Share

BAB 2 Terpaksa ke IGD

"Kalau tidak percaya, saya--"

"Maaf," ucap tim medis itu segera.

Amanda lantas merasa lega. Terlebih, kala melihat mereka menangani Ronald dengan cepat setibanya di rumah sakit.

Hanya saja, kuatnya aroma obat-obatan dan suara lalu lalang petugas medis membuat Amanda tak nyaman.

Sejak tadi, dia hanya bisa merapatkan punggungnya ke dinding IGD yang terasa dingin.

Setelah insiden di lift ini, Amanda bersumpah tidak akan mau disuruh lembur apalagi menjelang akhir pekan.

Amanda hendak meraih ponselnya untuk menghubungi ibunya. Namun tiba-tiba saja, bos yang sedang ditungguinya itu bergerak.

Gadis semampai itu pun berjalan mendekat ke tempat tidur bosnya.

"Aku... aku di mana?"

Ronald yang baru bangun, tampak sekali tengah bingung dengan apa yang sedang terjadi.

"Kita di ICU, Pak" bisik Amanda.

Dia menarik nafas dalam-dalam, sebelum kembali berkata, "Dan saya... harus mengikuti Pak Ronald sampai sini karena tidak diperbolehkan pulang."

"Mana asistenku?" tanya Ronald sambil melihat ke sekeliling. "Kenapa tidak membawaku ke rumah sakit keluarga Anderson saja? Kamu tahu apa akibatnya kalau banyak yang melihat aku jatuh sakit di sini?"

Deg!

Bukannya berterima kasih, bosnya itu malah bertingkah arogan!

Apa sebaiknya Amanda biarkan saja dia terkapar di lift saja ya tadi?

Gadis cantik itu terdiam dan menahan segala emosi yang akan dia curahkan saat itu juga.

"Pak Ronald, mohon maaf. Handphone Anda terkunci dan saya tidak tahu kontak asisten Anda. Tapi, saya harap orang kepercayaan keluarga Anda akan datang setelah Anda hubungi.”

“Sekarang, saya pamit undur diri," tambah Amanda.

Dalam hati, dia berjanji tak mau lebih lama lagi berurusan dengan orang yang tidak tahu diuntung ini.

Sayangnya, Ronald mencegah gadis itu pergi. "Hey, mau ke mana kamu?"

Amanda mengerutkan kening. "Pak, tugas saya sudah selesai. Jadi, saya harus pulang."

Tangan Ronald menggenggam lengan Amanda yang hendak kabur. "Memangnya saya sudah mengizinkan kamu untuk pergi?"

"Pak... saya sudah di luar jam kerja. Bapak tahu ini pukul berapa?"

"Mau jam berapapun kalau status kamu adalah karyawan di perusahaanku, itu artinya kamu tetap harus patuh dengan peraturan perusahaan," kilahnya.

Mendadak, Ronald membuat fatwa baru yang membuat Amanda tak percaya. Ini sudah melanggar hak perlindungan para pekerja.

Pria itu menolak memberi tahu bahwa sebenarnya dia merasa cemas karena rumah sakit ini bukan rumah sakit milik keluarganya.

Bisa-bisa nanti akan muncul berita yang tidak-tidak dan mempengaruhi stabilitas saham serta wibawanya.

"Tapi, ini sudah jam dua belas malam, Pak!"

Adu mulut itu terus terjadi.

Hingga akhirnya mereka mendapatkan teguran dari salah satu pasien yang berada tak jauh dari mereka.

"Aduuh, Mas... Mbak... kalau rumah tangga ada masalah, mbok ya jangan dibawa-bawa sampai ke rumah sakit. Kami butuh ketenangan!"

"Iya, itu suami istri dari tadi berisik terus!" timpal yang lain. "Ini ICU bukan tempat untuk pentas drama rumah tangga!"

Merasa malu karena diintimidasi oleh pasien-pasien lain, bos dan anak buah itu hanya menutup mulutnya masing-masing.

Sungguh ini bukanlah tempat yang nyaman untuk adu mulut.

"Pak..." bisik Amanda sepelan mungkin.

Ronald hanya menoleh dan memasang matanya lebar-lebar. Masih sama dengan yang sebelumnya, menahan nafas dan menahan emosi sebisa mungkin.

"Ada apa?"

"Izinkan saya pulang. Saya sudah berhasil menghubungi keluarga Anda. Jadi... please, saya harus pulang sekarang," rengeknya.

Peduli setan dengan harga diri.

Toh, dia yakin kalau dirinya tak akan bertemu Ronald lagi. Sama seperti hari-hari sebelumnya.

"Kamu jangan rewel seperti keponakan saya. Tunggu sebentar. Setelah semuanya beres, baru kita pulang!" ucap Ronald tanpa ada celah untuk negosiasi.

Amanda terdiam.

Apa sebaiknya dia menghubungi ibunya kalau akan pulang pagi?

Lalu, bagaimana dengan pandangan para tetangga kalau mendengar dia pulang selarut ini?

Bisa-bisa dia dikira sebagai wanita malam atau yang tidak-tidak. Apalagi kalau ketahuan memangku kepala CEO-nya saat di dalam lift padahal sedang ditunggu calon suami dan keluarganya!

Pucuk dicinta, ulam pun tiba.

Asisten Ronald tampak berlari menghampiri keduanya.

Wajahnya bahkan terlihat merasa bersalah, "Maaf Pak Ronald. Semua urusan sudah saya selesaikan. Kita bisa pulang. Administrasi sudah beres, untuk soal awak media yang mau meliput ke sini... semua juga sudah saya bereskan!"

"Ya sudah kalau begitu saya mau pulang secepatnya," ucap Ronald sembari mencoba berdiri dengan kakinya meski masih agak belum stabil keseimbangannya.

Dengan sigap, sang asisten membantunya. "Baik, Pak Ronald."

Amanda sendiri hanya terdiam di tempat.

Dia bingung, bagaimana nanti dirinya bisa pulang ke rumah.

Sepeda motornya tertinggal di kantor.

Mau ikut rombongan bos, tapi tadi dia sudah adu mulut dengan Ronald.

Mau naik ojek, tapi ini sudah sangat larut.

Bahaya juga….

"Kamu mau pulang, nggak?" tanya Ronald, dingin.

"Saya–"

"Ayo, aku antar sekalian! Hitung-hitung sebagai ungkapan terima kasih kamu tidak membiarkan aku mati di elevator."

Meski sebal dan merasa dongkol, Amanda tetap saja mengekor di belakang Ronald serta asistennya.

Tak lama, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan mereka.

Sang sopir turun dan membukakan pintu untuk Ronald serta Amanda.

"Mbak, duduk di belakang saja di sebelah Pak Ronald..." ujarnya.

Dengan kikuk, Amanda menurutinya. Ini sudah hampir jam setengah satu pagi. Dia sudah pasrah jika ibunya menghujaninya dengan hujatan atau makian.

"Rumah kamu di mana?" tanya asisten Ronald.

"Jalan Kasuari nomor dua belas, gang lima." ucap Amanda sambil memperhatikan jalanan yang mereka lalui.

Untungnya, sopir pun menemukan alamat yang dia maksudkan.

Hanya saja, gang rumah Amanda memang cukup sempit untuk mobil besar milik bosnya.

"Benar gang rumahnya yang ini, Mbak?"

"Betul... nanti ada toko bangunan kita belok kiri, Pak. Terima kasih."

Sopir itu pun berhati-hati sekali saat harus berbelok dan melaju lagi. Jalannya sangat sempit dan banyak motor serta mobil parkir di kanan kirinya.

Di sisi lain, Ronald mengamati sekeliling.

Berpuluh tahun hidup di kota ini namun baru pertama kalinya dia lewat di area ini.

Tanpa sadar, mobil pun berhenti.

Amanda memilih untuk cepat-cepat turun.

Dia sengaja meminta sang sopir untuk menurunkannya sekitar beberapa rumah sebelum rumahnya.

"Terima kasih, Pak."

Setelah memastikan mobil itu melewatinya, barulah Amanda masuk ke dalam rumah yang sudah gelap.

Dia mengendap-endap layaknya seorang maling di rumahnya sendiri.

Sayangnya, lampu dalam rumah tiba-tiba menyala!

"Dari mana saja kamu? Bagaimana bisa jam segini baru pulang dan diantar oleh laki-laki kaya? Asal kamu tahu, keluarga Heri sudah pulang dan tampak kecewa!"

Gawat!

Ibunya kini menatap Amanda dengan tajam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status