Brak!
Bulan terlonjak kaget mendengar pintu ruangannya terbuka dengan keras. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ia masih harus memeriksa satu gaun lagi sebelum pulang.
“Mas Alfan.” Bulan melihat Alfan datang dengan wajah merah dan sorot mata yang penuh kemarahan.
“Jangan bermain-main dengan pernikahan ini, Bulan. Kamu itu istriku!” ucap Alfan dengan suara lantang.
Bulan yang tidak tahu maksudnya hanya menatap Alfan datar.
“Apa! Aku tidak tahu maksudmu, Mas Alfan. Kamu datang dan menuduhku macam-macam. Aku tidak mengerti, apa ini!” Bulan menggelengkan kepala dengan pelan.
“Jangan berpura-pura tidak tahu apa pun. Siapa lelaki itu?!”
Bulan bangkit dari kursinya dan mendekati Alfan. Berdiri berhadapan membuat Bulan dapat merasakan napas Alfan yang memburu.
“Duduklah dan minum lebih dulu. Bicara
Jangan lupa like, komen dan tinggalkan ulasan bintang lima. Makasih ....
Malam pertama yang seharusnya dilakukanlah beberapa bulan yang lalu akhirnya terlaksana malam itu, di tempat yang terbatas namun begitu menggairahkan. Alfan melakukannya berulang kali sampai tubuh Bulan lemas tak bertenaga.Keduanya akhirnya terlelap dengan saling berpelukan di atas kasur yang seadanya. Malam itu menjadi saksi bisu bahwa dua orang yang berstatus sah telah menjadi satu.Pukul lima pagi, keduanya memutuskan pulang ke rumah untuk membersihkan diri. Ruangan Bulan yang awalnya rapi dan bersih kini terlihat berantakan dengan aroma bekas percintaan yang begitu kentara.Bulan sedikit meringis kala merasakan sedikit nyeri dan perih di area kewanitaannya. Tapi bukan berarti dia tidak bisa berjalan. Tidak ada yang berubah, hanya saja cara berjalan Bulan sedikit terlihat berbeda.Sepanjang jalan senyum Alfan terlihat begitu mengembang. Ada kebahagiaan yang tidak mampu diungkapkan.
“Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk keluargaku yang malam ini hadir. Mami dan Papi, juga kedua mertua dan suamiku. Terima kasih karena telah mendukung dan menjadi support system terbaik bagi karir yang kujalani. Untuk suamiku, Alfan Fatih Herlambang, terima kasih atas dukungan baik, perhatian dan waktu yang telah kamu habiskan untuk menemaniku menyelesaikan rancangan busana yang malam ini aku keluarkan. Ucapan terima kasih saja mungkin tidak akan mampu untuk mengungkapkan perasaanku saat ini. Lebih dari itu aku bahagia karena telah sampai di titik ini. Terima kasih banyak untuk kalian semua yang selalu mendukungku.” Bulan mengungkapan rasa bahagianya. Bahkan terang-terangan dan bangga menyebutkan nama suaminya. Selama beberapa hari memang Alfan selalu menemaninya begadang untuk menyelesaikan pekerjaan. Bulan membungkukkan badan dengan sopan. Kemudian melemparkan senyum penuh haru. Acara akhirnya selesai. Bany
Zahra Jasmine, perempuan berusia 23 tahun. Berasal dari keluarga menengah ke bawah, nyaris kekurangan. Dibesarkan hanya dengan orang tua tunggal membuatnya harus menelan segala hinaan tentang statusnya. Selama ini, ia bahkan tidak pernah tahu siapa ayahnya. Bagaimana rupanya dan masihkah hidup atau sudah mati. Zahra dan kedua adiknya sudah terbiasa dengan hidup serba kekurangan. Bahkan semenjak ibunya diketahui telah pensiun dari pekerjaannya di kantor, Zahra dan kedua adiknya kerap kali kekurangan hanya sekadar untuk makan. Setelah lulus SMA, Zahra tidak melanjutkan pendidikan karena biaya yang tidak dimiliki. Bekerja di salah satu restoran sebagai pelayan adalah awal pertemuannya dengan Alfan Fatih Herlambang. Awalnya Zahra tidak pernah berharap untuk memiliki hubungan lebih dengan Alfan. Karena ia sadar bahwa status sosial mereka berbeda. Tapi wanita mana yang
“Ini nih pelakor yang merebut suami kakakku. Wajah cantik kalau hatinya busuk buat apa!” teriak suara itu lagi membuat keributan di sana tidak bisa dihindari. Beberapa orang terang-terangan menyaksikan aksi seorang perempuan belia yang tidak lain adalah adik Zahra sedang mencoba mempermalukan Bulan di tempat umum. “Cantik-cantik tapi maunya sama suami orang. Seperti tidak ada laki-laki lain saja,” sambungnya lagi berapi-api. Belum sempat Bulan bangkit, adik Zahra sudah menarik rambutnya dengan kasar hingga ia meringis menahan perih di kepalanya. “Zea, sudah. Kamu ini kenapa. Mbak Bulan tidak salah, Zea. Jangan sakiti dia.” Tiba-tiba Zahra sudah berdiri di hadapan Bulan dan mencekal tangan adiknya. “Ini kakakku dan ini pelakor yang merebut suaminya. Bayangkan saja, kakakku sedang hamil dan pelakor tidak tahu diri ini terang-terangan ingin merebutnya. Mbak Zahra-ku yang m
Hubungan Bulan dan Alfan tidak membaik, begitu pun hubungan Alfan dan Zahra. Hubungan mereka semakin merenggang dan menyisakan jarak semenjak kejadian di rumah sakit. Bulan memilih menghindari Alfan. Sementara Zahra terus merengek kepada Alfan untuk memaafkan perbuatan Zea. Dua perempuan dengan sisi dan sikap yang berbeda. Untuk apa yang terjadi, Alfan sudah meminta maaf dengan Bulan. Seperti biasa hanya anggukan dan pemakluman yang selalu diungkapkan oleh Bulan seakan itu hal wajar yang dibenarkan. Jika di sini paling bersalah adalah Bulan, maka apa artinya ia menjelaskan panjang lebar yang hanya akan sia-sia. Bulan tidak merebut karena Alfan bukan miliknya. Justru Bulan yang ditarik dan dipaksa menerima keadaan. Alfan mengusahakan segala cara untuk menghapus rekaman yang ada di rumah sakit. Bahkan ia mengancam kepada siapa pun yang berani menyebarkannya. Alfan terliha
“Ada apa, Mas?”Bulan yang baru saja mendudukkan diri di sofa samping Alfan segera bertanya tentang maksud suaminya yang terlihat begitu serius.“Jauhi Tuan Marvin. Jangan pernah berhubungan lagi dengannya.”Bulan terlihat menatap Alfan dengan tatapan yang sulit diartikan.“Memangnya kenapa? Aku dan Marvin hanya berhubungan baik karena kita teman, tidak lebih.”“Berhubungan baik karena dia mencintaimu dan kamu mencintainya. Begitu? Tidak ada hubungan laki-laki dan perempuan yang benar-benar tulus, Bulan. Selalu ada tanda tanya dibalik hubungan laki-laki lajang dan istri orang.”“Jadi kamu menuduhku memiliki hubungan dengannya?” Bulan menatap Alfan dengan mata memicing. Hatinya terbakar mendengar tuduhan Alfan yang tentunya begitu menyakitkan.Apakah Alfan pikir Bulan serendah itu
Alfan menarik rambutnya dengan kasar. Kabar yang diterima baru saja dari dokter memang kabar bahagia. Tapi itu menjadi hal lain ketika kabar itu hadir di tengah-tengah mereka yang saat ini dalam keadaan tidak baik. Bulan hamil. Tentu saja itu anaknya. Bulan mengandung anaknya sama seperti Zahra yang saat ini juga mengandung. “Alfan, apa yang dikatakan dokter? Keadaan Bulan baik-baik saja, kan. Kamu pasti membiarkannya kelelahan bekerja!” Mama Silvi yang baru saja datang bersama dengan Papa Andre langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. “Bulan hamil, Ma.” “Apa!” Mama Silvi memekik karena terkejut. “Mama akan jadi oma. Kamu tidak bercanda, kan?” “Apa aku terlihat bercanda, Ma?” Alfan mendengkus dan menatap ibunya dengan tidak senang. “Jika Bulan hamil kenapa wajahmu terlihat tidak senang?” Alfan
Ruangan inap yang seharusnya tenang dan damai berubah menjadi seperti pengadilan ketika seluruh keluarga mendengar pengakuan Alfan tentang status pernikahan antara mereka bertiga. Setelah mendengar keributan yang telah dibuat oleh Zahra, Bulan langsung menghubungi Alfan dan memintanya segera datang. Begitu pun yang dilakukan oleh kedua wanita paruh baya tersebut. Mereka menghubungi suaminya dan meminta segera datang untuk membahas masalah ini. Bulan hanya mampu terdiam tanpa berani mengucap sepatah kata. Keadaannya yang semula membaik kini kembali terlihat pucat dan penuh tekanan. Beberapa kali terlihat tangannya menyeka air mata yang terus mengalir dari mata indahnya. Beberapa kali Papa Andre memukul Alfan karena emosi. Sementara kedua orang tua Bulan terlihat begitu kecewa. Bahkan Papi Jacob sempat ingin melayangkan pukulan kepada menantunya, namun dicegah oleh Bulan yang tidak mau membuat suaminya terluka.