“Halo Runa!” Siska lega sekali saat mendengar suara Aruna, kekesalannya terhadap Roni tadi seakan menguap hilang begitu dia mengobrol dengan putrinya.“Tidak ada masalah kan?” tanya Pasha begitu Siska meletakkan ponselnya di meja. “Runa sedang apa di sana?”“Tidak ada,” jawab Siska. “Runa cerita kalau seharian tadi dia bermain macam-macam sama pelayan di rumah.”Pasha memperhatikan raut wajah Siska lekat-lekat.“Kenapa kamu kelihatan kepikiran?” tanya Pasha ingin tahu. “Apa yang dilakukan Runa tidak ada yang salah kan?”Siska terdiam, sesungguhnya bukan itu yang dia khawatirkan. Siska justru kepikiran dengan apa yang Roni ucapkan kepadanya tadi. Mantan suaminya itu ternyata belum benar-benar melepasnya untuk Pasha. Dia bahkan telah bersumpah akan membuat Siska kembali kepadanya suatu saat nanti.“Sis, apa yang terjadi?” tanya Pasha ketika melihat Siska malah melamun dan tidak menjawab pertanyaannya. “Apa sih yang kamu pikirkan?”“Ah! Aku ...” Siska tergeragap kaget. “Aku cuma memikirk
“Ya,” jawab Roni datar kemudian langsung memutus sambungan teleponnya.“Kenapa?” tanya Pasha sambil melirik wajah Siska yang terlihat keruh.“Ketus sekali nada suaranya Roni,” jawab Siska sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. “Seperti sedang memarahi anaknya saja.”Pasha tersenyum tipis.“Dia pasti masih sangat mencintai kamu,” komentarnya. “Wajar sih kalau dia cemburu begitu ...”“Itu tadi bukan cemburu,” ralat Siska buru-buru. “Memang sifatnya dia begitu, seperti mantan mertuaku.”Mobil yang dikemudikan Pasha terus berjalan ke arah rumah yang dihuni Roni dan istri barunya, Ririn.“Ini benar rumah Roni dan istrinya?” tanya Pasha memastikan. “Iya,” jawab Siska. “Aku sudah kangen sekali sama Runa.”Pasha mengangguk mengerti dan tetap fokus menyetir dengan tenang.“Ini pertama kalinya aku masuk ke tempat tinggal Roni,” komentar Pasha sambil terus menyetir. “Kalau aku diusir bagaimana?”“Mana bisa, kamu kan ayahnya Runa,” tukas Siska. “Aku protes sama Roni nanti kalau sampai
Setibanya di rumah, Siska turun begitu Pasha membukakan pintu mobil untuknya dan dia bergegas masuk rumah untuk menidurkan Aruna di kamarnya.Setelah memasukkan mobilnya ke garasi, Pasha segera menyusul Siska ke kamar. Dilihatnya Aruna sudah tertidur lelap karena kelelahan, sementara tangan Siska mengusap-usap kepalanya dengan mata memerah.“Jangan kamu pikirkan ucapan istrinya Roni tadi,” ujar Pasha sambil duduk di samping Siska.“Aku tidak tahu lagi apa yang membuat Ririn benci sekali sama aku,” kata Siska murung. “Aku sudah resmi pisah dari suaminya, tapi dia malah menyudutkan status aku yang pernah janda. Padahal dia sendiri adalah perempuan yang tiba-tiba datang menjadi istri kedua ....”Air mata Siska menitik satu-satu dan dia cepat-cepat menghapusnya.“Aku ngerti perasaan kamu,” ucap Pasha sambil memegang bahu Siska. “Kamu tidak perlu memasukkannya ke dalam hati, tidak ada yang salah dengan status janda.”“Kamu seharusnya menikah sama perempuan yang lebih baik dari aku, Sha.” S
“Tenang saja, tidak sering-sering kok.” Pasha tersenyum dengan jemarinya menekuri wajah Siska yang masih kencang. “Kamu tahu tidak kalau aku ... takut sekali sama satu hal dalam hidup ini?”Siska mengernyitkan keningnya dan tersenyum ragu.“Kamu ... punya sesuatu yang ditakuti?” komentar Siska. “Aku tidak percaya. Aku pikir yang namanya laki-laki tidak akan pernah takut sama sesuatu hal.”“Aku serius,” sahut Pasha. “Kami ini juga manusia biasa, to ada bedanya sama kaum hawa yang memiliki ketakutannya masing-masing.”Siska mengangguk perlahan.“Memang apa yang kamu takutkan, sih?” tanyanya ingin tahu.“Aku takut ... suatu hari nanti aku akan kehilangan kamu,” jawab Pasha sungguh-sungguh seraya memandang Siska dengan tatapan yang begitu dalam. “Kalau bukan kamu yang pergi, aku yang lebih dulu pergi ...”“Pasha!” tegur Siska kurang suka. “Kamu ngomong apa, sih? Kita ini sudah menikah, jangan menjadikannya main-main seperti ini. Pernikahan itu bukan mainan, Sha!”“Aku tahu,” ujar Pasha te
“Siska!” Pasha bergegas mengejarnya sebelum Siska berprasangka buruk terhadapnya.Dia menemukan Siska tengah berada di kamar Cilla, cepat-cepat didekatinya Siska yang sedang membelai kepala putrinya yang tertidur pulas.“Jangan serius begitu, kalimat yang aku ucapkan tadi kan cuma ungkapan isi hatiku.” Pasha berkilah. “Perasaanku mellow sekali ya, bikin malu ...”“Bukan seperti itu,” tukas Siska sambil memandang Pasha. “Kenapa aku merasa kalau kamu ... tidak bahagia menikah sama aku? Kamu tidak seperti yang dulu, suka bercanda, selalu semangat ... aku merasa kamu ... ada yang aneh dari kamu sejak beberapa bulan kita menikah.”Pasha tidak menyangkal, tapi dia juga tidak menjawab pendapat yang Siska lontarkan kepadanya. “Siapa yang bilang aku tidak bahagia? Aku jelas bahagia, dan itu tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata.” Pasha berdiri dan menghadap Siska. “Cara aku mengungkapkannya mungkin akan sedikit berbeda daripada mantan suami kamu, tapi percayalah kalau aku sangat baha
“Kaki Ibu pegal, ini mau ayah gendong!” sahut Pasha sambil menunjukkan kaki Siska yang tidak kenapa-napa.Aruna menjilat es krimnya sebentar kemudian mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi di udara.“Yah, aku juga mau digendong!” serunya sambil berusaha menggapai-gapai tangan Siska.“Eh, mana bisa! Nggak bisa!” Pasha sengaja menggoda putri sambungnya dengan berkelit, memutar tubuh Siska yang digendongnya hingga Aruna tertawa-tawa dan ikut berputar mengejar dirinya.“Aku benar-benar mau tahu,” ucap Siska saat mereka baru saja menitipkan Aruna kepada dua kakaknya dan meluncur ke resto yang sudah dipesan sebelumnya. “Sebenarnya ada acara apa sih, Sha?”“Acara makan malam suami dan istrinya,” jawab Pasha sembari menyetir. “Kenapa, ada yang salah? Aku cuma mau makan malam sama kamu, Sis. Beberapa hari ini aku lihat kamu capek sekali.”“Aku sudah biasa sih, Sha.” Siska mengakui sambil menyandarkan kepalanya ke jendela mobil. “Lelah kerja sama urus anak-anak, untung ada asisten rumah tangg
Siapapun tidak ada yang mengira bahwa Roni rasanya ingin sekali menjungkirkan meja yang sedang ditempati Siska dan Pasha saat itu juga.Siska dan Pasha menghabiskan makan malam mereka dengan hati yang begitu bahagia, tanpa mereka tahu bahwa sedari tadi Pasha memerhatikan mereka dari jauh.“Nasi goreng di sini terkenal paling enak rasanya,” kata Pasha memberi tahu seraya mengambil segelas air putih.“Jadi kamu sudah cari informasi resto ini dari kemarin-kemarin?” tanya Siska terkesan. “Pantas saja, ada ruangan khususnya.”“Istimewa buat kamu pokoknya,” sahut Pasha. “Kamu mau langsung pulang atau jalan-jalan dulu sebentar?”Siska berpikir sejenak.“Nanti kemalaman kalau kita jalan-jalan dulu?” ujarnya. “Tidak enak sama anak-anak, sudah malam. Biarkan mereka istirahat.”“Oke, tidak apa-apa kalau kamu mau langsung pulang.” Pasha setuju. “Habiskan dulu minuman kamu, aku mau pesan makanan untuk Saga dan adik-adiknya.”Siska mengangguk, kemudian meminum lemon tea yang sudah Pasha pesankan un
Ririn beberapa kali mengusulkan agar Roni melakukan cek kesehatan, setidaknya agar mereka bisa segera memiliki momongan lagi.“Kita tidak mungkin seperti ini terus,” kata Ririn hari itu. “Aku ini putri tunggal orang tuaku, jadi aku ingin segera mempersembahkan cucu untuk mereka.”“Kamu kan sudah pernah keguguran,” sahut Roni seraya meluruskan kakinya. “Aku sudah punya anak tiga, aku merasa tidak perlu menambah anak lagi.”Ririn termenung sambil berdiri di depan Roni.“Apa itu berarti kamu tidak mengharapkan anak dari rahimku?” tanyanya ragu.“Masalahnya kamu pernah keguguran, aku khawatir kandungan kamu akan berisiko kalau dipaksakan hamil lagi ...” Roni beralasan. “Kamu tidak perlu khawatir, orang tua kamu pasti mengerti keadaan ini.”“Aku tetap menginginkan anak dari rahimku sendiri,” tegas Ririn. “Aku nggak mau kamu menaruh perhatian lebih kepada anak-anakmu dari Siska, sedangkan aku belum ada anak kandung dari kamu.”“Mungkin kamu harus sering-sering mengasuh Runa,” kata Roni. “Si