Kalau saja Shaila tidak mendengarkan percakapan Alyne dan Raka, mungkin selamanya dia akan dikelabaui oleh sandiwara Raka. Tapi, bagaimana bisa Alyne pergi sendiri tanpa Fauzan? Lalu mengapa Alyne berhubungan dengan Raka? Dan...apa benar Raka mencintainya. Pikirannya membuncah. Pusara Sang Ayah saja, masih basah. Kini di timpa oleh teka-teki yang bermunculan menggelisahi hati Shaila. Mengabaikannya pun bukan solusi.Shaila terus memikirkan dari segala sisi. Ia menemukan beberapa hal yang mungkin ia mengerti, tapi ia sama sekali tidak menginginkan perpecahan hubungan antara mereka yang sudah seperti keluarga."Oke, aku harus mulai menyelidiki. Ila yang sekarang harus beda dengan Ila yang dulu, yang selalu mengalah dan polos sehingga akan terus tersakiti. Dunia sudah sangat kejam padamu Ila." Shaila mengepalkan tangannya. Nafasnya terengah-engah. Marah yang berbaur dengan sakit telah melebur dal
Angin sepertiga malam berhembus. Menerka jendela yang sedikit terbuka. Menyapa Kedua insan yang tengah menengadah memohon rida Tuhan. Seraya Ezra berbalik, kedua tangannya menyentuh kepala Shaila yang masih tertutup dengan balutan mukena. Mukena pemberian Ezra yang pertama kali ia kenakan. Matanya menatap penuh kehangatan."Kamu sangat cantik," Bisik Ezra."Kamu harus tahu, aku mencintaimu karena allah. Karena aku yakin jika cintaku karena allah, maka cintaku padamu akan kekal hingga maut merenggut nyawaku."Kata-kata Ezra begitu dalam. Hingga tak terasa embun di sudut mata Shaila mulai menetes. Usai berdo'a bersama. Shaila belajar membaca al-qur'an. Damai mendengar ayat yang dilantunkan Ezra. Hati Shaila mulai berdesir indah bagaikan ombak yang melambai sang fajar, Kala Ezra melantunkan ayat,
"Kalian siap dengan desain produk baru kita? Sepatu dengan motif batik pasti banyak peminat, karena batik merupakan khas kita sebagai orang Indonesia, tentunya kita akan bangga ketika salah satu warisan budaya Indonesia bisa dinikmati oleh seluruh rakyatnya, bahkan hingga ke mancanegara." Tutur Shaila menuangkan seluruh idenya.Shaila merasa tenang. Salah satu rencananya membantu Ezra terwujudkan. Tinggal menunggu hasil. Jam istirahatpun tiba. Shaila berniat mengajak Ezra untuk makan siang bersama di Cafe dekat Kantor. Dia berjalan sambil tersenyum sembari mengeluarkan ponsel dari saku blazer. Tiba-tiba seseorang menarik tangan kanannya dan membawa Shaila masuk ke dalam mobil. Shaila merasa kaget, spontan ia ingin berteriak. Namun keinginan itu terhenti ketika melihat Direktur Han di dalam mobil. Alhasil dia hanya terdiam duduk di sebelah Direktur Han."Saya tahu,
"Ila aku mengenalmu sejak kecil. Tapi kamu, kamu tidak pernah melihatku layaknya seorang laki-laki yang mengagumimu. Laki-laki yang mencintaimu. Asal kamu tahu, betapa akan menyesalnya kamu memilih Ezra. Karena sesungguhnya hanya aku orang yang paling baik untukmu, orang yang paling tepat untukmu," teriak Raka dengan nada suara semakin meninggi, hingga suaranya menggema di dalam ruangan dan terdengar keluar.Senyum penuh ironis kembali muncul dari bibir Raka. Pun, Shaila semakin sulit menebak bagaimana sebenarnya jalan pikiran kakak angkatnya itu."Raka, dimana perasaanmu sebagai seorang Kakak yang mencintai adiknya? Kamu telah menghancurkan pernikahanku dengan memperalat wanita itu, padahal dia mengandung anakmu. Apa itu yang dinamakan cinta?" pertanyaan Shaila tak mampu mengubah niat Raka untuk meyakinkan, kalau dia benar-benar cinta pada sang adik. "Braakkkk..."Tiba-tiba pintu terbuk
Keadaan di kantor mulai memanas, Direktur Han mencoba mengadakan meeting antara pemegang saham tanpa hadirnya Ezra. Sekertaris Gun sibuk dengan ponselnya. Dia terus mencoba menghubungi Ezra, tapi tak ada respon."Apa yang terjadi? kenapa dia tidak mengangkat panggilanku?" Gun mulai resah dan terus menggerutu."Masih tidak ada jawaban?" tanya Direktur Han dengan raut wajah penuh kecewa. Kerutan di wajahnya nampak sudah terlihat kalau dia memang sudah tua."Belum Pak, padahal satu jam yang lalu dia masih berkeliaran di kantor," jawab Gun khawatir."Apa yang terjadi? Apa karena wanita itu? Hemh..." Senyum sinis orang tua paruh baya itu menyeringai."Dia memang tak bisa dipercaya, rasa tanggung jawabnya sudah mulai hilang," lanjutnya masih dalam keadaan marah."Agh, aku bisa gila ini." Gun menggertakkan giginya. Sesekali menyugar rambut yang sudah rapi sekedar
𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘳𝘪𝘯𝘥𝘶𝘬𝘢𝘯𝘮𝘶. 𝘉𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘱𝘦𝘫𝘢𝘮.{Moh. Ezra Nataprawira}𝘙𝘪𝘯𝘥𝘶𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩𝘪 𝘳𝘪𝘯𝘥𝘶𝘮𝘶. 𝘉𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘫𝘢𝘮𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢 𝘳𝘪𝘯𝘥𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘤𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶. 𝘙𝘪𝘯𝘥𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘵𝘶 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘢𝘭𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘪𝘳 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘩𝘦𝘯𝘵𝘪. 𝘚𝘦𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘵𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘨𝘢 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬𝘶𝘮𝘶.{Shaila Shena Anjani}<<<<<<___________________________>>>>>Ezra Masih berbaring terkulai tak sadarkan diri. Sedangkan Shaila menggelar sejadahnya memohon kesembuhan untuk Ezra. Berharap semua awan kesedihan yang menimpa dirinya dan Ezra segera berlalu diganti dengan pelangi
Ezra memeluk Shaila dengan erat dari belakang. Sedangkan Shaila masih memikirkan bagaimana caranya dia akan pergi meninggalkan Ezra."Setelah Papa mengusirku dan Mama tidak bisa membelaku, aku pikir tidak ada satu orang pun yang menyayangiku. Kenapa aku harus hidup di jalanan? padahal Papa adalah orang berada. Aku merasa hidup sendiri tak punya orang tua. Tapi kali ini aku tidak akan merasa hidup sendiri lagi, karena aku punya kamu kekasih impianku. Kamu adalah alasanku untuk bangkit dan tetap bertahan." Ezra bercerita. Mulutnya hampir menempel pada kepala Shaila.Kemudian Shaila pun bercerita tentang kisahnya. Lama dan semakin lama Ezra terlelap dalam kisah-kisah yang terjadi dalam mimpi. Pelan, Shaila melepas tangan Ezra yang masih memeluknya dari belakang. Ia ingin beranjak pergi dari rumah sakit pagi-pagi sekali, sebelum Ez
Tak percaya dengan apa yang dia dengar. Ezra merasa kalut. Pikirannya dipenuhi tanya mengapa dengan teganya Shaila mengatakan kata-kata yang membuat hatinya hancur berkeping-keping.Cinta yang sudah mulai tumbuh dan menguasai hatinya. Cinta yang sudah mengakar dalam hatinya hanya untuk Shaila seorang. Cinta yang tak bisa ia gantikan dengan apapun. Cinta yang mencintai seutuhnya. Kini cinta itu juga yang menorehkan luka pada hatinya.Air mata menetes tak tertahan dari kelopak mata Ezra. Pandangannya tak lepas dari Shaila yang berlalu menaiki anak tangga.Shaila yang masuk kedalam kamar langsung menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya pada pintu. ia menangis sejadi-jadinya. Air mata tak terbendung membasahi pipinya."Maafkan aku!" bisik hatinya sambil menangis