Sudah seminggu mereka tinggal di sini. Ayesha sedang mempersiapkan segala kebutuhan sang anak untuk mendaftar di junior high school.
Beberapa waktu yang lalu dia juga sudah mengirimkan lamaran pekerjaan di beberapa perusahaan. Tinggal menunggu hasil akhir, mana yang lebih dulu memiliki peluang.
Pagi itu Ayesha sudah rapi dan cantik. Pakaian dan hijab dengan warna dusty pink membuatnya terlihat manis. Wajahnya tak berubah walau sudah termakan usia.
Ngomong-ngomong, usianya sekarang sudah 38 tahun. Namun wajahnya masih tetap terlihat muda dan tak ada kerutan yang terlihat.
Ibu tunggal dengan anak bujang berusia 12 tahun itu jika berjalan lebih mirip kakak adik. Bahkan beberapa kali ada yang mengira bahwa Ayesha adalah wanita lajang.
“Zen, temani mom pergi yuk.” Ayesha menghampiri sang anak yang masih ada di kolam renang.
“Mau ke mana lagi, Mom
Sore harinya Nena mengetuk pintu kamar majikannya dengan keras. Bukan Ayesha yang muncul justru Arzen dari kamar sebelah yang keluar.“Ada apa Nena?” tanya Arzen, mengabaikan peringatan sang ibu yang memintanya memanggil dengan sebutan ‘Mbak’.“Ada mobil datang.”“Mommy mana?”“Ketiduran mungkin. Sudah diketuk beberapa kali tapi tak ada sahutan.”Arzen memanggil sang ibu, karena tak ada sahutan dia langsung membuka pintu kamar dengan pelan.Pemandangan pertama yang dilihat adalah seseorang yang masih salat. Arzen menunduk dan menutup kamar lagi dengan pelan.“Mommy masih salat. Bilang aja suruh nunggu sebentar,” ucap Arzen segera masuk kamar.Lima belas menit kemudian Ayesha keluar dari kamar dan memasang hijab asal di kepalanya.&nbs
Jantung kedua orang yang ada di ruangan tersebut berdetak dengan keras seolah tengah berlomba. Hamid sudah keluar beberapa menit yang lalu, meninggalkan dua orang yang kini sama-sama terkejut. “Bulan,” lirih lelaki itu dengan bibir bergetar. Ayesha merasakan tubuhnya hampir saja limbung andai tak menyadari posisinya saat ini. Sekuat tenaga ia mendongak untuk menatap lelaki yang kini tengah menyorot dengan tatapan yang sulit diartikan. “Maaf, Tuan. Nama saya Ayesha.” Meyakinkan dengan wajah yang dibuat bingung. “Bulan,” panggil lelaki itu seperti tak mendengar ucapan Ayesha. “Tuan.” “Tuan!” Akhirnya Ayesha memanggil lelaki itu dengan sedikit keras, membuatnya sadar dan mengerjapkan mata beberapa kali. “Maaf, wajahmu mirip seseorang.” Ayesha tersenyum tipis.
Waktu sudah menunjukan pukul empat sore saat Ayesha baru sampai di rumah setelah mampir ke sebuah toko kue yang ada di dekat kantor. Makanan manis adalah kesukaan putranya, ia tak mungkin melupakan itu. Keningnya heran ketika mendapati ada mobil yang terparkir di depan rumahnya. ‘Tamu? Siapa?’ Ayesha bergegas masuk dan seketika matanya membulat saat mendapati kondisi putranya yang mengalami luka-luka di beberapa bagian. “Kamu kenapa bisa begini, Zen. Bilang sama mommy, siapa yang melakukan ini!” seru Ayesha, memindai seluruh tubuh sang anak dari atas sampai bawah hingga tak menyadari bahwa ada sesosok lelaki yang menatapnya. “Jatuh, Mom. Motorku menabrak mobil om Hanan yang kebetulan sedang parkir,” jawab Arzen terlihat menunduk. “Om Hanan siapa?” “Itu orangnya ada di belakang mommy,” sahut Arzen pelan.
Hari pertama bekerja, Ayesha sudah dibuat kesal oleh perintah-perintah yang dilakukan Vanya—sekretaris satu yang ternyata adalah adik ipar dari pimpinan perusahaan. Namun karena Ayesha baru pertama ia hanya bisa sabar dan menghela napas berkali-kali untuk meredakan segala kekesalan yang dirasa. “Jangan bengong aja, kerjakan yang benar. Sebagai sekretaris dua kamu harus bantu pekerjaanku dengan baik.” “Baik, Nona.” Hanya itu yang keluar dari bibirnya sepanjang ia mendapatkan banyak omelan dari wanita yang bersikap bossy tersebut. Bahkan saat ia sibuk mengerjakan tugas yang diberikan, justru wanita itu dengan bermain ponsel bahkan terkekeh dengan suara yang cukup terdengar mengganggu. “Ini sudah selesai, Nona Vanya. Apa perlu aku juga yang mengantarkannya ke ruangan Tuan Marvin?” tanya Ayesha dengan penuh penekanan. Vanya memelototi sebelum bangkit
“Untuk apa kamu di sini malam-malam, Tuan Hanan?” Ayesha menyilangkan kedua tangan dengan tatapan penuh selidik.“Maaf, Nona Ayesha. Kamu adalah tetangga baru, sebagai warga yang baik, aku ingin mengirimkan bingkisan sebagai tanda perkenalan.”Ayesha tampak terkejut. Dia di sini sudah berminggu-minggu dan sudah beberapa tetangga dekat dikunjungi, tetapi tak tahu bahwa lelaki ini adalah tetangganya juga.‘Rumahnya di mana?’ batinnya bertanya-tanya heran.“Rumahku tepat di sebelah kanan,” ucapnya memberitahu.“Terima kasih,” ucap Ayesha, menerima bingkisan kue kering yang dibawa lelaki itu.“Bagaimana kabar Arzen?”“Dia lagi demam. Sekarang sudah tidur.”“Mungkin dia terkejut sekaligus syok. Sudah di bawa ke rumah sakit?”
Sudah satu bulan Ayesha bekerja di perusahaan milik Marvin dan mulai terbiasa dengan segala cercaan dan omelan dari Vanya. Seperti biasanya ia lebih memilih diam daripada ribut atau sekadar menanggapi.Tak akan ada habisnya, ia yang masih waras lebih baik mengalah. Karena ia lebih suka kedamaian dan ketenangan.“Ayesha.”Mobil sport hitam berhenti tepat di depannya yang masih menunggu taksi. Kebetulan pagi tadi ia memang tidak membawa mobil karena sedikit ngantuk dan takut terjadi sesuatu di jalan.Marvin membuka kaca mobil dan berniat memberinya tumpangan.“Tidak perlu, Tuan. Terima kasih, saya nunggu taksi saja.” Kebetulan ia sedikit harus pulang telat karena ada pekerjaan yang belum selesai karena Vanya tidak masuk beberapa hari.“Masuklah. Ini sudah larut, tidak baik jam segini kamu masih di jalan. Aku akan mengantarmu.&rdquo
Langit biru nampak begitu cerah. Matahari sudah mulai meninggi saat Ayesha dan Arzen dalam perjalanan menuju salah satu pusat perbelanjaan.Sesampainya di sana mereka berkeliling, memasuki satu toko ke toko yang lain dan memilih beberapa barang, baik pakaian, tas dan juga sepatu. Ayesha tak melarang, ia hanya mengingatkan untuk mengambil seperlunya saja.Berkeliling hampir satu jam, akhirnya mereka singgah di toko buku. Arzen meminta untuk membeli beberapa buku bacaan tentang sejarah dan fisika, sementara Ayesha langsung menuju deretan novel.“Ayesha,” panggil seseorang membuatnya menoleh.“Hai, Marvin,” sapa Ayesha menutupi keterkejutan di wajah dengan senyum tipis.“Sedang apa?”“Ngantar anakku beli buku. Kamu sendiri sama siapa di sini?” tanya Ayesha basa-basi.“Sama, ngantar anak b
Cukup lama keduanya hanya diam. Ayesha juga tak tahu harus memulai dari mana. Sebenarnya ada yang ingin ditanyakan, bagaimana lelaki itu tahu bahwa ia ada di rooftop. Suara berdeham lelaki itu berhasil membuatnya menoleh. “Ada yang ingin kutanyakan.” “Tanyakan saja, Marvin.” Mendengar jawabannya lelaki itu justru mendengkus pelan. “Kenapa kamu selalu menghindar? Apa kehadiranku membuatmu tidak nyaman?” Marvin menoleh dan sepenuhnya bisa menatap wajah cantik wanita berhijab yang menundukkan kepala. “Kedekatan kita, bisa menimbulkan salah paham.” Alis Marvin menukik tajam. “Shalimar, putriku satu-satunya. Bulan depan usianya tujuh tahun. Mamanya sudah meninggal saat melahirkan dan meninggalkan aku dengan status duda.” Marvin tampak berkaca-kaca saat mengatakannya. Ada seulas senyum pedih yang tergambar dari sorot matanya.