Mata kuliah selanjutnya akan segera dimulai. Raina masih belum tahu bagaimana caranya keluar dari ruangan Irham Nusahakam. Dia menghela napas beberapa kali. "Pak, saya permisi dulu!" ucapnya buru-buru berdiri dan melangkah. "Kenapa buru-buru? Tadi aja masuknya tidak pakai permisi, langsung ngegass, langsung marah-marah!" Irham mendahului Raina dan berdiri di depan pintu. "Ya, Bapak, 'kan, yang mulai duluan? PHP-in saya!" "Saya nggak pernah kasih harapan palsu! Malah kamu yang nggak mau banget sama saya!" "Maksud saya PHP kasih buku sketsa saya, Pak!" Raina memutar mata. "Oh?" "Yaudah, Pak! Saya keluar! Dosen udah masuk kelas pasti, nih!" "Saya tidak terlalu peduli. Barang siapa yang berani masuk ruangan saya dan marah-marah, maka tidak akan mudah baginya untuk keluar dari sini! Sama halnya seperti wanita mana yang sudah telanjur masuk ke hati saya, maka sulit bagi saya untuk mengeluarkannya dengan cara apa pun!" "Ya ampun, Pak. Kenapa, sih, Bapak malah curhat sama saya?" Yang
"Maaf, ada perlu apa?" Raina tidak menyangka akan bersikap dingin begini pada wanita di hadapannya. Dia bahkan mengabaikan tatapan polos seorang anak perempuan berumur lima tahun. "Aku ... kembali." Ucapan itu sungguh memancing emosi Raina yang sudah bertahun-tahun tertampung sempurna. "Kembali? Mau ngapain? Udah bosen di luar negeri?" sindir Raina. "Bisa masuk dulu, nggak?" tanya wanita berambut panjang itu sambil tersenyum. Anak kecil di sampingnya hanya berani menatap Raina. "Aku larang pun Kak Mayra tetap akan masuk, 'kan?" Raina menyedekapkan tangan dan berlalu dari hadapan kakaknya. "Ini rumah Mama, bukan rumah kamu." Kalimat itu berhasil membuat Raina menaiki tangga menuju kamarnya. Dia menghentakkan kaki seperti biasa. "Dia pikir dia siapa? Masih mengakui gue sebagai adiknya? Setelah bertahun-tahun pergi. Emangnya bertahan hidup sendiri itu gampang? Sumpah! Jahat banget punya kakak kayak dia!" keluh Raina dengan suara pelan, tapi penuh penekanan. Raina merebahkan bada
"Jadi, kamu terima ajakan menikah saya?" Apa dia bilang? Benar-benar, deh, dosen terngebet nikah sejagad kampus. Raina membalikkan badan dengan hati menggerutu. Dia menatap tajam mata Irham. Sejenak kemudian, wanita itu sudah membuang wajah. Meskipun tidak menyukai Irham dan gaya narsisnya, tentu saja dia tetap tidak sanggup menatap mata Irham. "Kenapa kamu?" Irham tampak bingung. "Bapak mau ajak saya nikah atau kondangan, sih? Ngajak nikah, kok kayak ngajak kondangan!" ucap Raina ketus. Dia kembali berusaha menatap lawan bicaranya. Irham terperangah dengan jawaban Raina yang terdengar ceplas-ceplos. Pria itu tertawa masih dalam posisi duduk dan membereskan lembar jawaban test. "Ah, terima kasih idenya, Raina. Kalau kamu ingin, saya bisa mengajak kamu ke undangan pernikahan rekan saya Minggu ini. Bagaimana? Bersedia?" Raina menghela napas. Apa-apaan, sih, Bapak Nusakambangan ini? Gue malah diajak kondangan! "Makasih, deh, Pak! Cari pasangan lain aja!" "Wah, padahal menemani say
Misi Anes adalah membuat Raina berdebar saat melihat Irham. Namun, kenapa sulit sekali? Semakin Irham mendekat, Raina kian muak. Geli, gelay, bikin bergidik pokoknya. Apa begini, ya, kalau kelamaan jomlo? Yang mengherankan adalah bila Raina muak karena gombalan Irham. Namun, kenapa pada Adli, dia bisa bersikap santai? Aneh banget, nggak, sih? Pagi ini, Raina berjalan santai menuju lantai 4. Setelah mata kuliah terakhir, dia diajak bicara di ruang Irham. Siapa juga yang mau masuk ke sarang dosen ngebet nikah? Big no! Kenapa mata kuliah yang diampu Irham sudah bagaikan minum obat? Raina hampir tiap hari bertemu lagi dengannya. Dia bahkan sudah mulai deg-degan untuk menjalankan strategi dari Anes sejak berangkat kuliah. Apa benar Irham akan illfeel padanya jika bersikap manis, posesif, agresif? Ah, siapa tahu, 'kan? Patut dicoba. Ruangan sudah penuh mahasiswi. Ini akibat dari Raina yang kelamaan berjalan sambil berpikir. Dia melihat Anes juga kehabisan kursi paling depan. Temannya itu
'Pulang kuliah, kita harus bicara!' Raina menghela napas. Bicara apa lagi? Bukannya sudah jelas, dia tidak mau menikah dengan Irham. Titik. Tanda seru. Seharusnya, dia tidak pernah menerima tawaran Irham untuk bicara. Bicara dalam ruang dosen adalah pilihan paling tepat. Raina tidak mau bicara di taman atau kafe. Tidak mau pokoknya. Jangan sampai semut melihat mereka berdua sedang bicara. Terasa aneh bagi Raina saat memasuki ruang dosen. Dia melihat dosen-dosen lain dalam ruangan itu tersenyum. Ada apa dengan mereka? Raina memegang tali tas Selempangnya untuk mengurangi malu. Malu? Iya, malu. Kentara sekali ada apa-apa pada orang-orang itu. Belum sempat Raina membuka pintu ruangan ekslusif Irham, dia sudah terkejut. Pria itu membukanya dengan tiba-tiba. "Kamu lama banget jalannya!" gerutu Irham setengah berbisik. Ups! Kenapa kalimat itu terdengar manja di telinga Raina. Tampak seperti seorang kekasih yang sedang merajuk. Ish! Geli! Ya, Raina tentu saja geli mendengarnya. Dia ha
Raina terus memukul Anes dengan guling. Perang dimulai! Tak ada ampun untuk Anesya Paramitha. Anes mengaduh. Namun, mulutnya tertawa. Dia terpojok di atas ranjang. Sore ini, mereka baru selesai belajar bersama di rumah Raina. Minggu depan akan ada Ujian Pengendali Mutu. "Udah, dong, udah! Nyonya Nusakambangan dendam banget orangnya!" Raina mengayunkan gulingnya semakin tinggi. "A-ampun!" Anes mengangkat kedua tangan. "Semua tentang gue lo sampaikan ke Si Bapak Nusakambangan itu?" tanyanya gregetan. "Nggak, nggak! Nggak semua. Yang ditanya aja!" "Dia tanya semua hal?" tanya Raina dengan mata berkilat. Gulingnya sudah diempaskan. "Hmmm, i-iya, kadang." Anes takut diamuk lagi oleh sahabatnya. "Jangan, dong, Nes! Lo ada di pihak gue, dong! Berhenti aja lo jadi temen gue kalo masih ember sama dia!" Raina sedang rebahan. Dia menyedekapkan tangan. Anes ikut merebahkan diri di sebelah Raina. "Iya, iya, nggak lagi! Padahal lo harusnya terima kasih sama gue! Kan jadi punya ide tambahan
"Kamu ngapain? Masa kecil kurang ngeliat cowok ganteng jadinya liatin pasir?" tanya Irham sambil tersenyum. Irham hampir saja menanyakan masa kecil kurang bahagia seperti yang suka diguyonkan kebanyakan orang. Hampir saja! Bagaimana kalau Raina menjawab iya? Wanita di hadapannya memang tampak ceria, tapi pasti jauh di dalam hatinya penuh kerapuhan. Irham tidak menyesal sudah menyampaikan kalimat aneh seperti itu. Tentu masih lebih baik daripada dia bertanya apakah masa kecil kurang bahagia. Pria itu mengembuskan napas pelan. ""Besok siang, kamu mau menemani saya, 'kan?" Pertanyaan ini kenapa terdengar norak di telinga Irham sendiri. "Nggak mau, Pak!" "Padahal saya sudah belikan baju bagus!" Irham menyandarkan tubuh jangkungnya pada mobil. "Bapak kasih ke Anes aja." Raina memutar mata. Siapa juga yang suruh beli baju? "Mana muat dia pakai baju ini!" Irham menikmati segala cara penolakan dari wanita di hadapannya. "Jadi, nilai tugas pra ujian kemarin pakai nilai asli saja?" Rain
Raina menatap Anes bingung. "Lo ngajak Adli?"Mereka memang bersahabat dengan Adli. Namun, tidak di tahap Anes bisa mengajak pria itu ke undangan. Demi apa pun, Anes tidak pernah melakukannya selama hampir tiga tahun berteman dengan Adli."Jangan melotot gitu, dong! Nggak seperti yang lo pikirin," gumam Anes.Mereka mengakhiri pembicaraan tentang Adli Winata karena pria itu membuka pintu dan duduk manis di jok belakang. Mobil pun kembali melaju menuju tempat acara."Rai, lo suka mawar putih, 'kan?" Adli menyodorkan satu buket mawar ke tangan Raina.Wanita itu belum selesai memikirkan apa hubungan Anes dan pria yang dicap sebagai pacar bohongan. Sekarang, dia harus bahagia atau takut menerima bunga dari Adli? Kalau Anes menyukai Adli, tentu dia tidak pantas melakukannya."Astaga, jadi lo ke toko bunga buat beli bunga itu?" Anes menoleh ke belakang, menatap Adli geli."Terus gue harus beli apaan?" tanya Adli kesal. "Rai, terima, dong! Apa-apaan lo nolak buket bunga dari cowok paling gan