Siska menarik napas, dia akan tetap mendukung karir Pasha sampai kapan pun, tidak peduli siapa pun yang menjadi pesaing suaminya. Bahkan jika itu adalah Roni, ayah kandung dari ketiga anak yang telah Siska lahirkan. *** “Runa, ini apa—duh, ampun! Seruan Ririn sukses menambah semarak pagi hari di rumah Roni. “Ada apa sih, Rin? Pagi-pagi begini kok teriak-teriak ....” “Ini Mas, Runa ambil sesuatu dari lemari pakaian kita.” Roni yang masih mengantuk, harus bersusah payah mengumpulkan segenap nyawanya untuk bisa sepenuhnya sadar. “Memangnya dia ambil apa?” tanya Roni dengan suara lirih khas orang yang baru saja bangun tidur. “Run, kamu ambil apa, Sayang?” “Cuma pinjam sebentar kok, Yah!” sahut Aruna yang sudah bangun lebih dulu dan langsung membuka-buka lemari pakaian milik ayah dan ibu sambungnya. “Ini, baju Tante.” Roni membulatkan matanya ketika menyaksikan Aruna yang sedang memakai lingerie milik Ririn. “Itu lingerie mahal, Mas ...” ucap Ririn menahan gejolak perasaan, anta
“Oke, aku ke sana sekarang!” Tanpa mengajukan banyak pertanyaan, Pasha segera membelokkan arah mobilnya menuju sekolah Aruna. “Kok Ayah Pasha yang jemput aku?” sambut Aruna ketika melihat kedatangan Pasha di sekolahnya. “Ayah Roni mana?” Pasha hanya tersenyum saja dan buru-buru berpamitan kepada guru yang menjaga Aruna. “Kita pulang ke rumah ayah dulu ya?” “Ayah Roni?” “Bukan, ke rumah Ayah Pasha saja. Ibu kamu pasti khawatir. Memangnya Ayah Roni sama Tante Ririn ke mana kok nggak jemput kamu?” Sembari mengemudi, Pasha bertanya tipis-tipis kepada anak sambungnya. “Ayah Roni kerja, Tante Ririn nggak tahu ....” Pasha geleng-geleng kepala. Dia paham kalau Roni bekerja, tapi bukankah sudah tanggung jawabnya untuk bisa menjaga Aruna? Seharusnya tidak sulit bagi Roni untuk menyuruh orang menjemput Aruna, atau setidaknya menghubungi Siska jika memang tidak bisa jemput. Sementara itu di kafe, Ririn masih asyik bercanda dengan teman-temannya. Sesekali dia memeriksa ponsel, tapi tidak
“Kamu kok ngomong begitu sih, Mas? Kurang apa aku dalam mengurus anak kamu?”“Terus kenapa tadi kamu tidak jemput Runa? Apa gunanya aku kasih kamu fasilitas mobil dan sopir pribadi?”Ririn merasa terpojok. “Aku kan juga punya urusan pribadi, Mas ....”“Urusan apa yang lebih penting dari jemput anak aku di sekolah?” tukas Roni, sukses membuat Ririn mengatupkan bibirnya.Begitu mereka tiba di rumah Pasha, sambutan Siska sudah bisa ditebak.“Bu, ada Pak Roni di depan.” Lani memberi tahu.Siska yang sedang mengupas buah mangga, meminta Lani untuk menyuruh Roni menunggu di ruang tamu.“Sha, Roni datang.” Siska memberi tahu Pasha yang masih menemani Aruna bermain puzzle.“Biar aku yang turun ....”“Jangan, sebaiknya kamu di sini saja jaga Runa.”“Dan membiarkan kamu menghadapi Roni sendirian?”Siska tersenyum penuh arti. “Aku justru jauh lebih khawatir kalau kamu yang menemui Roni, kamu kan gampang luluh kalau sama dia ....”“Siska ...!” protes Pasha pura-pura tersinggung. “Ak
“Lebih baik kalian pulang dulu dan merenungi kesalahan kalian sebagai orang tua,” ucap Pasha tenang. “Semua hal yang terkait dengan anak-anak itu riskan terjadi hal-hal yang membahayakan kalau dianggap sepele. Untung Runa tidak ke mana-mana dan tetap di sekolah sampai aku datang, coba kalau tidak?”.Roni terdiam. “Satu hal lagi, lain kali kalau kamu sibuk sebaiknya ponsel tetap aktif. Gurunya Runa sudah berkali-kali telepon kamu, tapi tidak ada respons dari kamu ....”“Aku ada rapat penting sampai seharian, makanya tidak sempat pegang ponsel.”Siska mengangkat bahu. “Aku belum bisa membiarkan Runa ikut kamu lagi, maaf.”“Jangan seperti itu, Sis! Aku jamin kejadian yang sama tidak akan terulang lagi!” “Aku tidak bisa, Roni. Kamu dan istri kamu sudah menghancurkan kepercayaan aku, kalian tidak mikir apa Runa di sekolah nunggu berjam-jam?”Roni melirik Ririn yang terdiam tanpa kata.“Aku janji kalau istri aku tidak akan ceroboh lagi ke depannya.”“Kok aku yang disalahkan sih,
Ririn meletakkan tasnya dengan raut wajah muram.“Terus rencana kita gimana, Mas? Gagal deh kita menjadikan Runa sebagai pancingan, kalau bayi tabung itu kan mahal biayanya.”“Kamu pikir aku tidak punya uang?” desis Roni jengkel.“Bukan begitu juga maksud aku, sayang yang saja sih. Padahal tidak ada jaminan juga kalau bayi tabung selalu berhasil, jadi lebih baik kita pakai cara tradisional saja untuk mendapatkan momongan ....”“Rin, tolong jangan bahas soal momongan atau Runa dulu. Kamu tidak lihat kalau aku sedang konsentrasi bekerja?”Bibir Ririn langsung terkatup sepenuhnya, ada rasa jengkel dan juga marah yang bercampur menjadi satu di dalam dadanya yang bergemuruh.Setelah berkas-berkas laporan selesai dia periksa, Roni menoleh dan tertegun ketika melihat Ririn yang duduk terpekur di sofa tak jauh darinya.“Sayang?” Roni yang merasa bersalah lantas mendatanginya dan memeluk bahu sang istri.“Kamu sekarang emosian banget sama aku, Mas.”“Iya, maaf. Namanya juga masih di s
Ririn menganggukkan kepalanya seraya memahami layar laptop Roni yang menyala. “Dyaksa Company, itu perusahaan Siska?” celetuk Ririn. “Bukan, itu perusahaan pesaing aku. Siska kerja di situ sudah lama, sejak aku masih merintis dari nol.” “Oh ya? Terus kenapa dia masih jadi pegawai di sana setelah kamu sukses?” Roni menarik napas, dia berusaha mengingat kembali momen ketika Siska tidak ingin berhenti kerja dari Dyaksa Company. “Katanya dia merasa sayang sama pencapaian dia di perusahaan itu,” ucap Roni lambat-lambat. “Siska nyaman bekerja di sana, jadi dia mempekerjakan beberapa asisten rumah tangga demi pekerjaannya di Dyaksa Company. Padahal aku sudah bilang sama dia kalau aku sanggup memenuhi semua kebutuhan rumah tangga, tapi dia tidak mau melepaskan pekerjaannya.” Ririn bahkan sampai melongo mendengar penjelasan Roni tentang alasan Siska. Kok bodoh banget ya Siska itu, pikir Ririn. Punya suami sukses, disuruh berhenti kerja malah nggak mau. Kan enak tinggal ongkang-ongkang ka
“Aku tidak bermaksud apa-apa, Rin. Takutnya kalau kamu berisik terus, aku tidak bisa dengar apa yang dikatakan pembawa acara.”Ririn semakin sewot mendengar alasan Roni yang menurutnya konyol sekali, memangnya suara dia sekeras apa coba?“Rin, lihat! Sebentar lagi akan diumumkan perusahaan siapa yang berhasil mendapatkan kontrak!” bisik Roni antusias.Mendengar ucapan Roni, kini giliran Ririn yang mengerutkan keningnya.Tadi katanya nggak boleh ribut, gimana sih. Perempuan itu membatin kesal.Di kursi lainnya, Siska dan Kavita tidak kalah tegang menunggu pengumuman pemenang kontrak. “Ezra atau Pak Pasha?” Kavita menoleh ke arah Siska.“Pak Ezra atau Pasha, bebas!”Kavita mengangguk, sebelah tangannya meremas jemari Siska untuk menyalurkan ketegangan yang terasa.“... akan ada dua perusahaan yang mendapatkan kontrak kerja ini, sehingga kolaborasi keduanya diharapkan bisa meningkatkan daya beli konsumen dan menjaga persaingan sehat di masa-masa yang akan datang.”Siska dan Ka
“Besok ayah traktir sepuasnya, ayah baru saja dapat kontrak kerja ....”“Yes!”“Makan-makan!”Siska dan Pasha tertawa lebar bersama anak-anak mereka.Ketika kebahagiaan mewarnai keluarga baru Siska, hal yang berbeda justru tengah dirasakan Roni dan istrinya.Semangat Roni yang tadinya menggebu-gebu kini seolah tidak lagi ada, seluruh harapan yang semula dia pikul di pundak seketika luruh tanpa sisa.“Apa mungkin kamu bikin kesalahan yang bikin pemilik kontrak kerja itu nggak mau pilih perusahaan kamu, Mas?” tanya Ririn sok tahu.“Maksud kamu apa sih?”“Nggak mungkin kan kalau perusahaan kamu baik-baik saja, tapi kalah sama perusahaan suami Siska?”Roni melirik Ririn, ingin sekali dia mengomel karena ketidakpekaan istrinya. “Kamu tidak bisa baca situasi ya?”“Maksud kamu?”“Seharusnya kamu bisa lihat kan, apa yang aku rasakan sekarang ini?”Ririn melongo. “Kok jadi kamu yang terbawa perasaan sih, Mas? Aku kan tanya baik-baik ....”“Terserah,” potong Roni, dia berdiri dar