"Ma ... kenapa ngomong begitu? Fiza itu istri Rafi, Ma. Menantu Mama!" Bang Rafi agak meninggi nada suaranya.
"Mama tau! Tapi benar kan perkataan Mama? Ga perlu persetujuan dia kalau mama akan tinggal disini! Sudah, Mama mau istirahat dulu!" Tanpa rasa bersalah, Mama mertua menyuruh kami berdua keluar dari kamar yang telah ku rapi kan dari tadi.Bang Rafi langsung mengajakku ke kamar. Ia menatap lekat kesedihan dimataku."Maafin Mama ya Dek? Sungguh, Abang malu sama kamu ... Mama tak tau apa-apa soal kamu, malah bicaranya tidak mengenakkan hati begitu. Jangan diambil hati ya, Dek?" hibur Bang Rafi.Aku hanya bisa menahan gejolak dalam dada. Yang terasa begitu menyakitkan.Bagaimana bisa mertuaku itu berbicara dengan seenak mulutnya saja? Aku menahan diri agar tak berbicara dengan kasar pada Mama mertua. Walau sangat ingin membalas semua ucapan kata-katanya itu dengan kebenaran yang ada.Tapi aku tahan, aku harus menahan emosi ini. Karena jika sampai meledak, seisi rumah bisa menjadi sangat berbahaya.Tahan Fiza. Tahan. Tunggu saat yang tepat."Iya, aku gak ambil hati Bang."Dengan senyum tipis, aku memastikan kepada suamiku itu bahwa aku baik-baik saja. Masih bisa menahan ucapan pedas mamanya."Fiza, anak-anak mu itu coba disuruh diam! Mama lagi nonton jadi keberisikan," tiba-tiba selepas ashar Mama Bang Rafi mulai merasa terganggu dengan anak-anak."Dinda, Putra ... main didepan aja dulu, ya? Nenek mau nonton TV, jadi agak terganggu dengan suara kalian. Oke?" terangku pada anak-anak.Putra dan Dinda agak sedikit murung diwajahnya, karena selama ini hampir tidak pernah dapat perhatian dari neneknya.Sekalinya ketemu, malah dianggap mengganggu. Padahal mereka hanya ingin dekat sama Neneknya, sehingga harus mencari perhatian dengan bersuara agak ramai diruang keluarga.Tapi syukurlah, anak-anakku tipe yang tidak sulit diberi pengertian. "Oke, Bund!" Jawab Putra sambil menggandeng tangan adiknya berlalu dari sini.Aku kembali ke dapur, menyuruh Bi Siti memasak menu makan malam. Lalu mengecek beberapa persediaan bahan mentah di lemari es."Ma, rumah mama memangnya kenapa? Itukan peninggalan Papa, jadi ... kalau lagi lebaran atau acara keluarga, semua bisa kumpul disana," Bang Rafi mencoba bicara sama ibunya itu perihal rumah. Aku masih bisa menangkap pembicaraan mereka dari sini.“Hhfff … kamu itu harusnya mikirin kakak mu makanya! Jangan mikir diri sendiri!” jawaban Mama mertua malah terdengar cukup aneh.Yang ditanya Bang Rafi adalah soal rumah Mama sendiri, jadi merembet ke Bang Rafi.“Loh? Rafi kan gak pernah ingin tinggal dirumah Mama? Atau nyusahin mama, Rafi dan Fiza selalu care sama Mba Zara dan Mba Tia. Apa yang mereka minta dulu selalu Rafi beri. Gak ada yang salah sepertinya?!” Bang Rafi mulai membela diri dari pernyataan yang tidak logis dari ibunya itu. “Kamu itu! Huh, sudahlah, Mama malas ngomongin soal itu! Sudah sana, Mama mau nonton! Awas jangan berisik kamu Raf, kayak anak-anakmu itu! Pusing Mama!” dengan ketusnya, mam mertua mengusir Bang Rafi agar jauh dari hadapannya.Padahal, yang kutangkap adalah Bang Rafi ingin bertanya soal rumah Mama. Ada apa sebenarnya yang terjadi? Tapi jawaban mama mengisyaratkan ia tak mau banyak menceritakan persoalan yang terjadi dengan rumahnya itu.Kasihan sekali suamiku, selain aku istrinya yang sering tak dianggap, ternyata Bang Rafi juga dianggap sebagai pelengkap saja. Ketika mereka kesusahan, maka Bang Rafi lah tempat solusi tercepat mereka. Tapi sebaliknya, Ketika Bang Rafi ingin membantu mencarikan solusi atas masalah yang terjadi hanya diantara mereka, malah tak dianggap. Aku hanya mengurut dada, lalu istigfar … Mengulang memori yang terjadi belakangan. Sakit. Tapi kedepan, harus punya sikap yang lebih tegas. Dan Bang Rafi akan kuajarkan untuk tidak lembek sama keluarganya yang lebih banyak salah ketimbang benarnya. Harus tega jika itu sebuah kebenaran!Selesai solat magrib, aku hendak mengajak Bang Rafi, anak-anak dan mama mertua makan malam. Karena menu makan malam sudah disajikan oleh Bi Siti. Aku sedikit terkejut melihat Mama mertua yang telah duluan makan, tampak hampir selesai mengunyah makan malamnya itu di meja maka. Sendirian. “Ayo anak-anak, duduk ya. Papa juga nih, ayo makan.” Kataku tanpa basa-basi lagi, karena kebetulan sang ibu mertua sudah duluan menyantap makan malamnya.“Dinda mau lauk yang mana? Papa ambilkan ya?’ tanya Bang Rafi yang juga langsung duduk persis berdampingan dengan mama mertua. “Ayam epung, Pah!” tunjuk Dinda pada sepiring ayam filet goreng tepung.“Oke, ini bos!” sahut Bang Rafi dengan nada gemas pada anak bungsunya itu.Kami berempat makan dengan tenang, dan menikmati lezatnya masakan Bi Siti. Sesekali Dinda manja minta disuapin oleh ku, dan sesekali minta sama papanya.Brak!Suara hentakan kursi yang didorong paksa melebar kebelakang, sengaja dilakukan oleh mama mertua. Kami berempat sontak kaget bukan main.Apalagi Dinda, ia terhenyak seketika menoleh kesumber suara dengan piring beradu bunyi dengan sendok yang ia pegang. Akupun demikian, tak kalah terkejut. “Ya ampun, Mama. Bikin kaget aja,” ujar Bang Rafi respek setelah beberapa detik bunyak keras itu terdengar.Mama mertua hanya menoleh ke arah Bang Rafi dengan mencebikkan bibirnya, tanda kurang suka kalau ditegur. Tanpa ada membalas ucapan Bang Rafi, mama langsung ambil posisi duduk santai sambal menyalakan TV. “Sudahlah, Bang. Biarin aja dulu, mungkin Mama lagi bingung dengan masalahnya sendiri,”“Tapi pas abang tanyain masalahnya, selalu begitu! Kan kesal jadinya, malah bikin-bikin drama masalah kayak tadi,” “Shhtt! Kita belum tua seperti beliau, jadi belum merasakan beban saat masalah numpuk dikepala beratnya kayak apa!” kataku dengan pelan.Brak!Kami menoleh lagi kesumber suara yang terjadi di ruang tengah. Ternyata mama melempar remote TV keatas meja tapi malah jatuh kelantai. Aku kembali ngurut dada sambil mengunyah dengan perlahan suapan terakhir makan malam kali ini, melihat kelakuan mama mertua yang seperti itu.*** Setelah anak-anak masuk kekamar tidur, aku merebahkan diri di kursi ruang tamu. Sesaat, mencoba berpikir jernih. Dan berharap semua yang akan terjadi kedepan aku sudah siap menghadapinya dengan kuat.Ku buka notifikasi dari aplikasi hijau di gawaiku, mungkin saja ada info terbaru tentang masalah Mama mertua dan Mba Zara. Sepi, tak ada cuitan pamer atau keriuhan seperti biasanya. Akhirnya ku buka status di aplikasi hijau itu, ingin posting menu makan malam tadi yang dimasak oleh Bi Siti.Mataku sedikit terbelalak melihat beberapa postingan status yang dipasang oleh Mba Tia.“Udah manfaatin adek gw, sekarang deketin emak gw!”“Dasar gada rakus!”Aku berpikir sejenak, ditujukan kesiapa status itu? Ah iya, aku jangan terpancing. Supaya yang membuat status merasa tak ada yang meresponnya sama sekali, baik aku maupun Bang Rafi. Cukup menyimak saja sementara.“Menu makan malam yang ramai, Alhamdulillah, semoga sehat-sehat semuanya”Status itu kutulis pula di laman story aplikasi hijau itu, berikut poto aneka menu yang tadi kami santap bersama.“Gak usah nyolot kalo salah ya salah! Pake nyalahin pula!”Status baru yang Mba Tia kirim. Siapakah yang dimaksud Mba Tia nyolot?Hmm, artinya benar bahwa status pertamanya bukan untukku. Berarti untuk siapa? Aku masih menerka-nerka.“Lah dia sodara gw, kenapa juga lu yang sewot!”Mba Zara kembali mengirim status berikutnya. Makin mencurigakan.“Kumpul semua disana! Niat banget mau ngusain! Gak tau diri!”Ya Tuhan, status Mba Tia ini sepertinya saling sahut dengan satusnya Mba Zara. Apakah mereka lagi tidak akur? Apa memang ada hubungannya dengan masalah rumah Mama mertua yang diberikan untuk Mba Zara? Lalu, kalau memang sudah diberikan oleh Mama ke Mba Zara, Mba Tia jadi tak suka? Makanya tadi di status Mba Tia bilang “kumpul semua disana!” maksudnya kami semua dipihak Mba Zara?Wah, ada yang tidak beres ini sepertinya. Mama mertua tidak ingin sama sekali cerita tentang rumah itu pada Bang Rafi. Artinya ada suatu hal yang membuat mama jadi bungkam lalu akhirnya minta tinggal dirumahku. Aku tak mau menebak-nebak, supaya jelas biar Bang Rafi saja yang menyelidiki.Ternyata suamiku itu satu frekuensi denganku. Ia juga baru menyadari saat memperhatikan status kedua kakak nya itu. [Assalamualaikum. Semoga semuanya pada sehat ya,] tulis Bang Rafi di grup keluarganya.[Raf, Mama sehat kan? Maaf belum bisa kesana, karena Mba lagi menenangkan diri,] balas Mba Zara.[Mama sehat,] tulis bang Rafi. Suamiku itu mungkin masih kesal sama Mba Zara, atas sikapnya tempo hari pada ku. Karena ini demi mengetahui masalah yang terjadi, mau tak mau Bang Rafi harus merespon grup.[Raf, bilang sama Mama, rumah itu harusnya dijual! Bukan diberikan percuma buat satu orang! Gak adil! Jangan sampai hanya kalian saja yang menikmati! Ada bagianku juga disana!] tulis Mba Tia.[Dijual? Emangnya dijual?] Bang Rafi mulai memancing informasi.[Halah, jangan pura-pura tak tahu! Kamu sendiri memihak ke Mba Zara dan Mama kan?! Awas, kena karma menikmati yang bukan haknya!] balas Mba Tia.Mba Zara telah mengeluarkan Mba Tia.Mba Zara telah mengeluarkan Mas Dika.Mba Zara telah mengeluarkan Anda.Apa?! Seketika aku senyum kecut mendapati obrolan yang ada digrup tiba-tiba terhenti karena aku ikut dikeluarkan dari grup. Bang Rafi menatapku dengan mata membulat.“Di grup tinggal Abang dan Mba Zara, Dek.” Kata Bang Rafi tiba-tiba seolah tahu apa yang ada dibenakku.“Haha, lucu ya Bang saudara abang yang satu itu,” jawabku sambal nyengir kuda karena merasa Mba Zara sungguh tak jelas.“Dek, liat ini! Coba kamu baca!” Bang Rafi memberikan gawainya pada ku, lalu kubaca perlahan.[Jangan dengarkan Tia, Raf! Kamu tau sendirikan dia kayak apa? Rumah itu murni pemberian Mama buat Mba, jadi memang Tia dan kamu gak ada hak untuk memiliki.][Itukan rumah waris Mba? Bukannya harusnya dibagi sesuai cara pembagian waris?][Ya, Mba paham. Tapi Mama memberikannya pada Mba, jadi itu sudah menjadi milik Mba! Gini deh, kamu urus Mama ya. Jangan sampai diurus oleh Tia!][Kenapa? Setiap anak mama berhak bahkan wajib merawat ibu kandungnya sendiri! Lagian, dalam rangka apa Mama memberikan rumah itu hanya untuk Mba Zara?][Mama pernah minjam uang Mba dulu, dan sekarang Mba butuh uang itu. Jadi Mama membayarkan hutangnya dengan memberikan rumah itu kepada Mba,]Apa? Hutang? Mama meminjam uang pada Mba Zara buat apa?Bersambung …🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒Besok sambung lagi ya kak. Jangan lupa tinggalkan like komen dan subscribe supaya author makin semangat 🙏🏻🤩Pagi hari saat sebelum Bang Rafi berangkat kerja, ia sempat mengajak Mamanya untuk berbicara mengenai rumah yang dikatakan oleh Mba Tia. Bang Rafi sudah sangat hati-hati menanyakan hal ini, khawatir Mama masih belum siap bahkan melakukan tindakan aneh-aneh lagi seperti kemarin.“Ma … Rafi ingin sekali berbakti pada Mama. Rafi mohon, jika Mama memang lagi ada masalah, beritahu Rafi. Rafi akan berusaha bantu Mama,”Mama hanya mengehela napasnya perlahan. Terlihat sekali dadanya seperti ada himpitan yang membuatnya tak mampu bicara. Aku kasihan sebenarnya dengan Mama mertua, tapi apa daya diriku yang memang jarang sekali dianggap. Aku jadi mengingat, pernah dulu ketika Putra baru lahir, Mama mertua sama sekali tidak mengunjungiku. Karena yang kudengar dari Bang Rafi, Mama mertua saat itu sibuk mengurus Kiya, anak Mba Zara yang dirawat di rumah sakit. Awalnya aku berfikir biasa saja, tapi Lamat kau mulai menyadarinya. Mama sama
Aku harus tahan dengan tuduhan Mba Tia. Karena aku tahu sekali tabiatnya seperti apa, tak beda jauh dengan Mba Zara. “Apa-apaan Mba! Hentikan! Rafi tau kalian tidak ada yang menganggap Fiza layaknya seorang adik ipar! Jadi cukup sudah Mba membuat Rafi marah dengan kata-kata Mba Tia barusan ke Fiza!” ujar Bang Rafi sambil menarik tangan kakaknya itu, karena memang sangat keras sekali tadi ia menarik tanganku hingga tersungkur ke lantai.“Mba heran sama kamu ya, Raf? Istri kamu itu mengusir Mama! Paham?!” sahut Mba Tia tak kalah amarahnya.“Memang percuma saja bicara pada kalian, sama saja! Selalu berat sebelah dan tak mau menerima kebenaran yang ada! Ayo Dek, kita pulang saja! Percuma kita disini kalau tak dianggap!” Dengan secepat kilat, Bang Rafi merangkulku melangkah pulang meninggalkan Mama mertua yang masih terlihat syok dan lemas.Entah apa yang membuat suamiku itu sampai tak sempat pamit pada Mama nya, tan
"Ya, rumah ini milik Fiza ..." tegas Sisil lagi."Kalian semua bohong! Fiza ini tak punya uang! Dia lebih suka mengambil uang adikku, Rafi! Dasar tukang menyusahkan!" Mba Tia mulai tak percaya tapi berusaha mencari argumen sendiri."Benarkan, sayang? Sifatnya begitu memang ... mau seenaknya sendiri sama orang lain!" Mas David tiba-tiba bersuara lagi pada Diandra.Diandra hanya geleng-geleng kepala, miris melihat mantan istri Mas David itu seperti orang kepanasan mendengar sebuah kebenaran yang ia tak mau terima."Mba, sudahlah ... sebaiknya Mba pulang aja ... ini memang rumah Fiza, bukan rumah Rafi!""Kamu itu ya! Bukannya belain Mba, malah ikut-ikutan mereka! Mba sebel sama kamu!Dan kau Fiza, jangan harap bisa terus-terusan menguras dompet adikku!" Amarah Mba Zara makin menjadi, entah karena merasa dipermalukan atau karena memang tak percaya? Mba Zara segera angkat kaki dari rumah in
"Mba ngapain disitu?!" ketus Bang Rafi.Mba Tia ngapain pakai acara ngintip segala kesini? Apa dia mau memastikan kalau Mamanya sudah benar-benar berada dirumahku? "Mmm ... gak kok! Kebetulan lewat malah nyusruk nih motor!" kilah Mba Tia yang suaranya terdengar sedikit bergetar karena ketahuan mengintip.Aku ikut memeriksa kedepan, ternyata Mba Tia dan motornya jatuh ke aspal. Sepertinya ia lupa menurunkan standar motor, karena terburu-buru mengintip. Dasar kelakuan!"Alah, pinter memang Mba Tia kalo berkilah! Mau ada urusan apa?!" masih dengan nada tak suka, Bang Rafi menanyakan maksud kedatangan nya kesini."Beneran kok, orang kebetulan lewat malah jatuh!" tetap kekeh dengan alasannya yang tak masuk akal."Tutup aja Pak gerbangnya, biar aman!" Dengan cepat Pak Didin menutup pintu gerbang yang disuruh Bang Rafi. Mba Tia terlihat sedikit gelagapan karena
Mama terus sembunyi dibelakang tubuhku, sesekali memeluk lagi dengan erat manakala Mba Zara mencoba meraih tangannya. Aku terkejut, karena sebelumnya Mama hanya gemetar dan sesenggukan saja seperti semalam. Tapi kali ini malah terlihat lebih memperhatinkan. Ada apa dengan Mama? Sepertinya Mba Zara punya niatan tertentu pada ibu kandungnya sendiri.“Mba, sudah Mba! Biar Mama tenang dulu, jangan dipaksa,” ujarku mengingatkan Mba Zara agar berhenti melakukan hal aneh ini.“Mama! Sudah jangan bantah, ayo pulang!” “Gak Mau! Fiza Rafi! Tolongin Mama, Mama gak mau ikut dia lagi!” jerit Mama.“Mba, Fiza minta sudahi Mba! Mama belum mau!” aku sedikit kesal dengan ulah Mba Zara, belum lagi erat sekali rangkulan Mama padaku.Pak Didin langsung membantu melepaskan Mama dari badanku, lalu menyuruh Mama agar berada di belakang tubuh Pak Didin saja. Dengan sigap, Pak Didin menghalang Mba Zara yang ingin meraih M
Hatiku berkata kalaupun benar perkataan Mba Zara dan Mba Tia barusan, rasanya bukan menjadi wilayah kami untuk turut campur.Aku berharap, semoga Bang Rafi lebih waspada dan berhati-hati menyikapi masalah kedua kakaknya itu."Raf, biarkan Mba masuk dulu ..." ujar Mba Zara lagi."Mba Zara dan Mba Tia silahkan pulang dulu. Nanti Rafi yang akan tanya dan cari tau informasi tentang Kiya dan Mas Dika," "Ta–tapi Raf! Kamu harus segera cari keberadaan Mas Dika!" sela Mba Tia yang terlihat ingin cepat selesai urusannya."Mba kan punya nomor kontak Mas Dika? Hubungi aja dulu! Ayo Dek, masuk!" suamiku itu segera mengajakku masuk kedalam, tanpa menoleh lagi ke pintu gerbang."Rafi! Jangan gitu dong sama sodara!" teriak Mba Zara."Ck! Gitu tuh, kalo sudah kemakan omongan Fiza! Jadi gak mau bantu sodara kandungnya sendiri!" Mba Tia ikut protes.*** "Kalo soal Kiya, adek
Bang Rafi meminta penjelasan kepada Mas Dika soal kakaknya itu. "Ya udah Raf, sejam lagi jam istirahat. Mas Juga siang ini udah kelar shif nya. Kita ngobrol di kedai kopi lantai atas ya? Sekalian nanti Dika ambilkan ukuran dress ini. Rafi sama Fiza belanja aja dulu ..." seraya tersenyum, Mas Dika gegas mencari ukuran yang tadi kucari.Bang Rafi menganggukkan kepalanya, tanda setuju. Lalu mengajakku mencari baju untuk Mama mertua, karena baju untuk Putra sudah Bang Rafi dapatkan.Berpindah ke area pakaian dewasa wanita, aku langsung memilih baju untuk Mama mertua. Alhamdulillah ada dua stel pakaian yang menurutku cocok untuk Mamanya Bang Rafi.Tak lama, Mas Dika menemui kami dekat area kasir. Lalu menyerahkan dress cantik yang kupesan untuk Dinda.Lengkap sudah semuanya, aku bergegas membayar barang belanjaan. Bang Rafi masih tampak ngobrol sebentar dengan Mas Dika, dan beberapa saat sebelum giliran
"Mba! Apa-apaan sih?! Malu-maluin!" hardik Bang Rafi dengan suara kesal dan dongkol serta matanya melototi Mba Tia."Ra–Rafi! Kok kamu disini?" suara gemetar itu jelas aku kenal.Ku intip dari balik gerobak bagian tengah, dan memastikan suara manja bin aneh barusan adalah suara Mba Tia.Dan dugaanku benar!Mas Dika tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap tajam manik hitam milik wanita yang masih berstatus sebagai istri sah nya."Mas Dika, kamu disini Mas?! Ngapain?"Mata Mba Tia naik turun kearah Mas Dika, lalu sekilas melirik ke gerobak nasi goreng.Mata nya menangkap kepala ku yang masih nyembul dibalik gerobak. Bibir dan kepalanya berbarengan mengangguk seolah mendapat sebuah kesimpulan."Ohh, aku tau sekarang! Kalian sekongkol ya selama ini! pantas saja tak ada yang bersuara tentang keberadaanmu Mas!" Mba Tia mulai kembali aneh dengan ocehannya.