Share

Permintaan

"Jadi bagaimana kencannya? Tak seburuk yang kau pikirkan bukan?"

Hera menyimpan secangkir kopi di depan meja yang membatasi dua perempuan yang tengah berbincang itu, Rachel dengan cepat meraih cangkir itu dan meminumnya sedikit, mencoba melarikan diri dari pertanyaan sembari mengingat kembali apa yang terjadi kemarin malam. Perempuan bersurai cokelat itu meringis. 

"Entahlah aku tidak tahu, aku tak ingin membicarakan itu saat ini."

Perempuan itu memalingkan wajahnya dari Hera, memilih tenggelam dalam lamunan sembari melihat ke arah televisi yang menayangkan program fashion kesayangannya dimana asisten penata gaya tengah membantu model memasang pernak pernik gaun merah terang yang terbuka di belakang punggungnya, "kupikir ini bukan ide yang bagus—"

"Aku sudah melihat foto yang dirilis wartawan, itu menjadi topik hangat di internet."

Rachel menahan napas sembari memutar bola matanya, oh tentu saja. Netizen akan menelan apapun bulat-bulat, perempuan itu bahkan tidak ingin peduli dengan respon orang-orang padanya lagi.

"Selama lima tahun berteman, aku baru tahu kalau kau adalah tipe yang berciuman pada kencan pertama, Chel."

"Percaya padaku, itu terjadi tiba-tiba dan Gideon bahkan tidak menanyakan konsenku!"

"Dan lagi itu bukan ciuman, ia hanya menempelkan bibirnya dan itu bahkan tidak di atas bibirku, jangan tertawa—" 

Hera hanya terkikik jahil, kapan lagi ia bisa menggoda Rachel soal lelaki. Perempuan itu kemudian mendongak meraih ponselnya dari atas meja, "Gideon bilang dia ingin bertemu, ah aku tidak percaya kalian bahkan lupa untuk bertukar nomor ponsel—" ia menjeda ucapannya sebelum menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan pesan dari lelaki itu, "dia bilang dia ingin mentraktirmu kopi."

"Dia apa?" Rachel tergagap, hampir menjatuhkan cangkir yang ada di tangannya. Perempuan itu mengepalkan tangannya dengan erat sembari berkedip bingung. "Kau bisa menolaknya, tidak lihat aku sedang minum kopi sekarang? Lagipula, kita baru saja bertemu kemarin.”

“Oh ayolah, orang yang sedang jatuh cinta cenderung ingin bertemu satu sama lain setiap ada kesempatan,” goda Hera sembari menaik turunkan alisnya menyebalkan, perempuan itu mengetikkan pesan balasan pada Gideon, “kau hanya minum seteguk, pergilah temui dia. Ingatlah kalian berdua seharusnya adalah orang yang sedang jatuh cinta, setidaknya harus terlihat seperti itu sebelum program reality dimulai. Dapatkan ketertarikan publik dulu.”

Entah Rachel sudah mengembuskan napas lelahnya keberapa kali hari ini, perempuan itu menggelengkan kepalanya sembari bangkit dari kursi yang ia duduki sekitar satu jam lebih. Tentu saja Hera tidak tinggal diam, manajernya itu mengekor di belakang.

"Mau ke mana?"

Rachel membalikkan badan, perempuan itu mengangkat alisnya dan kemudian bibirnya membentuk garis lurus. “Kau pikir aku akan ke mana?”

"Kenapa kau begitu membenci Gideon? Apakah dia menjahilimu?" tanya Hera sembari balas menaikkan alis. “Kalau dia menjahilimu aku bahkan semakin menyukainya,” ejek perempuan itu kemudian yang dibalas Rachel dengan dengusan kesal.

"Percayalah, kau akan berterima kasih padaku nanti. Kau hanya perlu menikmatinya, jika dia menjahilimu kau—"

"Kalau aku tidak mau bagaimana?"

Kali ini Hera yang menghela napas, “oh ayolah, kau akan melewatkan kesenangan dalam menggoda balik orang yang mengganggumu. Ngomong-ngomong, aku sudah bilang pada Gideon kau mau pergi–“ Sebelum Hera dapat menyelesaikan kalimatnya, suara pintu lift terbuka membuat percakapan dua perempuan itu terhenti. Rachel menoleh, dan mulutnya langsung terbuka setengah terkejut ketika melihat siapa yang melangkah keluar.

"Ada apa dengan wajahmu? Sesenang itu melihatku datang? Sayang?"

Sayang katanya, Rachel mengalihkan pandangannya dari potret Gideon, dia benar-benar akan membalas Hera setelah ini lihat saja.

"Menurutmu apa aku terlihat senang?"

Gideon berkedip bingung sebelum kemudian mengalihkan fokusnya pada Hera yang berdiri di sebelah perempuan itu, menurunkan badannya untuk berbisik, "Apakah dia sedang dalam suasana hati yang buruk? Kenapa sudah seperti kucing betina?"

"Bagaimana menurutmu?" kekeh Hera. "Betapa lelahnya aku yang harus menghadapi ini setiap hari, percayalah itu adalah tampilan default-nya." 

"Aku bisa mendengar kalian."

Hera terkekeh jahil, ia menepuk bahu Rachel sebelum berjalan ke lift, "Ngomong-ngomong, aku punya pekerjaan lain yang harus diselesaikan hari ini, kalian berdua berkencanlah dan bersenang-senang."

Begitu Hera pergi, Rachel mengulurkan tangan dan menarik kaos belel milik Gideon, menyeret lelaki itu masuk ke dalam ruang kerja pribadinya.

"Wow~ apakah kau begitu merindukanku? Tidak perlu terlalu agresif sayang."

Rachel berpura-pura tidak mendengar ucapan lelaki itu, lagipula ia yakin Gideon hanya bercanda. Menjahilinya seperti terakhir kali, tipikal.

Beruntung baginya semua orang di agensi terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing untuk berada di koridor agensi. Rachel bisa dengan bebas menyeret Gideon masuk ke dalam ruangannya dengan tidak manusiawi. Perempuan itu mendorong lelaki itu untuk duduk di atas sofa.

"Tunggu disini."

Gideon tidak mengucapkan apa-apa, sibuk memperhatikan ruangan berwarna merah muda yang tercium seperti merah muda—wanginya sangat feminim.

“Apa yang kau cari?”

"Diam."

Gideon tak bertanya lagi setelah itu, setelah selang dua puluh menit Rachel keluar dari ruangan yang Gideon kira adalah gudang penyimpanan. Perempuan itu membawa setumpuk pakaian.

“Pakai ini, aku akan melihat mana yang cocok,” gumam Rachel sembari menabrakkan setumpuk baju itu di dada Gideon. Perempuan itu mengambil pakaian yang menurutnya cocok untuk Gideon, mengabaikan tatapan penuh tanya dari staf yang ada di dalam ruangan karena ia mengambil pakaian pria.

Gideon menatap pakaian-pakaian itu skeptik, ia mendongak menatap Rachel yang juga tengah menatapnya dengan alis terangkat seolah berkata, "kenapa? Kau keberatan?

Gideon menyeringai jahil, lelaki itu melepas kaus belelnya dari kepalanya yang tentu saja dihadiahi pekikan tertahan dari Rachel. 

"Kau sudah gila ya? Pakai pakaianmu di ruang ganti!"

"Kenapa? Lagipula kau tertarik tidak dengan tubuhku kan?"

Perempuan itu kehilangan kata-katanya, Rachel menarik tangan Gideon—lebih tepatnya menyeret Gideon masuk ke ruang ganti dan melempar kemeja tepat di wajah lelaki itu.

"Aku akan menunggu di luar."

Ketika lelaki itu selesai berpakaian, Rachel menatap Gideon dari atas ke bawah berkomentar sambil mengambil kaos belel yang tadi Gideon pakai. “Kau berpakaian dengan baik semalam, apa yang terjadi?”

"Karena stylist-ku yang memilihkannya.”

"Oh tentu saja," gumam perempuan yang lebih tua sembari memutar bola mata. “Mulai sekarang karena kita seharusnya terlihat seperti kita berkencan, kau harus berpakaian dengan baik agar kau pantas bersanding denganku. Aku tidak ingin melihatmu terlihat lusuh—" perempuan itu berhenti sebentar sebelum mengambil leather jacket dari samping dan memasangkannya di depan tubuh Gideon. "Mulai sekarang aku akan memilih baju yang kau pakai."

"Sejauh itu?" Wajah Gideon berkerut tidak suka, lelaki itu berdeham pelan sebelum berucap, "baiklah jika itu yang kau mau. Tapi karena kau menuntutku, aku juga punya permintaan untukmu."

Lelaki itu berdiri sembari menyingkirkan leather jacket yang di angkat oleh Rachel di depan tubuh tegapnya ke atas sofa. Dia menundukkan tubuhnya agar wajahnya bisa sejajar dengan perempuan itu.

Rachel menelan ludahnya gugup, "apa permintaanmu?"

"Mulai sekarang, aku ingin kau lebih banyak tersenyum,” ucap Gideon mantap. Lelaki itu menyilangkan lengannya sebelum kembali menegapkan badannya. 

"Bagaimana publik akan percaya kalau kau tidak terlihat bahagia bersamaku?" tambahnya.

Ada benarnya juga, pikir Rachel. Sekarang gantian perempuan itu yang menarik bahu lelaki itu mendekat agar tinggi mereka setara. Perempuan itu menaikkan sudut bibirnya membentuk senyuman.

"Kau puas sekarang?"

Gideon terkekeh sembari mengusak pelan surai perempuan itu, "good girl."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status