= Perusahaan security B2B Universal, kota B. Jerman. Jam 3 sore =
Ketukan di pintunya membuat kepala berambut gelap itu mendongak."Masuk."Dari arah pintu yang terbuka, masuklah seorang pria tinggi berambut pirang gelap. Tampak kedua matanya yang biru bersinar cerah saat memandang orang yang masih terlihat duduk di kursi kerjanya."Reiss. Kau sibuk?""Ashley. Masuklah."Duduk di depannya, Gregory meletakkan laptop yang tadi ditentengnya dan langsung membukanya."Aku ingin melaporkan progress hari ini. Ada sedikit masalah di spek material yang kita pesan sebelumnya. Sepertinya akan ada perubahan spek untuk fasad di bangunan utara, tapi secara keseluruhan tidak akan mempengaruhi kualitas dan juga budget yang dikeluarkan. Hanya saja, waktunya akan sedikit mundur dari schedule karena menunggu pengirimannya sekitar 2 hari lagi. Jadi untuk mengisi kekosongan itu, rencananya akan dipadatkan untuk mengerjakan sisi lain dari gedSampai di hotelnya, Gregory langsung mandi dan bekerja di laptop-nya. Selama beberapa jam, ia tenggelam dalam pekerjaannya dan baru menyadari kalau jam telah menunjukkan tengah malam. Setelah mengecek kembali layarnya, pria itu menutup alat kerjanya dan menyimpannya di meja. Ia masuk ke dalam selimut dan menyangga kepalanya dengan kedua tangannya di bantal. Pandangannya mengarah ke atas.Mencoba untuk memejamkan matanya, pria itu menyerah untuk tidur dan akhirnya mengambil ponselnya. Tampak ia menggeser-geser layarnya sampai berhenti. Tatapan matanya meredup dan rahangnya mengeras. Tanpa diduga, mata yang biasanya memancar dingin itu memerah dan berair. Menutup matanya, Gregory baru saja akan meletakkannya kembali saat benda itu berbunyi.Nama yang tertera di layarnya, membuat pria itu berdehem pelan. Tanpa membuka isi pesan itu, Gregory langsung menelepon si pengirim pesan yang langsung menjawabnya."Rory? Kamu belum tidur?""Belum, babe. Sebenta
= Kediaman keluarga Walton. Kota CA, Amerika. Jam 7.30 malam =Pipi Lily tampak bersemu merah saat ia menutup sambungan teleponnya. Hatinya berbunga-bunga tiap kali ia mendengar suara suaminya tapi kali ini, letupan itu terasa lebih menguat. Ia merasa hubungannya dengan Gregory semakin membaik meski saat ini mereka tinggal berjauhan. Ternyata bercakap-cakap dengan pria itu tidak sesulit bayangannya selama ini, terutama saat ia masih kecil dulu.Menyimpan ponselnya di saku jaket, Lily baru saja akan melangkah pergi sambil menyeret kopernya saat ia menoleh ke atas. Wanita itu terdiam sejenak dalam berdirinya, sampai akhirnya ia memutuskan untuk naik ke lantai dua. Menelusuri lorong yang familiar itu, ia berhenti di depan sebuah pintu dan membukanya pelan. Tangannya menelusuri tembok dan menekan sakelar lampu, menerangi kamar yang tadinya gelap itu.Suasana di dalam belum berubah. Masih sama seperti yang diingatnya belasan tahun lalu. Tampaknya kedua orangtua
= Salah satu restoran steak di kota CA, Amerika. Masa sekarang ="Pesanan terakhir?""Pesanan terakhir, Chef!"Mengambil pesanan dari papan, wanita itu berteriak tegas dalam dapur itu. "Ok, guys! Pesanan terakhir malam ini! Satu steak medium rare dengan..."Tidak lama setelah instruksi itu, seluruh orang yang ada di ruangan sibuk dengan tugas masing-masing. Satu-satunya wanita yang ada di sana tidak kalah cekatan, bahkan membentak pada para pria yang berbadan lebih kekar darinya. Tidak ada yang tersenyum dan semuanya serius menangani pesanan terakhir tersebut. Kesibukan di hari itu berakhir ketika lap tangan si pimpinan dapur diletakkan di meja pantry yang telah bersih dan mengkilap. Deretan para pria yang berbaris seperti tentara itu lega tapi belum ada yang berani bergerak.Senyuman cantik terpatri di bibir wanita berambut cokelat itu, membuat wajahnya jauh melembut dibanding saat masa-masa pelayanan yang menegangkan barusan.
= Universitas A. Kota CA, Amerika =Menelusuri lorong-lorong yang masih tampak ramai, tampak sosok seorang pria yang berjalan terburu-buru. Meski tampangnya cukup panik, tapi beberapa kepala menoleh dengan pandangan tertarik. Beberapa wanita yang cukup percaya diri bahkan tersenyum padanya dan dengan tatapan kurang ajar, lelaki itu balas melemparkan senyuman yang menawan pada mereka.Jeritan melengking dari para mahasiswi di belakangnya tidak dihiraukan Fred saat ia berjalan menjauhi sekumpulan lebah-lebah betina itu di belakang. Langkah kakinya akhirnya berhenti di depan sebuah pintu kayu yang kokoh. Meski sudah meninggalkan tempat ini belasan tahun, tapi tetap saja ia berdebar-debar. Ia seolah tengah di panggil ke kantor kepala sekolah karena melakukan kenakalan.Ketukannya yang mantap dijawab dengan samar dan pria itu pun membuka pintunya.Hal pertama yang dilihat Fred di dalam adalah raut sebal seorang pria berusia sekitar akhir 60-an.
Frederick Harrington bisa merasakan tubuhnya mulai gemetar. Kedua tangannya mencengkeram kuat kayu kursinya. Cairan di tenggorokannya mengering seketika, saat ia mendengar kelanjutan cerita prof. Declan yang duduk di depannya. Tampak pria tua itu tidak menyadari reaksi tamunya karena sedang tenggelam dalam masa lalu yang merupakan penyesalan terdalamnya."Butuh waktu cukup lama untuk mengetahui hal ini dan sayangnya, Garrett sudah keluar dari kampus. Kami berusaha melakukan pemanggilan kembali, terutama karena hal ini bisa dikatakan sebagai tindakan kriminal tapi gadis itu mengganti nomor kontaknya. Saat menelusuri rumahnya pun, dikatakan keluarganya sudah pindah. Tidak ada yang tahu mereka kemana, padahal kasus ini dapat diperkarakan."Mengetuk-ngetuk map yang masih terbuka itu, kembali prof. Declan menghembuskan nafasnya berat."Ini adalah penyesalanku yang terdalam, Harrington. Aku tidak mampu membelanya saat itu. Fakta yang kutemukan sudah terlambat un
= Flashback kejadian hampir 17 tahun yang lalu. Universitas A. Kota CA ="Dimana Fred?"Pria yang tadinya menunduk itu menengadah dari ponselnya dan menatap malas. "Cari di sana. Biasanya dia sedang menerima service dari salah satu gadis bodoh yang memujanya."Paham dengan maksud itu, Andrea segera melangkah ke lokasi yang ditunjuk. Jari-jarinya memegang gagang pintu dan langsung membukanya lebar. Sama sekali tidak mengira kalau pemandangan yang ada di depannya benar-benar di luar bayangannya sore itu.Wajah gadis itu membeku dan matanya terpusat pada pasangan m*sum yang sedang memepet ke tembok. Tampak tubuh seorang gadis tidak berpakaian sedang dipepet oleh pria di belakangnya. Tidak jauh berbeda dengan si gadis, lelaki itu hanya mengenakan celana jins yang sudah melorot, memperlihatkan b*kong serta pahanya yang terlihat sedang berkontraksi.Tidak perlu orang pintar untuk mencerna situasi yang sedang terjadi, dan kedua orang itu menoleh
Sejak kejadian itu, hubungan Andrea dan Fred sedikit merenggang. Keduanya masih sering berdiskusi dan juga mengobrol santai, tapi itu jika ada orang lain di sekitar mereka. Saat hanya berdua saja, tiba-tiba gadis itu menghilang atau pergi karena alasan yang tidak masuk di akal pria itu.Seiring waktu, fokusnya yang tertuju pada Andrea membuat pria muda itu tanpa sadar mulai meninggalkan kehidupan playboy-nya. Casanova yang tadinya harus selalu memiliki kencan berbeda di tiap minggunya, kini sering menghabiskan waktunya sendirian saja di rumah.Seperti malam ini, Fred duduk di dapur dan memutar-mutar gelasnya. Tampangnya termenung dan murung."Oh? Kau masih di sini?"Kepala Fred menoleh dan tampak Gregory masuk ke dapur dan membuka kulkas. Pria tinggi itu mengambil botol susu dan menuangkan isinya ke dalam mug."Kau minum susu malam-malam begini?""Aku lapar."Kembali menundukkan kepalanya, Fred bergumam pelan. "Aku rindu
Ruangan rawat itu menjadi cukup ramai dengan kehadiran para pengunjung malam itu. Mereka sampai harus sedikit diusir oleh seorang perawat, saat waktu sudah cukup larut."Tuan dan Nyonya, mohon dapat memberi waktu bagi pasien untuk istirahat dulu. Ini untuk kesembuhannya. Kalian bisa berkunjung lagi besok di jam yang sama, dan sebaiknya tidak seramai sekarang."Tidak enak dengan pengusiran itu, pasangan suami-isteri Walton akhirnya pamit. Disusul dengan anak-anak mereka beserta dengan teman-temannya. Sampai akhirnya tinggallah Rod beserta Andrea di sana.Mengusap rambut Fred yang tebal, Rod menghela nafasnya kasar. "Cepatlah sembuh, son. Jangan membuatku khawatir lagi."Mendengar itu, Fred tersenyum lebar. Ia tahu ayahnya menyayangi anak-anaknya, meski sikapnya keras."Aku akan sembuh, pap. Badanku kuat. Jangan terlalu cemas."Mengacak rambut anaknya sekali lagi, Rod mengangguk. Ia baru saja akan pergi saat menatap Andre