Hari berlalu begitu cepat, dan sikap istriku Ardila semakin parah. Ia semakin seenaknya, bayangkan saja seluruh aktifitas melelahkan kini aku yang kerjakan. Ia hanya cukup bangun tidur sarapan, membuat kopi sendiri karena katanya kopi buatanku tidak enak, dan menaruh bekas makannya begitu saja. Siang hari menonton televisi sambil menghisap nikotinnya dalam, terkadang ditemani cemilan hasil dagangan penjual lewat depan rumah. Mungkin dengan begitu ia bahagia, dan aku berusaha merasakan kebahagiaan yang sama.
Aku berharap ia paham, bahwa aku sedang berusaha membahagiakannya. Aku sedang berjuang untuk memenuhi seluruh kebutuhan, meski usahaku terkadang ia patahkan, termasuk kontrak kerjak yang terpaksa kubatalkan demi menghindari perceraian.
Dan satu lagi, seharusnya ia tak pernah lupa, bahwa aku bukanlah orang kaya. Aku hanya anak yatim piatu miskin, dengan kecerdasan cukup baik, yang kedua orang tuanya meninggal dunia tak lama sebelum kami menikah.
TOK TOK TOK
"Pakeeett ..."Rumah mungil ini mampu mendengar suara apapun yang ada di luar sana, maklum saja ukurannya hanya 10 X 5 meter persegi. huft, ia cuek, masih saja asik menonton televisi. Meski agak kesal, namun aku bersyukur karena hari ini ia tak keluar rumah.
Kuletakan ember berisi pakaian yang telah aku cuci, kulangkahkan kaki menuju pintu mencoba memastikan bahwa teriakan itu salah alamat.
"Siang mas, atas nama Rizaldi Takki?"
"Iya, saya sendiri."
"Total 3.750.000, uang pas ya mas," ucap kurir itu sambil menyerahkan bon beserta sebuah kardus besar tepat di sampingnya.
"Mau diletakan dimana, mas?"
Kini kertas tertera angka-angka ada dalam genggamanku, entah apa yang harus kulakukan padanya dan entah dengan apa aku harus membayarnya.
"Mas, saya tidak jadi membeli. Bisa dikembalikan lagi? Untuk ongkosnya saya yang akan tanggung."
"RIZAL! apa-apan sih, kamu! Itukan sudah aku beli, kamu tinggal bayar."
"Kita tidak ada uang, mau bayar pake apa?"
"Aku kan sudah bilang, aku CODan. Seharusnya kamu persiapkan uangnya, dong. Kecuali aku belum bilang!"
"Iya kamu bilang, tapi barangnya tak perlu semahal ini. Aku belum ada uang."
"Aku ga mau tau, aku mau beli kulkas itu. Kulkas apaan butut gitu! gak berguna dan sudah tua!" Menunjuk kulkas satu pintu di sisi dapur. "Harusnya kamu tuh bersyukur, aku mau diajak susah. Tapi kesabaran orang ada batasnya, aku gak maulah terus-terusan susah!"
"Dan kamu juga harusnya bahagia karna aku gak minta macam-macam, kulkaskan untuk kebutuhan kita juga, dan aku hanya order yang dua pintu. Kalau aku jahat, pasti sudah kuorder yang empat atau yang enam pintu!"
Lagi-lagi, ocehannya mampu membuatku diam, ocehan benar dan lumayan menyakitkan.
"Aku pingin minum air dingin, nanti gak mesti lagi kamu membuat es batu, karena kulkas itu sudah canggih dan kamu gak perlu lagi tiap bulan bersihkan."
"Yaaa, beli kulkasnya yaaa ..." Perkataan manja dan wajah sedihnya mampu membuatku terbuai dan terharu. Lagi-lagi aku luluh.
"Kamukan bisa pinjam uang lagi sama Andika. Kalau kamu pinjam, pasti dia kasih. Yaaa ... beli yaaa ... aku mau kulkas ini, ini bagus dan designnya juga moderen." Sambil menyentuh kardus besar di samping si kurir.
"Beliii ... beliin, Zal."
"Huft. Baiklah."
Jemari dan telepon genggamku langsung kompak beraksi. Tak menunggu lama, M-bankingku pun memberikan kabar, uang yang kupinjam telah sampai.
"Huft. Dilebihin lagi. Biasa banget neh anak! Dik, semoga gue bisa bales semua kebaikan loe."
Tepat dua bulan kulkas dua pintu itu menjadi saksi rumah tangga kami, kini kontrakan minimalis ini memiliki satu barang mewah. Sebuah kulkas dua pintu yang cukup mengurangi ruang gerak penghuninya, namun sayang interaksi penghuni di dalamnya semakin jarang dan berkurang karena kini tepat satu bulan, istriku mulai bekerja.
Berniat membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara bekerja, mengasah kembali kecerdasan otaknya dan mengisi kekosongan waktu, itulah alasan Ardila hingga aku mengizinkannya bekerja. Namun sepertinya itu adalah keputusan yang salah, kegiatan di luar rumah banyak menyita waktu dan pekerjaannya itu semakin merubah sikap Ardila menjadi lebih parah.
Tak ada lagi kata-kata mesra yang kadang ia ucapkan di tempat umum, tak ada lagi sikap manja yang ia tunjukan, dan tak ada lagi sentuhan-sentuhan hangat yang ia berikan ketika kami di depan banyak orang. kini ia benar-benar telah berubah, sikapnya dingin, acuh dan masa bodo.
Mungkin baginya, pernikahan kami tak ada artinya lagi, hanya tinggal status, karena kini ia mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Dan seolah ia telah menemukan pelabuan baru, untuk mengisi seluruh kekuranganku. Rasa curigaku ini selalu berusaha kutepis, karena aku yakin Ardila masih sangat mencintaiku.
lamunan panjangku terganggu, tampak Ardila menjatuhkan tubuh berbaring membelakangiku dengan pakaian seksinya. Entah tak sengaja atau itu niatnya, hingga membuatku ingin sekali memeluk tubuhnya dan mengecup permukaan leher jenjangnya. Namun tiga detik kemudian pakaian tipisnya menampakan sesuatu, penglihatanku terganggu, ada tanda kemerahan di sana, berfikir itu tanda kepemilikian, namun dengan cepat kualihkan. Tak ingin berprasangka jahat padanya dan tak ingin mengotori pemikirian tanpa sebuah bukti, hasil penglihatanku sendiri.
Aku yakin, ia masih sangat mencintaiku. Ia hanya kurang sabar dengan proses yang saat ini sedang kami jalani. Setelah pekerjaanku lancar, aku yakin ia akan kembali seperti Ardila istriku yang dulu. Istriku yang cantik, baik dan penyayang di tambah predikat baru sebagai wanita karir, cantik, dan cerdas.
Dari pada berfikir yang tidak-tidak, lebih baik aku kerja. Pikirku. Kuaktifkan aplikasi tranportasi onlineku, TRING!
Entah siapa dia, sepagi ini ordranku masuk. 'Ok, kerja-kerja-kerja. Demi Ardila.' Berusaha menyemangati diri sendiri."Bang rumah sakit Hermina, ya."
"Siap! pake helm dulu, ka."
"Oh iya, lupa. Makasih, bang."
Motor maticku melaju membelah ibu kota yang masih sepi, hanya ada beberapa kendaraan berlalu-lalang, karna saat ini masih jam dua pagi.
"Bang bisa lebih cepat? Kakak saya lahiran, dia sendirian."
"Oh, iya ka. Semoga lahirannya lancar, ya kak. Em ... emang suaminya kemana, ka?" Sumpah demi apapun, baru kali ini aku lancang.
"Di luar kota."
'Laki-laki bodoh! Jangan sampai kau menyesal sepertiku dulu!'
Uang yang kugenggam begitu banyak lebihnya, "kembaliannya, ka!" ucapku di balik helm full face yang kupakai.
"Ga usah, buat abang aja. Terima kasih, ya bang." Ia lepas helmku yang berlogo hijau dan berlalu pergi, di akhiri dengan senyuman indah.
"Pagi-pagi dapet rejeki."
Kini, waktu menunjukan pukul dua belas malam dan istriku belum juga datang. Aku menunggunya sejak sore tadi, aku buru-buru pulang karena aku berniat memberikan kabar gembira perihal kontrak kerja yang akan aku dapatkan.
Sebuah kontrak kerja, dalam bidang pelatihan tenaga kerja IT di sebuah instansi pemerintah. Dengan kemampuanku dan kelihaianku dalam bidang komunikasi dan jaringan, para penghasil uang di dunia teknilogi tak segan-segan memberdayakan kami yang tak bertitel ini.
Kesuksesan aku dan istriku, didepan mata. Hal-hal penunjang kebahagiaan Ardila, akan aku penuhi seluruhnya dan rumah tangga kami akan harmonis setelah ini. Gambaran itu terpancar dalam benakku.
Hingga kini pukul dua pagi, ia belum juga kembali. Rasa kantukku mulai menghantui, akhirnya kuputuskan untuk membiarkan diri tertidur sejenak di sofa yang sudah jelek.
Suara pintu terbuka mengganggu tidur nyenyaku, kuarahkan pandangan pada jam dinding di atas televisi. Saat ini pukul empat pagi, dan istriku baru pulang dengan penampilan di luar logikaku.
Rambut indah yang biasa tertata rapih, kini berantakan. Pakaian sederhana yang biasa ia kenakan, kini berganti menjadi pakaian yang menjijikan. Lipstik merah merona, terlihat menggoda. Dan_
'Tidak, tidak mungkin. Ini tidak mungkin.'
Aku mengusap kedua mataku, berharap apa yang kulihat hanya pantulan cahaya atau hanya kotoran mata. Namun percuma, langkahnya yang semakain mendekat membuat tanda merah itu semakin terlihas dan nyata.
Aku berusaha mengendalikan diri dan berniat berbicara baik-baik demi masa depan rumah tangga kami. Aku bangkit kemudian berjalan kearahnya, "itu apa?" Tunjuk jemariku.
Menundukan wajah, "oh, ini?" mengusap bagian merah tepat di atas belahan dada. "Ulah si Anggi," jawabnya santai sambil berjalan menuju kamar.
Aku mempercayainya, aku berusaha percaya walau ia berbohong. Aku yakin ia punya alasan, ia kesepian karena aku selalu pulang larut malam. Dan ia kesal karena aku belum bisa memenuhi seluruh kebutuhannya, hingga ia harus ikut mencari nafkah.
Melihat penampilan Ardila seperti itu, membuat adrenalin kejantananku lagi-lagi meningkat berkali-kali lipat. Dengan rasa rindu mendalam dan hasrat menggebu, aku berjalan cepat dan langsung memeluknya dari belakang, erat. Kucumbu tengkuk lehernya, kuhirup tiap jengkal aroma tubuhnya, sejenak ia menikmati tiap sentuhan yang kuberi namun selang beberapa menit ketika hasratku semakin menggebu, ia melepas pelukanku dan kembali berjalan melanjutkan langkah. "Aku lelah, aku mau tidur. Tadi banyak kerjaan di kantor." Begitu ringan ucapannya dan aku terdiam membatu, sambil memperhatikan tubuh seksi itu beraktifitas. Tepat di sisi meja rias, tanpa rasa malu dan bersalah ia mulai melepas satu persatu pakaian di tubuhnya. Terlihat jelas di sana belasan tanda merah menempel indah dan aku hanya gelengkan kepala penuh kesedihan, 'tak mungkin Anggi, tak mungkin wanita yang melakukan itu semua.' Amarah dan cemburu tumbuh begit
Panggilku begitu keras dan nyaris membuat orang sekitar ketakutan, namun orang yang kupanggil, sama sekali tak mendengar. Aku tak mungkin salah, aku sangat tau dan sangat mengenali istriku, bahkan pakaian yang ia kenakan sama persis dengan apa yang ia pakai tadi pagi.Berniat mengejar, namun logikaku menolak. Meski lalu lintas padat merayap, kemungkinan kecil bisa mengejarnya dengan keadaan ban motorku yang bermasalah.Hatiku tak tenang, otakku panas, tanganku terkepal sempurna berharap pria berengsek itu ada di hadapanku. Jika itu sampai terjadi, sudah pasti ia akan babak belur bahkan mungkin kehilangan nyawa hasil sadis kedua tanganku.Kakiku masih mundar-mandir di area bengkel kecil, berusaha tenang namun fisik dan pikiran tak bisa kusingkronkan.Motor maticku selesai ditangani, setelah memberikan upah pada tukang tambal ban, aku langsung tancap gas menuju rumah. Fokusku hanya satu, mengetahui siapa seb
"Ya, aku menyerah. Aku sudah lelah dengan kebodohanku. Aku cape, dan sepertinya aku tidak mampu memberikan kebahagiaan yang kau inginkan." "Carilah yang sempurna, jika ingin kehilangan yang terbaik." "Tanda tanganilah, aku sudah lebih dulu menandatanganinya," ucapku sambil memberikan selembar kertas hasil unduhku di web pengadilan negeri. "Kamu menceraikanku?" "Hm," jawabku sesimpel itu. tetapi, entah apa yang terjadi setelah ini. Yang aku tahu dan yang selalu terbayang, hari-hari yang kulalui akan selalu bersamanya, entah seperti apa jadinya nanti, yang pasti setelah ini aku harus nikmati proses sakit ini. Karena bagiku luka paling sakit adalah, ketika kamu dilukai oleh seseorang yang kamu kira tidak akan pernah melukaimu. "Kau tidak menyesal menceraikanku?" Kujawab hanya gelengan kepala dan sepertinya ia tau, aku masih sangat mencintainny
'Kita berjumpa lagi.' "Oh, iya. Sorry. Keuntungan apa saja yang saya dapatkan, bila memiliki apartemen di sini?" "Baik tuan, sebelumnya perkenalkan nama saya Rayana Livina, anda bisa memanggil saya Raya." "R-a-y-a" "Disamping berlokasi di kawasan segitiga emas yang menjanjikan, strategis, dan termasuk lokasi yang banyak dicari orang. Apartemen kami pun menjadi hunian yang sangat menguntungkan, baik dijadikan investasi ataupun hunian pribadi." "Dengan pengaplikasian sistem face recognition tiga dimensi, anda akan memiliki hunian yang sangat privasi, nyaman dan aman. Begitupun dengan sistem sterilisasi canggih yang kami miliki, anda dapat melindungi anak dan istri anda dari polusi udara ibu kota yang kini semakin buruk." "Sorry, saya duda." "Oh maaf, tuan." "Tak masalah, lanjutkan." Raya p
-------- SOHO"Bekerjalah dengan baik, pelajari apa dan bagian mana yang harus kamu kerjakan lebih dulu. Jika sudah kamu selesaikan semua, kamu bisa langsung pulang tak perlu menunggu saya datang." Sebuah memo tertempet di sebuah papah tulis kecil, hasil tulisan tangan sang pemilik hunian."Tulisannya bagus!" ucap Raya sambil menggengam sebuah kertas memo."Anda hanya sarapan teh, ck-ck-ck sudah mapan mengapa tidak sarapan?" Sambil meletakan cangkir teh ke dalam wastafel cuci piring.Raya berkeliling mengikuti saran sang tuan, ia mulai mengamati tiap inci bangunan. Hunian bersebelahan dengan ruang kerja simpel penuh layar komputer, furniture-furniture minimalis elegan berpadukan warna hitam, putih dan abu-abu membuat hunian terlihat manly dan maskulin.Tak banyak aksesoris, hanya ada tiga lukisan di ruang berbeda, beberapa guci di atas meja dan tanaman di pot-pot kecil memberi kesan a
CEKLEK Raya membuka pintu kediaman tempatnya bekerja, tampak sisa-sisa makanan, minuman kaleng dan lembaran kertas berserakan di lantai dan permukaan meja. 'Mengapa berantakan seperti ini, tumben sekali' "Tuan, apa anda di rumah?" Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara shower menyala dari arah kamar si tuan. "Sepertinya dia belum berangkat kerja, duh kok aku deg-degan begini ya. Terbiasa sendiri, justru ada yang punya rumah jadi gerogi." Raya berusaha menenangkan diri, melakukan apapun yang bisa ia kerjakan tanpa berinteraksi dengan sang tuan. Cukup lama sang tuan tak keluar dari kamarnya, hingga Raya selesai merapihkan tiap ruangan dan memasak beberapa hidangan, sang tuan belum juga menampakan diri. Hanya tersisa kamar tuannya yang belum dibersihkan. Sambil menunggu, Raya berinisiatif untuk membuat anek cemilan. Hingga anek cemilan beres disajikan dan waktu sudah menunjukan angkah sebelas siang, si tuan tak juga keluar d
"Itu gak akan mungkin, Pah. Aku anggap Rosa seperti adikku sendiri. Aku sudah nyaman dengan hubungan kami seperti ini," terang Rizal beralasan. "Terus siapa yang bisa membantumu melupakannya?" "Aku butuh proses. Aku yakin suatu saat aku bisa melupakannya, jadi papa tenang saja. Lebih baik, papah fokus penyembuhan dan carikan Rosa calon suami yang baik, jangan aku." "Kalau menurut papah kamu yang terbaik, bagaimana?" "Itu tidak mungkin, di luar sana masih banyak pria yang benar-benar baik dan dari keluarga baik-baik. Aku tidak cukup baik untuk Rosa dan sepertinya aku butuh waktu lama untuk melupakan Ardila." "Papah nih ya, selalu memaksakan kehendak. Rosa tuh gak cukup baik untuk Rizal, jadi papah jangan memaksa. Lagian Rizal masih sangat menikmati status dudanya, dikejar banyak wanita, dipuja dan bahkan digoda mereka. Pasti enak begitu, 'kan Zal?" "Bukan itu maksudku, intinya aku tidak cukup baik untukmu. Aku harap kamu paham, aku belu
'Kasihan.' Gumam Rizal dalam hati, memperhatikan interaksi Raya pada ponakannya. "Mulai besok, bisakah siapkan aku sarapan dan makan siang? Em ... makan malam juga." Tak ingin menaikan gaji Raya cuma-cuma. "Bisa, tuan." "Akan kutaikan gajimu, tak perlu lagi bekerja di kafe." "Eem ... maaf tuan, di ujung gang itu, tuan bisa menepi." Tunjuk Raya dengan jarinya, sopan. "Oh, sudah sampai."Rizal turun dari kendaraan, tersadar kini berada di lingkungan kelamnya empat tahun silam dan berniat kembali pulang, namun hatinya tergerak ketika melihat Raya tampak kesulitan menuruni mobilnya."Tuan, kok ikut turun?" "Biar aku yang menggendongnya," balas Rizal dan langsung merebut Fayed dari tangan Raya. "Tapi tu_ "Aku harus tau rumahmu, jika suatu saat kamu kabur dan membawa barang berharga yang ada di rumah, aku bisa langsung mendatangimu. Tunjukan dimana rumahmu!" terang Rizal mengajak melangkah.