Jayden memijat pelipisnya sekilas, Jayden di buat geleng - geleng kepala dengan kelakuan Brian.
Banyak pelanggaran, ikut tawuran hingga di bawa polisi dan ada yang lebih parah. Seks bebas.
Demi apapun, Jayden sudah merasakan karmanya. Ternyata perbuatannya dulu sama sekali tidak di benarkan dan membuat orang tuanya pusing.
Jayden jadi rindu sang ayah--Jefri. Dia harus banyak meminta maaf pada ayahnya yang sering di buat pusing olehnya dulu.
“Kapan baikan?”
Jayden menoleh, mengusap pipi Zela yang kini bersandar di bahunya.
“Bukan salah aku, sayang..” Jayden menyandarkan kepalanya pada kepala Zela.“__tunggu anak itu sadar sendiri, dia yang salah di sini..” lanjutnya dengan tidak ingin di bantah.
“Aku kangen Brian ada di rumah, kita kumpul setiap hari, setiap pulang dari luar kita bisa ketemu mereka..”
“Brian laki - laki, mandiri itu harus..” Jayden bergerak, menuruni kasur lalu menuju kamar mandi.
Zela hanya menatap Jayden dengan sendu. Kedua laki - laki itu begitu sama keras kepalanya.
Jayden VS Brian, entah siapa yang akan mengalah.
***
Brian acuh, sedangkan Biya terlihat gelisah di sampingnya.
“Bri..” panggilan manja dengan sedikit rengekan itu menyapa Brian, tangan sebelahnya yang nganggur di lilit oleh Yuna.
Yuna melirik Biya dengan sinis sesaat, lalu fokusnya kembali pada Brian.“Ngapain sih, rangkul - rang_” ucapannya terhenti.
Brian melepaskan lilitan Yuna di lengannya dengan risih, tangannya itu kini beralih merambat dari perut ke pinggang Biya.
Biya semakin tegang, posisinya sungguh sangat intim. Wajahnya terasa panas, namun tangan dan kakinya semakin dingin saking gugupnya Biya kini.
“Gue udah ga mau main, sama yang lain..” usirnya acuh lalu tatapannya beralih pada Biya yang kini menunduk.
Brian mengamatinya, menyelipkan rambut yang menghalangi wajah Biya itu ke belakang telinga lalu kembali memeluk nya dengan sebelah tangan.
“Bayi, di sini ga nyaman__kita pindah..” Brian membantu Biya untuk berdiri, Brian pun menuntun Biya tanpa peduli dengan desas - desus dan Yuna yang kesal di tempatnya.
“Udahlah jangan ganggu Brian lagi, Yun..” suara Satria terdengar acuh tak acuh.“lo udah di buang, biar gue perjelas..” sarkasnya.
Yuna menatap Satria dengan penuh emosi, dulu saja laki - laki itu begitu ketagihan 'main' dengannya dan kini begitu ketara kalau dia di buang.
“Lo mau gue puasin? Lo terlalu sensi, lo butuh penyaluran, wahai Satria kegelapan!” tekan Yuna dengan penuh emosi lalu beranjak dengan wajah memerah menahan emosi dan malu.
“Dih_”
“Tau aja lo, pasti lo mau jawab gitukan?” potong Waldi yang membuat Angga terbahak.
“Apaan sih! Gue bukan kalian!” semprot Satria dengan sewotnya.
***
Brian membantu Biya berdiri lalu berbalik pada dua laki - laki yang sibuk bercanda hingga menabrak Biya. Pelaku yang jelas tidak akan Brian biarkan.
“Anjing lo!” Brian meraih kerahnya dan mulai berkelahi dengan membabi buta. Tidak Brian biarkan lawannya untuk melawan balik.
“Rasain! Beraninya lo nabrak bayi gue sampe jatuh!” bentaknya di setiap bogeman yang melayang pada wajah manis pelaku.
Siswa - siswi mulai kepo, dengan tanpa intruksi semua melingkar tanpa ada yang berani untuk melerai.
“U-udah..” Biya dengan tangannya yang gemetar meraih lengan seragam Brian, meremasnya hingga Brian tersadar dari emosinya."udah, Brian.." mohon Biya.
Nafas Brian masih memburu, di liriknya Biya sekilas lalu kembali pada pelaku yang ada di kukungannya dengan keadaan berdarah - darah dan terbatuk - batuk.
“BRIAN ADRAZI RULZAIN!” suara ibu Ineke menggelegar di sepanjang koridor. Suaranya mampu membuat para kerumunan itu membubarkan diri tanpa di suruh lagi.
Biya semakin gemetar, tangannya yang berkeringat itu semakin dingin.
Brian beranjak, berdiri dengan pasrah. Tangannya tertarik seperti magnet, menggenggam tangan Biya yang bergetar parah di tambah dingin.
“Kalian berani berantem di dekat ruang bimbingan konseling? Benar - benar anak yang_”
“Langsung hukum bu, kasihan dia..” tunjuk Brian pada korbannya dengan acuh.
Bu Ineke sontak menutup mulutnya, emosinya menguap seketika.“Astaga, cepat bawa dia ke UKS..” hebohnya dengan khawatir.
Teman laki - laki si korban dan para siswa yang masih ada di sekitar pun membantu, memapahnya menuju UKS.
Bu Ineke menoleh kearah Brian.“Kamu pulang sekolah ibu tunggu di ruangan!” tegasnya lalu berlalu.
“Ke-kenapa ha-harus pake ke-kerasan..” suara Biya begitu gemetar, tatapannya masih tidak fokus saking syoknya.
***
“Kontrol emosi kamu” Jayden menekan bahu Brian dengan telunjuknya sebentar.“bisa bahaya, engga hanya untuk orang lain, tapi untuk Biya..” tunjuknya pada kamar yang berisi gadis penakut itu.
Brian tidak terganggu, dia masih diam dengan batunya. Nasehat tidak masuk sama sekali.
“Emosi kamu udah engga sehat, emosi kamu bukan bentuk kekhawatiran..” sambung Jayden sebelum pergi meninggalkan apartement Brian.
Brian menatap pintu yang membuat Jayden hilang itu, tangannya terkepal. Ayahnya itu sok tahu, hardik Brian dalam hatinya.
Brian tidak akan sebatu ini, kalau saja Jayden mengerti dirinya.
“ARGH!” teriak Brian hilang kendali dengan nafas memburu. Kehidupannya benar - benar berubah semenjak masuk SMA.
Biya yang kini ada di kamar Brian tersentak kaget, jiwanya yang penakut membuat Biya gampang gelisah dan ketakutan.
Tak lama, pintu kamarnya terbuka. Brian dengan langkah lebarnya menghampiri Biya, kedua tangannya meraih tengkuk dan sebelah pipinya.
Brian melumat bibir kaku itu dengan kelaparan, dia butuh hiburan. Brian tidak peduli dengan rontaan Biya.
***
Mendengar igauan Biya yang selalu memanggil ayahnya itu membuat Brian semakin memantapkan hatinya untuk bilang.
Biya yang berjongkok, memainkan tangannya di kotak kaca yang berisi anak kura - kura milik Brian itu sontak berdiri dan berbalik menatap Brian.
“A-ayah..” suaranya tercekat, gelisah mulai merambat menghiasi wajahnya yang cantik tanpa polesan make up itu.
Brian mengusap pipi Biya.“Hm, mau jenguk?” tawarnya dengan tatapan masih mengamati Biya dengan intens.
Biya mengangguk cepat, sudah hampir seminggu lebih dia di apartement Brian. Biya ingin bertemu dengan ayahnya.
“Tapi janji dulu..“ Brian menarik Biya untuk merapat padanya.“janji, pulang lagi ke sini..” tuntutnya dengan menatap serius dan tajam kedua mata sayu itu.
Biya diam, berpikir sejenak. Dengan berat, Biya mengangguk.
Brian tersenyum puas, bibirnya kembali mendarat di bibir Biya. Rasanya dia tidak akan bosan untuk mengulum bibir alami itu.
Keserakahan membuat Brian tidak bisa hanya mencuri ciuman pertama Biya. Dia akan terus mencuri yang kedua, ketiga dan seterusnya.
Brian sudah memutuskan kalau Biya akan selalu menjadi miliknya. Tanpa persetujuan pun dia tidak peduli, seegois itu.
Biya menjilat bibirnya gugup, tidak ada siapa - siapa di kamar ini. Bukan karena takut, dia bahkan sudah biasa sendirian. Biya hanya malu sendiri dengan apa yang di lakukan Brian pada bibirnya.Demi apapun, ciuman pertamanya di ambil Brian saat itu dan yang kedua lalu ketiga, rasanya Biya bisa gila di peluk malu dan sedih. Sedihnya karena Biya merasa tidak ada bedanya dengan Yuna CS. Apakah setelah bibir lalu turun ke_Biya menggelengkan kepalanya cepat, mencoba menepis semua pemikiran anehnya. Biya kembali gelisah, banyak sekali yang memberatkan pikirannya.“Kenapa belum siap - siap?”Biya tersentak kaget di duduknya. Nafasnya terasa tersedot tiba - tiba. Biya kembali menundukan kepalanya.“Kenapa?” Brian berdiri menjulang tinggi di depan Biya yang terduduk itu, di usapnya kepala mungil yang sering berpikir
Biya merasa tangan yang di genggam Brian kini berkeringat, karena hanya tinggal beberapa langkah lagi kakinya akan sampai di ruangan yang di tempati ayahnya.“Bri-Brian_” Biya menatap canggung wajah Brian yang tampan bak dewa itu.“a-aku em sebentar_” di tarik tangannya yang berada di tangan Brian itu.Keduanya tengah berdiri di samping pintu yang menjadi ruangan Rudy di rawat. Biya membiarkan kedua tangannya saling meremas gelisah.“Tarik nafas_buang” Brian mengusap bahu Biya, mencoba membuatnya tenang.“_ada aku bayi, tenang_ semua pasti baik - baik aja..” yakinnya.Biya menelan ludah, menatap wajah maskulin Brian dengan gugup. Suara dan wajahnya sungguh berbeda.Tidak akan ada yang percaya kalau wajah tampan namun menakutkan itu memiliki suara yang lembut. Bahkan membuat Biya nyaman.
Brian meraih helm di tangan Biya, menyimpannya lalu bercermin sesaat sebelum menggandeng Biya menuju ke dalam gedung sekolah.“Brian_” Biya melirik Brian dengan ragu dan canggung.“ki-kita pisah aja sekarang..” dengan pelan Biya berusaha menarik tangannya dari genggaman Brian.“Kenapa? Kelas kamu masih cukup jauh..” Brian berujar acuh.“Itu_” Biya mengedarkan pandangannya dengan tidak nyaman.“aku engga nyaman, lebih baik_”“Diem, ngikut aja jangan banyak berpikir, bayi..” Brian berujar santai tanpa menatap Biya, melainkan menatap sekitar dengan memindai tajam.Tak lama, keduanya sampai di depan kelas Biya. Brian melepaskan genggamannya, membuka jaketnya lalu di pakaikan pada Biya.Brian ingin menegaskan kalau Biya itu miliknya, jangan ada yang berani mengusiknya.“Jaketnya kenap_”“Pake aja, sayang..” Bria
Angga, Waldi, Satria sudah berada di ruang inap Biya yang baru di pindahkan pada ruang VVIP itu. Brian terlihat lahap memakan nasi padangnya. Angga memang tahu sekali selera Brian.“Lo gimana sih, masa anak bayi di kasih saos_” setelahnya Angga cekikikan.Waldi mengangguk.“Orang tua macam apa yang nyumpel mulut bayinya pake saos..” sindirnya.Brian mencoba abai.Satria mengamati Biya yang terlelap tanpa terganggu, bahkan tawa menggelegar Waldi tidak membuatnya terusik.Satria menepuk bahu Brian.“Bri, dia masih nafaskan?” tunjuknya pada Biya yang terlelap di atas kasur pasien.Brian mengunyah santai nasinya lalu mengangguk.“Nafaslah bego! Anjing banget pikiran lo!” semprot Brian dengan mulut penuh.
Susilo bersiul, melayangkan tos ria pada Brian yang tengah berkumpul dengan para teman - teman tongkrongannya yang lain itu. Matanya memicing geli, menggoda Brian yang jarang kumpul itu.“Pengantin baru kenapa jarang nongkrong, hm? Ngasik keluar - masuk?”Brian tersenyum kecil, menerima tosan itu.“Dia bukan cewek yang bisa gue masukin, bang__” Susilo pun duduk di samping Brian.“dia cuma bisa bikin gue gemes_” lanjutnya.Angga, Waldi dan Satria sontak bersorak geli paling heboh di antara yang lainnya. Sungguh tidak biasa mereka membahas hal menye - menye di tongkrongan. Biasanya kalau tidak selangkangan ya minuman atau balapan yang di bahas.“Cielah! Anak muda emang beda, dah berumur mana bisa pikirin yang gemes - gemesan__kepuasan sih iyah!” seru Susilo seraya meraih gelas sloki bersih lalu menuangkan minuman beralkohol yang cukup bermerk itu.Brian ha
Brian mengendus leher Biya, mengabaikan ketidak nyamanan gadisnya itu. Televisi di depan mereka tidak berhasil menarik perhatian Brian.“Brian__” Biya menahan wajah Brian dengan tangan mungilnya.“geli, berhenti..” pintanya.Brian mengulum senyum.“Iya, Bayiku sayang..” di kecupnya pipi Biya sekilas dengan kedua tangan masih melilit memeluk Biya.Biya tersipu, jantungnya berdebar. Pengalaman pertama baginya bisa sedekat ini dengan laki - laki.“Bayi, di sekolah kita umumin ya..” Brian kembali mendekat, mengendus leher Biya yang selalu manariknya untuk mendekat. Seperti ada magnet.Biya menggeliat, kembali menahan wajah Brian.“Umumin? Umumin apa, Brian?” tanyanya tidak paham.“Kita pacaran__” Brian mengecup hidung mungil Biya dengan gemas.“aku mau semua orang tahu, kamu punya, Brian Adrazi Rulzein..” bangganya.Bi
Brian masih saja senyum - senyum sendiri. Siswa yang sering Brian bully pun di biarkan hanya lewat. Padahal siswa itu sudah mempersiapkan diri jika Brian menariknya ke belakang sekolah.Bahkan saat Brian berjalan ada yang menyenggolnya, biasa ngamuk kini acuh dengan senyum masih terbit. Efek dahsyat dari cinta.“Bri, gue merasa dunia yang kita pijak itu beda..” Angga memicingkan matanya, menatap Brian ngeri.Brian tidak terganggu.“Kalian emang engga gini ya? Bawaannya kangen, pengen senyum..” di tatapnya mereka dengan heran.“Gitu sih awalnya, tapi dulu pas SMP__lo sih telat, SMA baru pacaran..” Waldi menyahut.Brian mengangguk paham, dia memang telat. Lebih tepatnya, Tuhan baru mempertemukannya dengan Biya sekarang. Di akhir perjalanan SMA.“Biya mana?” Satria bertanya dengan mulut mengunyah.“Masih di kelas, katanya banyak salin catetan..”“Lo y
Seperti niat awal, Brian bermanja - manja pada Biya setelah keduanya sampai di apart Brian. Biya yang awalnya risih dan berdebar pun kini teralihkan dengan hujan di kaca jendela.“Hujan, tapi masih cerah cuacanya..” Biya melirik Brian sekilas.Brian mengamati apa yang sebelumnya Biya lihat lalu mengangguk setuju.“Iyah, ga mendung malah cerah..” herannya, lebih tepatnya baru ngeh. Selama ini Brian mana peka cuaca.“Katanya, mitosnya kalau hujan gini, ada orang meninggal yang belum bisa ikhlas ninggalin orang terdekatnya..”Brian hanya menatap Biya, tidak peduli pada mitos yang di bahasnya. Biya semakin cantik di matanya, sungguh bercahaya.Mungkin inilah alaynya cinta, masa iya wajah Biya bercahaya. Ada lampunya begitu? Brian geli sendiri.“Sayang..” Biya menoleh, membuat Brian menghangat. Biya semakin peka saat Brian memanggilnya sayang.