Ana melirik Aldi yang tengah berbincang dengan teman yang di temuinya. Ana melirik jus jeruk dan lalu minuman Aldi yang lebih menggiurkan itu.
Aldi terus saja berbincang, membahas soal pengalaman - pengalaman di China hingga tidak sadar kalau Ana sudah mabuk di tempatnya karena meneguk minuman Aldi.
"Ana cape." racaunya seperti berkumur.
Aldi yang samar mendengar sontak menoleh, lalu membolakan matanya kaget."Ana? Kamu kenapa?—" di liriknya gelas minumannya."astaga! Kamu habisin—" Aldi memutuskan menggendong tubuh menggeliat Ana.
***
Ana meringis, menggeliat seperti cacing kepanasan di atas kasur hotel itu. Aldi terlihat mondar - mandir.
Di li
Brian menatap Biya penuh dengan kode, namun Biya yang kurang peka terlihat biasa - biasa saja. Fokus Biya masih ke depan televisi."Bayi." panggil Brian sedikit kesal saat Biya tak kunjung sadar."Ya? Apa?" tanya Biya dengan menatap Brian sekilas sebelum kembali menatap televisi."Aku pecahin ya televisinya!" Brian berseru agak kesal, perhatian Biya terlalu berlebihan pada televisi yang menayangkan film kesukaannya dari negri gingseng itu.Bahasanya sungguh membuat Brian semakin terganggu, di tambah kodenya terus saja Biya abaikan."Apa sih,Bri? Kenapa?" Biya kini benar - benar fokus pada Brian.Brian mendengus sebal."Ingkar janji! Tau ah, pikir aja sendiri." rajuknya seraya membalikan badan memunggungi Biya.Biya terkekeh geli."Cie marah, aku ga lupa kok, Bri. Cuma—"
Aldi menerjang angin, mengabaikan rasa takut dan gemetar di kakinya saat melewati pembatas balkon rumahnya dan rumah Ana.Benar - benar modal nekad. Dia bahkan pasrah kalau saja kamar itu bukan kamar Ana.HAP!Aldi berhasil mendarat dengan tanpa cidera, dengan jantung berdebar. Aldi mengetuk kaca jendela.Beberapa kali karena tidak ada respon. Aldi bahkan hampir menyerah namun suara derit, tanda jendela terbuka membuat Aldi menegang di tempatnya.Aldi mengerjap, merasa kalau kelegaan menyerangnya. Aldi bahkan rasanya ingin berteriak senang saking bahagianya melihat Ana yang membuka jendela."Ana." panggil Aldi dengan suara gemetar saking bahagia.Ana mengerjap, menatap Aldi dengan kedua mata berkaca - kaca. Ana terisak pelan."Kak, Ana lagi sakit." adunya membuat Aldi mendekat, mengusap wajah pucat nan han
Ana melambaikan tangannya pada Aldi yang berada di balkon sebrang. Keduanya harus berpisah karena waktu sudah akan menunjukan pukul 10 malam."Ana masih mau sama kak Al." akunya dengan masih berdiri di tempatnya.Ana benar - benar sudah nyaman dengan Aldi, bahkan Ana jadi takut kehilangan Aldi. Mungkinkah dia akan di pisahkan oleh semesta lagi?Aldi menatap Ana lekat, bisa dia lihat kalau Ana masih ingin bersamanya. Aldi merasakan hatinya menghangat. Haruskah dia yang menyelinap dan menginap di rumahnya malam ini."Apa kak Al ga bisa tidur sama Ana di kamar Ana?" tanyanya dengan kedua mata berbinar polos.Aldi jelas saja tidak bisa menolak keinginan Ana. Bagi Aldi, saat ini Ana dunianya."Bisa, aku ke sana." Aldi mulai naik, melewati balkon.***Brian menatap pon
Vina melempar senyum, dia akhirnya bisa bertemu lagi dengan Brian. Cintanya yang belum usai itu. Vina hanya ingin melepas rindu namun takdir seolah ingin membuatnya tidak hanya sekedar rindu."Lo ngapain di sini?" Brian terdengar tidak santai."Ini Cafe, tempat di mana orang bebas main dan makan di sini." Vina dengan tidak tahu malunya duduk di kursi sebrang Brian.Brian sudah mulai was - was, dia tidak mau sampai kejadian ini menjadi masalah untuk keluarga kecilnya.Brian diam tidak merespon atau bahkan melirik Vina. Brian hanya sibuk membalas pesan Biya."Kita kerja di kantor yang sama walau tugas kita beda, aku lebih ke pemasaran." Vina menjelaskan tanpa peduli Brian tidak merespon.Brian meneguk kopinya lalu beranjak mengabaikan keberadaan atau panggilan Vina.Brian harus berusaha menjauhi perempuan itu, bahkan Brian akan te
Vina menghadang Brian yang akan berpulang itu. Jelas saja wajah Brian yang awalnya cerah karena akan segera bertemu Biya dan Glen menjadi mendung."Boleh aku ikut mobil kamu sampe ke tem—"Brian menoleh pada Bara, teman satu kantornya."Bar, dia lagi butuh pertolongan tapi ga bisa ku tolong, anak, istri nunggu dari tadi." potongnya.Bara yang memang pada dasarnya baik dengan siap akan membantu."Boleh, lagi santai kok." balasnya seraya melirik Vina yang mendatarkan ekspresinya."Kalo gitu duluan ya—" Brian menatap Vina dengan tidak ramah."ada Bara, lo bisa minta tolong sama dia. Dia single." jelasnya lalu berlalu.Brian sengaja menekan kata single pada ucapannya agar Vina sadar kalau dia bukan Brian yang bisa tergoda seperti dulu. Brian benar - benar hanya butuh Biya dan Glen.Vina menatap kepergian Brian dengan tangan terkepal.
Ana memakan makanannya, sesekali melirik televisi yang menayangkan film remaja itu. Sepertinya Ana cukup suka dengan film itu.Aldi mengamati hotel yang cukup mewah itu. Semua karena keinginan Ana, katanya lelah tapi tidak mau pulang dulu.Ya di sinilah mereka berakhir. Di hotel dengan banyak fasilitas. Jelas saja Aldi tidak mempermasalahkan."Ga bikin kamu mual?" Aldi mengusap perut rata Ana yang sedikit berlemat itu.Ana menggeleng dengan masih mengunyah.Aldi masih betah mengusap perut Ana, menatap Ana dengan banyak menilai dan memujanya."Apa?" Ana menatap Aldi, dia sadar kalau Aldi sedari lama menatapnya terus."Kenapa emang?" tanya Aldi balik."Kak Aldi liatin Ana terus, mau tidur kayak yang di kamar kak Aldi lagi ya?" godanya dengan mencolek - colek dagu Aldi usil.Aldi ter
Ana menghela nafas lega, begitu pun Aldi yang berhasil mengantarkan Ana lewat balkon rumahnya."Apa Ana keluar kamar? Pastiin kalau papa sama kakak ga cariin?" Ana bermonolog dengan gelisah di depan pintu kamarnya.Dengan berdebar Ana memutuskan keluar, menuju dapur yang sudah sepi.Ana meraih gelas kosong, mengisinya dengan air lalu meneguknya sedikit."An?"Ana tersentak pelan lalu berbalik, ternyata Agam yang memanggil."Kapan pulang? Kata papa kamu ke—""Baru kak, Ana baru sampe." potong Ana dengan senyuman canggung."Oh." Agam melanjutkan langkahnya menuju kulkas."Kenapa belum tidur kak?" Ana berdiri di samping Agam yang sibuk mengobrak - abrik kulkas."Harusnya kakak yang tanya gitu, kamu kenapa belum tidur? Kakak'kan emang sering begadang."Ana menggaruk
Brian dan Biya membawa Rudy ke sebuah salon. Rudy di perbaiki penampilannya dengan baik, bahkan kini terlihat segar."Ayah benar - benar malu, mengingat tingkah ayah yang lalu." Rudy terlihat tidak seangkuh dulu.Biya mengusap lengan Rudy, mendekat dan memeluknya."Biya cuma minta sama ayah, jangan kayak dulu lagi. Kali ini ayah harus bener - bener berubah, ada cucu ayah sekarang."Rudy mengangguk, mengusap kepala Biya dengan banyak penyesalan. Harusnya dia tidak banyak berubah. Harusnya dia bangga memiliki anak sebaik Biya.Rudy melepas pelukan Biya, beralih menatap Brian lalu mendekat dan memeluknya."Maafkan ayah, Brian—" Rudy terdengar sekali begitu menyesal."ayah banyak melukai kalian." sesalnya.Brian mengusap punggung Rudy."Brian udah maafin semuanya, Brian cuma minta, jangan bikin Biya sedih lagi." pintanya.