Andai Angga lengah sedikit saja. Belum tentu Hye In masih bisa berpijak dengan nyaman seperti sekarang. Hye In nampak kesakitan. Meringis tersedu tanpa ada unsur kesengajaan untuk menarik perhatian. Angga dengan naluri pelindungnya bergegas memapah tubuh Hye In. Dilihatnya kaki jenjang yang dibalut sepatu heels sepuluh senti itu memar di area mata kaki. Angga ikut meringis. Tahu persis sakitnya kaki terkilir hingga tak bisa berdiri. “Sudah, Angga. Aku tidak apa-apa.” Hye In mencoba memijakkan kembali kakinya setelah Angga memastikan sepatu hak tinggi warna hitam itu dipastikan aman. Tidak ada patahan apapun yang akan mengganggu Hye In ketika melangkah. “Serius kamu tidak apa-apa?” Hye In mengangguk. “Aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir. Ayo, aku antar kamu ke apotik. Sampai di rumah kamu harus langsung istirahat,” balas Hye In. Wanita itu masih mengedepankan sikap profesionalnya dibandingkan dengan kesulitan yang dihadapi saat ini. “Ayo, aku bantu papah. Hati-hati,” ucap Ang
Hati Nova berdesir sekaligus khawatir ketika seseorang memanggil namanya. Bayangan kejadian beberapa menit lalu masih terngiang di kepala seakan kembali berputar. Nova refleks menoleh, demi memastikan sosok yang tiba-tiba muncul di belakangnya kini bukanlah satu nama yang ada di kepala Nova saat ini. “Kamu sedang apa di sini? Sendiri saja?” pria itu kembali bersuara. Bersamaan dengaN saat Nova menoleh ke arahnya. “Ka-kamu–” “Aku kemari untuk menjengukmu, Nova. Sekaligus untuk menjemput sahabatku.” Nova rasa ia tidak perlu banyak basa-basi pada pria ini, bukan? Dia sudah menjawab pertanyaan Nova yang masih ada di kepalanya secara mandiri. “Kamu sendiri? Kemana.. Mark?” Ekspresi Mario berubah kecut. Terlihat enggan menyebut nama sepupunya sendiri. “Mark sedang membantuku mengambil barang-barang yang harus dibeli,” jawab Nova sambil tersenyum. Bibir tipis Mario membulat tanpa suara. Perhatiannya kali ini teralihkan pada bayi mungil dalam gendongan Nova. Pria dengan tinggi badan l
Apalagi yang bisa Nova lakukan selain diam mematung ketika dihadapkan pada tiga orang dari tiga dimensi berbeda perjalanan hidupnya. Mark, pria itu nampak berpikir keras menganalisis situasi yang sedang terjadi saat ini. Terlebih, kehadiran orang baru di depannya membuat dahi pria itu berkerut. Berbeda dengan Mark, Mario justru memamerkan senyum lebarnya. Menyambut kedatangan pria yang kini tengah menjadi sorotan dengan tatapan hangat. “Kau kenapa di sini? Aku baru saja mau menjengukmu,” tanya Mario memecah keheningan yang menyelimuti empat orang–termasuk dirinya–yang ada di sana. Hingga saat pertanyaan Mario itu terlontar, Nova tidak berani menatap kembali sosok pria yang berdiri tepat di sampingnya. Aura pria itu sangat kuat. Bagaikan magnet yang menemukan pusat tarikannya, yaitu Nova sendiri. Banyak hal yang bisa membuat Nova kembali beralih pada sosok pria ini. Namun Nova memilih untuk mengabaikannya. Tentu saja, Noa adalah alasan satu-satunya Nova untuk fokus pada satu titik
Sudah dua botol Vodka tandas tidak tersisa. Sedangkan di sisi lain meja, sebuah laptop dengan tampilan data serta tumpukkan kertas yang seharusnya sudah dibereskan sebelum Angga memutuskan untuk meluapkan isi pikirannya lewat alkohol. Ia tahu, keputusan ini bukanlah keputusan yang bijak. Apalagi untuk seseorang yang bermasalah dengan organ paling penting dalam hidupnya. Hidup dan mati Angga akan ditentukan setelah ini. Tetapi, alih-alih memikirkan lebih jauh efek dari minum alkohol. Angga justru semakin menjadi. Menikmati seteguk demi seteguk alkohol yang tersisa di gelas terakhirnya.“Arkkhh!!” suara enyahan kenikmatan terdengar. Tenggorokkan Angga mulai terasa kebas. Lidah terasa lebih tebal bahkan untuk berucap sepatah katapun rasanya malas. Ia termenung sejenak. Menatap lurus pada pemandangan kota Seoul di malam hari ini. Indah. Gemerlap lampu bangunan di bawah sana seolah membentuk rasi bintang yang indah. Hampir sama penampakannya dengan taburan bintang di langit saat ini. B
Pintu ditutup rapat-rapat. Bunyi klik tanda kunci ganda telah diaktifkan terdengar di belakang Nova. Ia tidak lagi duduk terpaku di kursi roda. Melainkan berjalan menuju kamar pribadinya membawa Noa ke dalam tempat tidur bayi yang sudah disiapkan sebelumnya. Setelah memastikan Noa berada di posisi paling aman dan nyaman, Nova keluar menemui Mark. Pria itu sibuk berkutat dengan alat pemeras jeruk. Hingga tidak menyadari kehadiran Nova disekitarnya. Tetapi, siapa sangka pertanyaan yang keluar dari mulut Mark mematahkan asumsi itu. “Sudah berapa kali kamu bertemu dengan mantan suamimu?” Menghentikan langkahnya menuju dapur, Nova melirik sekilas Mark yang masih sibuk dengan aktivitasnya. Beberapa saat kemudian, setelah memastikan dirinya siap untuk menghadapi cecaran Mark, Nova kembali melangkah menuju kulkas. Mencari apapun yang bisa mengisi perut. “Untuk apa kamu bertanya hal itu?” balas Nova, terlihat abai namun berbagai perasaan berkecamuk di dada. Kontras dengan tampilan luar ya
“Silahkan dinikmati, nona. Tuan berpesan agar nyonya menjaga kesehatan dan tidak terlalu sibuk bekerja. Minggu depan, saya diutus menjadi asisten pribadi nona yang akan ikut nona pergi ke kantor,” ucap seorang wanita yang sejak awal sudah melayani Sarah. Saat ini Sarah duduk termangu di meja makan dengan segelintir pikiran yang bercabang. Mendengar pernyataan sang pelayan, ia pun menoleh.“Untuk apa? Saya tidak butuh asisten pribadi. Saya masih bisa mengurus semua hal sendiri. Tolong beritahu pada tuanmu, aku bukan wanita manja seperti yang dia kira,” balas Sarah ketus. Ia tidak bisa lagi menahan emosinya terhadap Lucifer. Semalam tidurnya pun tak nyenyak. Sarah dibayang-bayangi oleh wajah dua pria yang saat ini begitu menginginkannya—ralat, menginginkan tubuhnya. Lima jam penuh Sarah mengabdikan dirinya pada Lucifer tadi malam. Tubuhnya serasa dihantam beton puluhan kilo meski ia baru saja bangun tidur setengah jam lalu.“Sial! Apakah aku harus menjalani kehidupan ini selamanya?” S
Nova sengaja tidak mengabari siapapun bahwa dirinya sedang berada di luar jangkauan Mark. Sejak pagi tadi, ia memilih untuk menonaktifkan ponselnya. Membawa serta Noa dalam gendongan demi bertemu dengan seseorang. “Nova, maaf ada sedikit masalah di jalan tadi. Kau sudah lama menunggu?” terdengar grasa-grusu, seorang pria duduk di sofa sebelah Nova. Dalam balutan setelan jas warna coklat muda, Mario tampak memukau dengan segala pesona yang ia miliki. Ditambah dengan model rambut terbaru yang langsung disadari oleh Nova. Nova tersenyum menggeser sedikit tubuhnya ke samping demi memberikan ruang untuk Mario. Aroma musk menguar tiap kali Mario bergerak. Membelai penciuman dan hampir membuat Nova dimabuk kepayang.“Aku baru sampai, kamu tenang saja,” jawab Nova. Mengulas senyum tipis. Mario diam seribu bahasa. Pandangannya terpaku pada bibir Nova yang melengkung ke atas. Bibir bervolume cukup tebal dan terasa..menggairahkan. “Mario, kamu kenapa melamun?” suara Nova menarik kembali kesa
Setengah jam sebelum jam yang ditentukan, Javier sudah menginjakkan kakinya di Shakes Grill. Restoran bergaya Italia-Amerika yang terkenal karena sejarah kelamnya. Pandangan mata Xavier mengedar, mencari posisi meja yang telah diberitahu oleh Dokter Richard sebelumnya. “Apa benar anda Dokter Javier?” seseorang tiba-tiba menyapanya dari arah belakang. Refleks Javier memutar tubuhnya. Seorang wanita berpakaian serba putih. Dengan pita merah melingkar di kerah kemeja. Serta celana bahan warna hitam polos membalut kaki jenjangnya. “Ya, aku Javier.”“Selamat datang di resto kami, Dokter javier. Dokter Richard sudah menunggu anda di ruang VIP. Mari saya antar.”Javier mengekor di belakang pelayan itu. Sesekali mencuri pandang ke arah beberapa tamu yang mengisi meja di sudut ruangan berukuran cukup besar ini. “Silahkan, Dokter Richard ada di dalam. Jika anda butuh sesuatu, anda bisa panggil saya.” “Terima kasih.”Di depan javier saat ini sepasang pintu membatasi dirinya dengan Dokter R