Manabau amis lagi. Dasar bloon!" makinya.Na'asnya lagi, aku
"Yessi ...!" Panggilnya lagi."Apa perlu aku yang melakukannya?" Mas Wira kemudian berjongkok dan bersiap menaikkan celana panjangku ke atas. Refleks, aku langsung menjauhkan kakiku."Kenapa?" Ia menatapku tajam."Mas sendiri mau apa?" tanyaku memberanikan diri."Cuma mau liat kaki kamu." Pria di hadapanku ini kembali menaikkan celana yang kukenakan.Aku bergegas menahan tangannya. "Memangnya apa yang mau dilihat sih, Mas? kakiku normal. Nggak ada yang aneh dengan kakiku," protesku.Namun ia seperti tak peduli dengan aksi protesku barusan. Tanganku nyatanya tak lebih kuat dalam menahan gerakannya yang sedikit memaksa, ketika ia menaikkan gulungan celanaku ke atas. Lalu sesuatu yang kutakutkan itu pun terjadi."Ini apa?" tanyanya dingin sembari menunjuk bagian paha dan betisku yang terdapat beberapa bilur warna biru. Matanya tajam menatapku.Aku hanya bisa menelan ludah. Lidahku mendadak berat tak bisa menjawab. Pandanganku memindai raut wajah lelah bercampur geram yang kini berjongko
"Mas, aku numpang mobilnya ya," pinta Reni begitu kami keluar kamar."Mas buru-buru, ada meeting di kantor," sahut Mas Wira acuh tak acuh."Ish, pelit banget, sih. Kita kan searah, Mas." Reni memohon sembari mengekori Mas Wira di belakangnya."Tidak bisa!" jawab Mas Wira tegas sembari berjalan menuruni tangga.Sampai di bawah, kebetulan pula ada mama yang sedang berdiri di dekat tangga. Mas Wira melewati mama begitu saja. Sementara adik perempuannya tetap membuntuti di belakangnya, bersikeras ingin menumpang mobilnya."Wira, antar sekalian adikmu ke sekolah dulu, dong. Kan kalian searah. Kasihan adik kamu udah telat." Mama ikut-ikutan membujuknya.Mas Wira tak memedulikan bujukan sang mama. Lelaki itu terus melangkahkan kakinya hingga ke pintu mobil. Mau tak mau mama juga terpaksa mengikutinya sampai ke teras rumah, posisinya agak jauh dari tempatku berdiri."Wira!" hardik mama.Mas Wira tak jadi membuka pintu mobilnya. Ia pun berbalik badan."Ada apa lagi, Ma? Wira buru-buru, sebab a
"Oh, mantan pacar, ya?" sahutku setelah sempat termangu beberapa detik. Setelahnya, aku membantu Bik Inah menyiapkan bahan-bahan untuk diolah menjadi menu makan siang. "Nggak usah, Non. Biar bibik aja. Non duduk aja liatin bibik sambil kita ngobrol-ngobrol," tolak Bik Inah."Nggak apa-apa, Bik. Justru sambil ngobrol, tangan juga harus bekerja," sahutku sembari menyiangi sayur bayam."Bik ...!" panggilku lagi."Ya, Non.""Memangnya mantan pacarnya Mas Wira sering main ke sini, ya?" tanyaku akhirnya, tatkala rasa penasaran tidak bisa kutahan lagi."Dulu sering sih, Non. Cuma semenjak Non Priska kuliah di luar negeri, ke sininya ya cuma pas libur doang," sahut Bik Inah sembari mengupas bawang merah. Oh, kuliah di luar negeri?Aku manggut-manggut seraya mengusap kedua mataku yang perih akibat terkena hawa bawang merah yang sedang dikupas oleh Bik Inah.Beliau yang mengupas, mataku yang perih."Nggak usah nangis, Non. Non Priska kan cuma masa lalu. Kalau Non Yessi kan masa sekarang dan