Smith baru keluar dari dalam ruangannya setelah melihat merah di hidung dan matanya telah menghilang. Ia juga berdeham beberapa kali untuk menghilangkan serak dari tenggorokan.
"Siapa yang datang?" tanya Smith tanpa melihat wajah orang yang ia ajak bicara, khawatir kalau-kalau masih tersisa kesedihan di wajahnya.
"Tidak tahu, Nona. Dia belum pernah kemari sebelumnya. Saya pikir, dia datang secara khusus untuk mengunjungi Nona," ujar salah seorang karyawan sambil tersenyum-senyum. Smith juga melihat para karyawan lainnya memandang dirinya dengan senyum yang tidak biasa.
Hal itu membuat Smith bertanya-tanya, mengapa seorang tamu sampai membuat karyawannya menjadi demikian? Aneh!
Ini bukan kali pertama ia mendapat tamu. Orang-orang sering datang menemuinya untuk memesan baju dengan desain khusus. Smith memiliki dua perancang busana yang andal di butiknya, yang bisa memuaskan para pelanggan dengan desain yang dibuat.
Sinta membanting tas mahalnya di sofa. Diikuti tubuhnya yang membuat sofa empuk premium itu bergoyang-goyang.Wajahnya yang kesal membuat Hendry bertanya pada putrinya tentang apa yang terjadi menggunakan bahasa isyarat. Dan Sisil hanya menggeleng karena memang tidak tahu apa yang dialami mamanya di luar sana, hingga pulang dengan wajah masam."Ada apa mama? Bukankah mama tadi keluar untuk berbelanja? Biasanya mama selalu senang setelah pulang dari belanja," tegur Sisil."Haaah, semua ini gara-gara Smith. Aku tidak mendapatkan baju yang aku inginkan, malah dipermalukan di depan orang-orang. Dia benar-benar sudah kelewatan," jawab Sinta masih dengar tubuh lemas menahan kesal."Smith? Kau dari butik Lisa? Mengapa tidak bilang? Aku bisa mengantarmu ke sana. Sudah lama aku tidak mengunjungi butik Lisa," tanya Hendry bersemangat."Haaah, setidaknya tanyakan dulu kenapa aku bisa kesal. Kau ini hanya memikirkan putrimu saja."Sinta mendengus. Ia semakin
Hendry diam. Ia tidak bertanya atau berkomentar. Lelaki itu merenungkan apa yang dikatakan Sinta. Hendry berpikir bahwa perkataan istrinya itu ada benarnya juga.Hendry sangat tahu bahwa hubungan Lisa dan Sheira begitu dekat. Mereka sudah seperti saudara kandung saja.Hendry selalu ingat bahwa Sheira adalah orang yang pertama kali melabrak dirinya ketika ketahuan menghianati Lisa. Di saat Lisa lebih memilih untuk diam dan menangis, Sheira datang ke kantornya dan memaki-maki Hendry di depan banyak orang. Bahkan juga menghadiahkan sebuah gamparan keras di pipi.Tapi sebenarnya Hendry juga tidak begitu yakin kalau Sheira memiliki perasaan padanya. Sebaliknya, selama ini Hendry justru merasa kalau perempuan dengan dua anak itu sangat membencinya jauh sebelum dirinya sukses. Jadi semua omongan Sinta, bisa jadi salah juga."Sisil, tolong ambilkan obat sakit kepala ayah. Tiba-tiba kepala ayah terasa pening sekali," u
Hendry memutuskan untuk menemui Sheira di rumahnya. Sebenarnya ia ragu untuk melakukan apa yang disarankan oleh istrinya. Tapi Hendry ingin mencoba segala cara agar putrinya bisa kembali manis seperti dulu lagi."Silakan."Sheira duduk di kursi kayu setelah meletakkan secangkir kopi pahit di atas meja, di depan Hendry tanpa menyuguhkan senyum."Terima kasih. Seharusnya kau tidak perlu repot seperti ini," kata Hendry memaksa untuk tersenyum.Hendry mengambil cangkir putih itu. Dan matanya terbelalak ketika ia mulai menyeruputnya.Hendry tidak pernah lupa dengan rasa itu. Kopi spesial buatan almarhum istrinya, Lisa. Kopi terbaik dengan takaran yang sangat pas sesuai seleranya.Dan ia juga selalu ingat betapa kasar sikapnya saat memaki Lisa hanya karena secangkir kopi. Padahal itu adalah kopi yang sempurna.Entah mengapa dulu Hendry selalu berusaha mencari-cari kesalahan istrinya itu. Batinnya baru akan puas setelah membentak, menca
Sheira baru bisa keluar rumah setelah ibu dan anak-anaknya tidur. Ia meminta asisten rumah tangganya untuk menjaga mereka selama ia pergi, dan lekas menelpon jika terjadi sesuatu.Sheira menyetir mobil merahnya keluar rumah masih dengan rasa kesal bercampur jijik pada Sinta. Ia bertekad untuk menuntaskan semuanya malam ini."Halo....""Eh, bangs*t, aku tunggu kau di kafe Hawla sekarang! Datang atau aku akan menghancurkan rumahnya!"Sinta yang sebelumnya mengangkat telpon sambil membuka-buka majalah fashion, kini mulai mengangkat pandangannya dan berpikir dengan dahi berkerut.Sinta sangat mengenal suara itu. Suara perempuan yang telah menampar suaminya. Perempuan paling kasar dengan cara bicara yang sangat buruk."Hei, si*lan! Apa kau mendengarku?" bentak Sheira dengan mulut terbuka lebar seperti hendak menelan ponselnya.Tut... Tut... Tut....Sambu
"Apa rencanamu sebenarnya? Apa kau ingin menguasai butik Lisa? Apa merebut Hendry darinya masih belum cukup? Kau memang kurang aj*r!" ujar Sheira yang menahan tangan Sinta yang hendak meminum kopi pesanannya.Sinta tersenyum lebar dan meletakkan cangkirnya. Ia bisa merasakan kemarahan Sheira yang sangat besar padanya melalui genggaman yang kuat."Aku akui, kau memang sangat cerdas. Tapi cerdas saja tidak cukup untuk mendapatkan apa yang kau inginkan. Kau harus sedikit licik hahaha," kata Sinta yang mendekatkan wajahnya ke wajah Sheira."Kau akan menerima akibat dari perbuatanmu. Lihat saja, cepat atau lambat, kau akan menerima karma dari kejahatanmu. Tuhan itu Maha Tahu."Sheira berbicara seperti ingin memakan Sinta. Tulang rahangnya terlihat lebih menonjol dengan gigi-gigi atas dan bawah yang merapat saat berucap."Ayolah, Sheira. Aku sudah terlahir licik. Dan tidak ada karma sampai hari ini.
Smith berada di bangku belakang bersama Hendry. Ia mengusap dahi sang ayah yang berada dalam pangkuannya dengan tangan bergetar. Darah dari pelipis Hendry yang bocor menempel pada pakaian Smith.Sementara itu, Pak Jono menyetir mobil dengan perasaan was-was. Bibi Ipah yang juga duduk di bangku depan, berulangkali menoleh ke belakang melihat keadaan sang majikan yang masih pingsan. Dalam batinnya Bi Ipah tidak berhenti berdoa untuk keselamatan Hendry.Ring... Ring....Ponsel berdering. Smith sedikit terjingkat karena kaget. Ponsel di kantong celananya bergetar dan berbunyi karena ada panggilan masuk.Tapi Smith tidak menjawab. Ia bahkan tidak mengeluarkan ponsel itu dan berlagak seolah tidak mendengar apa-apa."Non, ada telepon," kata Bibi Ipah mengingatkan."O, iya. Biarlah Bi. Aku tidak ingin menerima telepon dari siapapun.""Mengapa, Non? Coba Non angkat saja, bar
"Ma, hati-hati. Mama harus tenang. Ayah pasti baik-baik saja. Jangan sampai karena kekhawatiran Mama yang berlebihan, membuat kita jadi kecelakaan," ujar Sisil yang sampai memegang jok mobil karena mamanya mengemudikan mobil dengan sangat kencang."Bagaimana Mama bisa tenang? Pasti terjadi sesuatu pada ayahmu hingga sopir Smith keluar rumah dengan terburu-buru. Kita harus sampai di rumah anj*ng penjaga itu secepatnya untuk mencari kepastian tentang apa yang sebenarnya terjadi."Sinta menginjak gas dan rem bergantian, berulang-ulang. Membuat kepala putrinya mangguk-mangguk tanpa arti. Untung saja sabuk pengaman mobilnya berfungsi dengan baik. Jika tidak, mungkin kerasnya guncangan akan membuat sabuk itu terlepas sendiri.Sisil yang tidak dihiraukan peringatannya oleh Sinta, pada akhirnya hanya bisa pasrah dengan batin yang terus memanjatkan doa memohon keselamatan.Gadis itu baru bisa bernapas lega setelah tiba di de
"Bagaimana? Dimana ayahmu?" sambar Sinta saat Sisil tercekat usai panggilannya pada ponsel sang ayah diangkat oleh Smith."Sisil! Jawab! Mengapa kau diam saja? Apa yang dikatakan ayahmu?" bentak Sinta yang langsung berdiri mendekati anaknya.Sisil masih belum menjawab. Tapi air keluar dengan sendirinya dari kedua bola matanya. Sontak membuat Sinta merasa semakin cemas."Sisil!" bentak Sinta lagi. Kali ini sambil mengguncang-guncangkan tubuh putrinya."Ayah...." ujar Sisil sangat lirih sembari terduduk di atas sofa."Ayahmu kenapa?""Ayah ada di rumah sakit, ma. Kita harus pergi ke rumah sakit sekarang!"Sisil berdiri dengan tangan bergetar. Ia tampak seperti orang linglung, mondar-mandir kesana kemari, hatinya semakin tidak tenang lantaran terlalu khawatir pada kondisi ayahnya.Berita dari Smith itu sungguh membuat batinnya terguncang. Ingatan