"Kok gak ada foto Andriana lagi di sini? Lo pindahin apa gimana?" tanya Araya. Hari ini lelaki itu memang sedang berkunjung ke rumah kembarannya untuk sekedar memberitahukan pesan ayahnya pada Arayi.
Arayi yang baru saja keluar dari kamar mandi menoleh, ia menghela napasnya pelan. "Dibuang sama Mama," jawabnya lesu.
Araya mengangkat sebelah alisnya, "Mama ke sini kemarin?"
Sang kembaran mengangguk. "Bersihin kamar gue, katanya kamar gue kotor banget."
Terdengar kekehan dari mulut Araya, ia menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa yang ada di kamar Arayi. "Mama tuh lagi sarkas, dia tau anak pertamanya belum move on sama masa lalu, makanya sengaja buang foto kalian biar lo gak terus-terusan ingat sama dia."
"Tapi itu foto terakhir gue sama Andriana."
"Ya terus kenapa? Lo mau terus-terusan gagal move on sama orang yang udah ninggalin lo itu? Sadar aja sih, lo ditinggalin sama dia. Ah, lebih tepatnya, lo dicampakkan," ujar Araya. Ada nada geram kala ia mengucapkan itu, teringat kembali akan Andriana yang memperlakukan kembarannya seakan Arayi adalah sampah.
"Dia punya alasan," kata Arayi, seakan tak pernah lelah untuk denial dan terus membela Andriana. Araya cukup muak dengan segala pembelaan yang diucapkan oleh Arayi.
"Bela aja terus, emang kalau udah cinta sampe gak tau caranya buat mikir secara logis. Ingat, lo sekarang udah punya Kanara, jangan sampai lo nyakitin dia. Kalau nggak, Papa bakal marah besar sama lo," peringat Araya, meskipun ia tahu bahwa Arayi bukanlah orang yang mengabaikan tanggung jawabnya.
"Gue tahu, gue bakal bertanggung jawab atas kebahagiaan Kanara, gue juga bakal berusaha melupakan Andriana dan fokus sama Kanara."
Araya menganggukkan kepalanya, "Memang harus begitu."
Arayi duduk di samping sang kembaran, matanya menatap Araya dengan pandangan bertanya, "Jadi, apa alasan lo datang ke sini?"
"Gue cuma mau menyampaikan pesan Papa," kata Araya.
Menyipitkan matanya, Arayi bertanya, "Apa?"
"Papa nyuruh lo buat meyakinkan Kanara secepatnya, biar kalian bisa cepat-cepat menikah. Papa mau dalam waktu sebulan, kalian udah harus menikah."
***"Mas Arayi udah cinta belum sama aku?" Pertanyaan tiba-tiba yang dilayangkan oleh Kanara berhasil membuat Arayi terbelalak kaget.
Lelaki itu menatap Kanara dengan kedua alis menyatu, terdapat keheranan dari raut wajahnya. "Pertanyaan kamu tiba-tiba banget."
Kanara mengembungkan pipi, lalu menyengir pada lelaki yang tujuh tahun lebih tua darinya tersebut. "Nanya aja sih, Mas. Siapa tahu kan Mas Arayi udah cinta sama aku."
"Kamu sendiri, udah cinta belum sama saya?" Bukannya menjawab, Arayi malah bertanya balik.
Kanara yang sebelumnya tidak memiliki persiapan apapun denga pertanyaan Arayi pun melotot. Ia sedikit terbata ketika menjawab, "Em .... belum sih, Mas."
Arayi tersenyum maklum mendengar itu, ia menganggukkan kepalanya mengerti. "Ya udah, gak perlu buru-buru, kita masih punya banyak waktu untuk bisa saling mencintai."
"Dari ucapan Mas Arayi tadi, kayanya Mas Arayi juga masih belum cinta ya sama aku?" tebak Kanara. Perhatian gadis itu sepenuhnya terfokus pada Arayi, bermaksud meminta jawaban pasti dari sosok itu.
"Jawab aja, Mas, aku gak masalah kok," tambah Kanara, paham betul dengan ekspresi wajah Arayi yang tampak serba salah.
"Saya memang belum cinta sama kamu, tapi kamu cukup menarik perhatian saya. Kamu cantik, cerewet, agak manja, dan saya suka semua sifat yang ada di diri kamu," jawab Arayi dengan sehati-hati mungkin.
Senyum cerah terpatri di wajah cantik Kanara begitu mendengar kalimat yang diucapkan oleh Arayi. Kedua pipinya memerah akibat malu, ia menunduk untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. "Aku jadi salah tingkah nih, Mas."
Arayi lantas terkekeh geli mendengar ucapan jujur Kanara. Tangannya terulur untuk menyingkirkan anak-anak rambut yang menutupi wajah cantik calon istrinya itu. Tak lupa, ia mencubit pipi kemerahan Kanara. "Kamu ngegemesin kalau lagi salah tingkah gini."
Kanara mendengkus geli. "Mas Arayi jangan gombal, nanti aku makin salah tingkah."
"Gapapa, saya suka kok liatnya."
"Tapi aku yang malu, Mas Arayi," ujar Kanara dengan raut wajah yang sengaja dibuat marah.
Arayi tentu tertawa melihat itu. Ia mengacak-acak surai Kanara pelan sembari berucap, "Ya udah, saya ngalah nih."
Kemudian keduanya sama-sama tertawa.
"Nanti kalau kita udah nikah, Mas Arayi bakal mencintai aku kan?" tanya Kanara setelah tawanya terhenti. Ia masih harus menanyakan Arayi perihal ini, seperti apa yang disuruh Alea kemarin.
"Akan saya coba, Kanara." Arayi menjawab dengan nada meyakinkan.
Kanara mengangguk mengerti.
"Kalau nanti aku yang duluan jatuh cinta sama Mas Arayi, apa Mas bakal keberatan?"
"Saya justru senang," jawab Arayi.
"Mas Arayi gak bakal porotin aku kan, Mas?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut cerewet Kanara berhasil mengundang tawa Arayi.
"Aku tahu kok kalau Mas Arayi kaya banget, tapi aku cuma jaga-jaga aja sih. Aku masih trauma sama Randi soalnya, uangku habis cuma buat jajanin dia doang," tambah Kanara bersungut-sungut. Mendadak sedikit ingatan mengenai Randi lewat di pikirannya. Rasa kesalnya masih mendominasi, merasa tak terima karena pernah diperdaya oleh lelaki tak tahu diri itu.
"Nanti saya yang bakal jajanin kamu, Kanara. Tapi syaratnya kamu harus nikah dulu sama saya."
Kanara kembali tersenyum, ia menganggukkan kepalanya semangat. "Kalau itu mah bisa dibicarakan, Mas. Yang penting uang bulanannya lancar dulu."
Arayi menggeleng-gelengkan kepalanya pelan mendengar itu. Ia tak pernah mengira bahwa Kanara akan selucu ini saat diajak bicara. "Saya jamin nanti kamu gak bakal ngeluh kekurangan uang kalau nikah sama saya."
Kanara mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Kalau gitu, aku mau nanya satu pertanyaan terakhir."
Arayi menoleh, "Apa?"
"Setelah kita menikah, Mas Arayi gak akan selingkuh dan meninggalkan aku kan?" tanya Kanara, rautnya harap-harap cemas menunggu jawaban yang akan diberikan oleh Arayi.
"Saya bukan orang brengsek yang bisa nyakitin kamu semudah itu, Kanara. Kalau kamu sudah jadi istri saya, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya menyangkut kebahagiaan kamu. Saya akan berusaha agar kamu gak pernah merasakan sakit sedikitpun," jawab Arayi.
Kanara terdiam untuk beberapa saat yang lama setelah mendengar penuturan Arayi. Entah kenapa, ia merasa semakin yakin untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Arayi jelas-jelas adalah orang yang berbeda kelas dengan cowok-cowok yang pernah ia pacari sebelumnya. Arayi adalah wujud paling nyata dari lelaki yang ia dambakan selama ini. Lantas, apalagi yang harus dipertimbangkan? Kanara tentu saja sudah yakin dengan Arayi, dengan hubungan yang akan mereka jalin, dan dengan semuanya.
"Sekarang giliran saya yang nanya. Kanara, kamu bersedia menikah dengan saya?" tanya Arayi yang langsung mendapat anggukan dari Kanara.
Setelah saling mengenal dalam kurun waktu yang lumayan singkat, Arayi dan Kanara akhirnya menikah. Akad nikah sudah diselenggarakan, begitupun dengan resepsi yang mengundang banyak kenalan baik dari pihak orang tua Arayi maupun orang tua Kanara.Kini, Kanara tengah beristirahat sambil menghapus make up di wajahnya dengan dibantu oleh MUA. Badannya terasa pegal karena seharian harus menghabiskan waktu untuk menghadapi para tamu yang kelewat banyak itu."Gue gak nyangka lo sekarang udah jadi bini orang, Ra!" Ucapan Alea berhasil membuat Kanara terkekeh geli, ia memandang sang sahabat dari cermin dengan senyum simpul."Gue juga gak nyangka kali," balas Kanara."Yah, jadi gak bisa sering-sering ngajak main lagi dong gue?" Alea berucap sembari memasang raut sedih. Mengingat temannya selama ini hanyalah Kanara."Makanya nikah juga dong, biar punya temen hidup, biar nanti kita bisa double date juga." "Gue masih lama kali, masih dua tiga ini, masih mau nikmatin hidup. Lagian apaan banget lo,
"Mas?" Panggilan Kanara yang baru saja terbangun dari tidurnya setelah pergelutan panas mereka berhasil membuat Arayi menoleh. Lelaki itu menatap Kanara yang berada di pelukannya. Keduanya masih berada di balik selimut dengan badan yang tak memakai sehelai kain apapun."Ya?" respon Arayi dengan suara serak khas bangun tidurnya. Jam telah menunjukkan pukul 5 subuh ketika keduanya bangun.Kanara tampak berdehem sesaat sebelum mengatakan, "Aku .... suka yang kemarin."Arayi mengerutkan keningnya dengan senyum samar yang menghiasi wajah tampannya. "Walaupun kamu nangis-nangis sampe minta berhenti?" Kanara mendengkus kasar, ia menutup wajahnya yang memerah akibat malu. "Jangan dibahas yang itu .... intinya setelah itu aku suka," ujarnya.Arayi tersenyum, ia semakin mengeratkan pelukannya pada sang istri. Tangannya mengusap punggung polos Kanara, lalu memberikan kecupan pada pucuk kepala sang wanita. "Mau lagi?"Kanara kontan memukul lengan atas Arayi pelan, "Mas! Jangan terlalu terang-ter
"Pagi Mas Arayiiiii," sapa Kanara dengan mata berbinar. Ia menyengir pada Arayi yang membuat suaminya kontan terkekeh geli.Sebuah cubitan mendarat di pipi mulus Kanara, "Pagi juga Kanara cantik."Senyum Kanara semakin mengembang. Ia membalik telur ceplok yang ia buat, lalu mengangkatnya setelah matang.Sementara Arayi duduk di meja makan seraya menikmati teh yang dibuat oleh asisten rumah tangga mereka.Kanara meletakkan piring berisi toast dengan telur ceplok serta alpukat ke depan Arayi. "Ini sarapannya ya, Mas.""Kamu seharusnya gak perlu repot-repot begini, biar Bi Ani yang ngurus urusan rumah," kata Arayi.Kanara duduk di depan Arayi, "Terus aku ngapain dong kalau Bi Ani yang ngurus?" tanya Kanara balik."Rebahan, mungkin?" balas Arayi yang kontan mengundang tawa dari Kanara."Rebahan kadang juga bikin capek lho, Mas. Aku gak mau badanku jompo di usia yang masih muda gara-gara jarang gerak," ujar Kanara.
"Siapa sih Jessica itu? Gue sih gak masalah ya kalau dia biasa aja sama gue. Tapi, Al, masalahnya tuh dia natap gue kaya seakan menilai gitu. Kaya lo ngerti gak sih? Dia mungkin ngerasa gue gak cocok kali ya sama Mas Arayi?" gerutu Kanina sembari memeriksa pesan yang masuk melalui emailnya."Pernah pacaran kali sama Mas Arayi. Siapa tahu dia belom move on, makanya natap lo kaya gak suka gitu," balas Alea di seberang sana. Perempuan itu tengah berada di kubikelnya sembari mengerjakan kerjaan kantor.Kanara menghela napasnya, merasa tak sepemikiran dengan Alea. "Masa sih? Kok gue ragu ya?""Ragu kenapa? Menurut gue sih begitu, kan Mas Arayi juga bilang kalau mereka temen kuliah kan? Itu artinya mereka udah kenal lama," ujar Alea."Ya iya sih." Kanara menggigiti jari-jari tangannya seraya berpikir. "Gue ngerasanya dia tuh cuma gak suka karna gue gak sesuai ekspektasi dia? Tatapan dia ke Mas Arayi juga bukan yang tatapan cinta gitu. Mungkin
Arayi menghela napasnya kasar. Ia mengacak-acak rambutnya yang telah berantakan. Ucapan Jessica siang tadi masih memenuhi isi kepalanya, yang membuat dirinya sekarang jadi sedikit kacau.Mobil yang dikendarai Arayi perlahan memasuki garasi rumah. Kanara telah pulang sejak sore tadi, sementara Arayi masih ada kerjaan yang mengharuskannya pulang larut malam.Lampu rumah sudah padam. Tampaknya Kanara telah tidur. Arayi memasuki rumahnya tatkala menemukan Kanara yang terduduk di atas sofa ruang tengah sembari menyemil keripik kentang. Televisi di depannya menyala, menayangkan sebuah kartun pinguin kecil.Perhatian Kanara beralih, ia melempar senyum pada Arayi seraya beranjak dari posisinya. Wanita itu berjalan menghampiri sang suami yang masih terdiam di tempat."Hai, Mas," sapa Kanara sambil mengecup singkat bibir Arayi. Ia mengambil jas serta tas kerja Arayi untuk dibawa ke kamar.Arayi mengekor dengan alis yang masih menyatu keheranan. "Ka
Jam makan siang ini Kanara pergi makan di luar sekaligus bertemu dengan Alea. Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah rumah makan yang berada di tengah-tengah antara kantor Kanara dan Alea."Gue heran, kenapa Mas Arayi tuh manis banget ya, Al?" Kanara berucap dengan wajah cengengesan.Alea berdecak mendengar pertanyaan itu. Ia menyandarkan badannya pada sandaran kursi sembari memandang Kanara sebal. "Yeuu, dasar pengantin baru! Udah bucin aja lo," cibir Alea."Mas Arayi tuh ya, Al, orangnya tuh perhatian banget. Dia juga sering muji gue, selalu mengapresiasi apa yang gue lakuin. Duh, gue jadi klepek-klepek sama dia." Kanara mesem-mesem sendiri mengucapkan hal itu.Alea menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, ia mengelus dadanya agar tak kaget melihat sahabatnya yang berubah drastis setelah menikah."Lo ngomong gitu kaya udah cinta aja."Mendengar hal itu, Kanara jadi berpikir. Kunyahannya terhenti, sendok dan garpu yang ia gengga
Hari ini Wina pergi ke rumah Arayi dan Kanara untuk berkunjung. Bermaksud memastikan bahwa hubungan Arayi dan Kanara baik-baik saja. Kanara yang kala itu baru saja pulang bekerja menyambut Wina dengan ramah. Ia izin mandi sebentar dan meminta Bi Ani selaku asisten rumah tangga untuk menemani Wina. Setelah selesai mandi, Kanara turun menghampiri Wina yang tengah mengobrol dengan Bi Ani sembari menonton film. Kanara duduk di samping Wina yang kini telah mengalihkan perhatiannya pada sang menantu. Bi Ani setelahnya pamit untuk melanjutkan pekerjaannya memasak makan malam. “Gimana?” tanya Wina antusias, tontonan televisi di depannya sudah tak lagi ia pedulikan. Kanara mengernyit, “Gimana apanya, Ma?” tanya Kanara keheranan. “Itu lho, Arayi gimana sikapnya? Baik aja kan sama kamu? Kamu gak dimacam-macamin kan sama dia?” tanya Wina penasaran. Mengingat bahwa Arayi dan Kanara menikah karena perjodohan. Ia merasa khawatir jika saja
Hari Minggu adalah hari yang tepat digunakan untuk bersantai. Seperti yang dilakukan oleh kedua suami istri yang usia pernikahannya baru saja menginjak dua minggu ini. Dibanding keluar rumah untuk jalan-jalan, Arayi dan Kanara lebih memilih untuk menonton film di ruang tengah yang ada di rumah mereka. Kanara menyandarkan punggungnya pada dada bidang Arayi dengan mata yang fokus pada layer di depan sana. Tangannya memegang kedua tangan Arayi yang melingkar di perutnya. “Mas suka filmnya?” tanya Kanara, ia menoleh pada Arayi yang menaruh dagu di bahunya dengan pandangan bertanya. Tanpa pikir panjang, Arayi langsung menggeleng. “Gak suka sama sekali.” Kanara mendengkus kesal, ia memukul tangan Arayi yang masih bertengger di perutnya. “Terus kenapa nonton?” “Supaya kamu ada temennya,” jawab Arayi. Ia mengeratkan pelukannya sembari menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Kanara. “Kalau boleh jujur, aku lebih seneng peluk kamu kaya gini dibanding h