Sera melangkah mundur kala menyadari tatapan aneh sang tuan. Dia sendiri tidak percaya dengan pandangan itu. Ia pun jatuh berlutut sambil menundukkan wajah. "Saya tahu ini semua salah saya. Tolong, berikan saya waktu untuk memperbaikinya. Saya akan bertanggung jawab." Tangis Sera menetes hingga membasahi lantai.
Anggoro kembali mengusap wajahnya. Dia berkali-kali menarik napas panjang untuk mengatasi dirinya yang semakin tidak jelas."Diam!" balas Anggoro lalu memalingkan wajah. Entah mengapa, dia tak sanggup melihat Sera menangis."Tuan ...""Aku bilang diam!" teriak Anggoro masih membelakangi Sera dengan penuh amarah.Sera tidak ingin membuat suaminya semakin meluapkan amarah. Ia bangkit, lalu menunduk, dan mengambil sandal yang sudah terlepas dari kaki lelaki itu. Kemudian memungut kemeja yang sebelumnya berada di lantai. Masih sambil menunduk, Sera kembali mendekati almari.'Aku tidak boleh ceroboh lagi. Aku akan berusaha.'Diamatinya dengan seksama semua baju itu karena tidak mau membuat kesalahan kedua kalinya. Tangannya yang masih dipenuhi goresan luka, mengambil satu piyama. Dengan bergetar, Sera kembali mendekati suaminya."Izinkan saya melayani Tuan," ucapnya masih menunduk dan bergetar. Dia terus berusaha mengatur dirinya yang sangat ketakutan. "Tuan ... bisakah saya ...," lanjutnya dengan sedikit melirik Anggoro.Saat lelaki itu diam, Sera mulai membuka setiap kancing kemeja suaminya. Namun, Anggoro menepis tangannya dengan kasar."Kau tak berhak menyentuhku." Anggoro merebut piyama dari genggaman Sera dan mengganti bajunya sendiri.Sera hanya menarik napas panjang sambil menunduk."Besok kau hanya diam saja. Jangan mengatakan apa pun," kata Anggoro kali ini dengan nada pelan. Sera hanya menganggukkan kepala.Lelaki itu mendekati jendela dan memandang taman belakang kediaman itu yang dipenuhi berbagai macam bunga. Tatapannya masih dipenuhi kebencian.Selama satu jam, lelaki itu hanya terdiam, hingga akhirnya menuju ranjang dan terlelap.Sera menarik napas panjang. Perlahan dia merebahkan tubuhnya di lantai. Untung saja, lantai itu dialasi karpet di semua arah. Paling tidak, dia tidak akan kedinginan. Air mata kembali menetes deras. Napasnya pun kembali sesak. Sera harus menahan itu dan berusaha kuat. Ini adalah sebuah perjanjian dan semua yang harus dia tanggung."Tuhan, takdir macam apa ini? Apakah nantinya aku akan mendapatkan kebahagiaan?" batinnya masih meneteskan air mata.Dia semakin sedih mengingat sang ayah. "Bapak, bagaimana kabarmu? Maafkan, Sera," lanjutnya membatin hingga akhirnya dia terlelap.Tanpa disadari, matahari sudah naik dan membuat tubuhnya hangat."Nduk, bangun."Sera perlahan terbangun ketika seseorang menggoyang tubuhnya."Nduk, ayo. Sudah saatnya kamu bangun." Mbok Wati, kepala pelayan di sana tersenyum saat Sera membuka kedua matanya. "Mbok diperintah untuk membantumu bersiap.""Mbok," ucap Sera terkejut melihat wanita yang pertama kali menolongnya saat masuk ke dalam rumah itu dua hari lalu.“Ada apa, Mbok?” tanyanya kembali."Hari ini akan ada pertemuan besar keluarga. Lalu, ada sahabat Tuan Anggoro dari Belanda," ucap wanita tua itu, “jadi, kamu harus melakukan perawatan agar terlihat sangat cantik dan pantas. Bukan berantakan dan mata sembab seperti ini.""Pertemuan keluarga?"Meski tak mengerti, Sera mengikuti Mbok dan beberapa pelayan yang menemaninya menuju kamar. Sebuah kamar yang sebelumnya dia gunakan sebelum menikah. Namun, kedua matanya melotot saat menatap kebaya berwarna biru dan jarit bermotif batik Parang Kusumo."Mbok, ini batik yang digunakan untuk para raja zaman dulu. Mana bisa aku menggunakannya?" ucap Sera dengan mengernyit. Dia mendekati jarit itu dan menyentuhnya dengan gemetar."Itu zaman dulu. Sekarang ‘kan sudah zaman modern dan batik ini biasa digunakan para pejabat. Sebagai istri pejabat, kamu harus membiasakan diri.”Lagi-lagi, Sera hanya bisa mengangguk.Tak lama, Mbok bersama dua pelayan wanita itu memberikan perawatan yang biasanya digunakan para putri zaman dulu.Rempah-rempah dengan bau khasnya yang sangat harum tercium, hingga Sera sendiri tak percaya akan merasakannya.Terlebih, saat perawatan selesai dan Sera melihat fitur wajah yang selama ini tak dia sadari. Sera terus menatap dirinya di depan cermin. Dia sangat berbeda dan cantik. Wajahnya seperti campuran kaukasian.Matanya abu-abu, hidung mancung, dan kulitnya seputih salju. Bibirnya sangat merah merona, walaupun polesan bibir tidak pernah dia berikan."Sangat cantik," ucap Mbok tersenyum, lalu membantu Sera memasang kalung berbandul berlian biru."Sekarang, ikuti Mbok."Wanita itu bersama beberapa pelayan wanita menggandeng Sera ke luar ruangan.'Aku ... mana bisa bertemu semua orang itu?' Hati Sera semakin tak menentu. Sera menarik napas panjang kala mendekati pintu berwarna cokelat tua berukiran Jawa bergambar Garuda. Ruangan inti kediaman mewah itu jika menerima tamu terhormat ataupun acara penting keluarga.Sera mendadak menghentikan langkah ketika Mbok akan membuka pintu. Spontan dia menarik jemari Mbok."Aku belum siap, Mbok," ucapnya gemetar."Simbah mengundang seluruh keluarga untuk memperkenalkan kamu, sebagai Nyonya baru. Mbok yakin kamu bisa membawa diri dengan baik," ucap Mbok kemudian perlahan membuka pintu ruang utama, “ikuti saja semua dengan tenang.”"Mbok, aku ..."Mbok lalu menarik lengan Sera, hingga dia tak punya pilihan. Meski menundukkan kepala, dia dapat merasakan semua mata tertuju padanya. Kakinya terus perlahan melangkah sampai di tengah ruangan."Kenalkan. Dia menantu di rumah ini dan pendamping Anggoro saat pelantikan Bupati nanti." Simbah berbicara lalu mendekati dirinya. "Sera, angkat wajahmu."Sera melakukan apa yang diperintahkan sang mertua. Diperhatikannya semua orang yang tengah hadir."Dia ..."Namun ... Sera terpaku dengan sosok di hadapannya tengah menatap sangat tajam."Kenapa dia di sini?” batinnya kala melihat Bima–pria yang menodainya–ada di tengah keluarga besar Tuan Anggoro!Sera sontak mengalihkan pandangannya. 'Dia ... tidak boleh berbicara denganku.'Sera harus melakukan apa pun untuk membuat dirinya selamat dari pandangan tajam pria yang sudah menghancurkan dirinya itu. Sudah cukup penderitaan yang dia alami sampai saat ini. Dia tidak akan pernah menambah masalah. Semuanya akan dia tutup dengan rapat!Hanya saja, lamunan Sera teralihkan saat lelaki di sebelah suaminya mendadak mendekat."Kedua matanya indah sekali. Sangat bening, seperti air sungai mengalir. Bahkan, aku bisa melihat diriku seolah-olah berada di dalam kedua mata itu," ucap Willem, sahabat Anggoro dari Belanda. Mereka sudah berteman sejak Anggoro berkuliah di Negara kincir angin itu dan terus berlanjut. Willem bahkan sempat bekerja dua tahun di Indonesia untuk mempelajari bahasa sang sahabat dan membangun bisnis di sini."Belum pernah aku melihat ini pada wanita mana pun," lanjut lelaki itu tak mengalihkan pandangannya sama sekali.Sementara itu, Sera tampak bingung. Terlebih, Willem
Di sisi lain, Sera menghentikan langkahnya. Karena emosi, dia tidak sadar jika berjalan tanpa arah, hingga menuju ke halaman belakang. "Apa yang aku lakukan? Aku seharusnya tidak berbuat itu. Tapi, Bima datang. Dia bisa membuatku dihabisi suamiku sendiri, jika tahu aku–” ucapnya terhenti saat seseorang menariknya dari belakang. Kedua mata Sera melotot tak percaya ketika Bima mendekapnya erat. Pria itu memang diam-diam keluar kala Anggoro tengah ribut dengan Willem melalui pintu samping."Hentikan Bima!" teriak Sera sembari mendorong kuat tubuh Bima. Namun, dia kalah kuat. Bima kembali mendekapnya erat. "Oh, jadi kau menolakku gara-gara akan menikahi kakakku yang lebih kaya. Dan ... ingin menjadi istri Bupati? Haha, tidak aku percaya. Ternyata kau ... licik juga." Bima semakin menarik Sera ke balik pohon yang cukup besar menutupi tubuh mereka berdua. Pria itu langsung mendekap kuat tubuh Sera dan mulai merayapi leher wanita itu dengan bibirnya."Hentikan Bima!" Sera meronta, ingi
Anggoro masih saja tidak percaya. Bagaimana mungkin, Satria akan meminta hal itu kepada wanita yang jelas-jelas sudah merusak masa depannya!"Satria! Dia yang menyebabkanmu lumpuh," ucapnya pelan dengan pandangan tajam."Hahaha," tawa Satria mendadak kencang, semakin mengejutkan Anggoro. Tawa itu terhenti ketika Sera kembali menatap dan menggelengkan kepala.Sera mengusap wajah anak itu dan semakin tersenyum. "Satria, kau anak yang sangat baik. Aku akan menemani ayahmu. Itu tanggung jawab seorang istri. Hmm, besok aku akan menemanimu seharian. Bagaimana?"Sera mencium kening Satria, seperti seorang Ibu pada anaknya.Dan … putranya itu tak memberontak?Melihat itu, Anggoro semakin tak percaya karena Sera berhasil “mengendalikan” Satria.Terlebih, kala melihat Satria kembali tertidur sembari tersenyum. Anggoro lantas meninggalkan kamar Satria begitu saja. Dia tak bisa berkata apa pun dengan drama mengejutkan barusan.Tentu saja, Sera mengikuti suaminya itu.Anehnya, Anggoro mendadak b
Sera terkejut akan tindakan Anggoro. Bagaimana bisa, lelaki yang sangat membencinya itu melakukan suatu hal yang bisa dikatakan, peduli?Keduanya sempat bertatapan beberapa detik, sebelum tatapan Anggoro berubah tajam. "Cepat! Waktumu hanya satu menit," lanjutnya.Sera sontak mengangguk. Tanpa berpikir lagi, dimasukkannya roti bulat berisi selai kacang ke dalam mulutnya, lalu mengunyahnya cepat. Hanya saja, dia tiba-tiba tersedak. “Uhuk!”"Apa kau tidak bisa memakan roti?" sela Anggoro sembari mengernyitkan kedua alisnya. Spontan Sera menghentikan giginya. "Ma–maafkan, saya," balas Sera sambil menepuk-nepuk dadanya."Jangan membuatku menunggu." Tanpa kata, Anggoro membuka pintu mobil dan keluar.Hanya saja, yang membuat Sera tak percaya adalah Anggoro meletakkan satu botol minum di dekatnya. Dia kembali terpaku."Mungkin dia tidak mau aku pingsan saat di sana dan membuatnya malu," gumam Sera pelan lalu meneguk pelan minuman itu. Tok tok tok!Tak lama, seorang pengawal mengetuk jend
Tubuh Sera menegang. Jantungnya berdetak lebih hebat dari sebelumnya. Dia khawatir dengan apa yang akan dikatakan Maya barusan. Bisa-bisa, Anggoro dan Simbah menghabisinya hari ini.Namun, Maya justru tak menjawab sama sekali dan hanya tersenyum. “Selamat pagi, Pak Bupati.”Anggoro pun mengangguk. Tanpa banyak kata, dia pun menjemput Sera dari sana dan “mengenalkannya” pada para warga. Sera bisa menarik napas lega mengetahui sang suami tidak membahasnya. Dia mengikuti langkah Anggoro yang sangat cepat."Ada apa ini?" Hanya saja, Anggoro tiba-tiba merasakan jantungnya berdebar cepat. Dia rasanya ingin marah kala menyadari mata para lelaki memandang Sera tanpa berkedip. Tanpa sadar, dia menarik lengan Sera dengan sangat kasar–mendekat padanya.Maya yang masih memperhatikan keduanya pun terkekeh pelan. Sangat senang melihat Sera diperlakukan kasar. "Itulah yang pantas didapatkan oleh anak wanita panggilan," gumamnya masih tersenyum puas."Kenapa anak dari wanita panggilan bisa sangat can
Mendengar pembelaan Anggoro, Sera tercengang.Yang lain, juga sama. Maya bahkan sampai bergeming kaku. Bayangannya, Sera akan mendapat tamparan keras dari suaminya. Namun, ada apa ini? "Sialan!" umpatnya. Tak mungkin dia ke sana dan ikut campur lebih dalam. Bisa-bisa, Anggoro membalasnya berkali lipat. Kadi, Maya pun segera meninggalkan tempat. Di sisi lain, lelaki biang onar yang dibayar Maya itu tidak menyerah. Dia menunjuk Sera dengan tegas. Kedua matanya melotot. "Kamu tidak pantas! Bupati harus turun!""Bupati, kami memilih Bapak. Jadi, tolong jelaskan saja masalah ini," sela warga lainnya yang diikuti sorak semua warga. "Ya, kami ingin penjelasan!"Suasana memanas dan lelaki pembuat masalah itu tersenyum, sampai Willem tiba-tiba datang. Perawakannya yang berbeda dari warga kebanyakan, jelas membuat atensi warga tertuju padanya. "Istri Bupati tidak hanya cantik. Dia cerdas dan jago berbahasa asing," ucap Willem tiba-tiba sembari tersenyum menatap Anggoro. Dia kini men
Anggoro masih terpaku. Kedua alisnya mengernyit sangat dalam. Kejutan apalagi ini?"Apa yang kau lakukan?" Anggoro melangkah perlahan. Mendekati Sera yang kini menutup sebagian wajahnya dengan kain hitam. Hanya terlihat kedua matanya yang bewarna abu-abu."Untuk apa kau melakukan itu?" tanya Anggoro dengan nada pelan. Kedua mata hitam itu tidak terlepas dari wajah Sera."Wajah ini hanya untuk suamiku. Saya memang bersalah. Paling tidak, izinkan saya membalas dengan pengabdian."Balasan itu, semakin membuat jantung Anggoro berdebar. Tidak ada wanita yang akan tahan dengan siksaan. Tapi ... memang kali ini dia menghadapi wanita yang sangat berbeda. Hanya saja, apakah kedua mata itu bisa menutup kecantikannya?Anggoro masih saja terpaku dengan keindahan kedua mata itu. Bahkan, semakin terpaku saat bulu mata lentik itu bergerak ketika mengedip. Sontak dia kembali memalingkan wajahnya."Kau akan menemaniku bertemu Bapak Gubernur. Lakukan saja tugasmu dengan baik."Anggoro berjalan keluar
Ini tidak bisa terjadi. Sera tidak mau mendapatkan hal buruk. Sejenak dia memejam, mengingat perlakuan Broto saat itu. Lelaki itu dengan tega menginjak tubuh Sera yang sudah terkapar di lantai. Menghujam dengan hinaan luar biasa kepadanya, "kau tidak pantas untuk anakku. Wanita tidak tahu diri! Berani sekali kau mengaku anakku harus bertanggung jawab?!"Ketika itu, Sera menemui Bima setelah dirinya sadar berada sendirian di vila. Bima meninggalkan Sera setelah menjebak dirinya dengan memberikan obat di minuman hingga pingsan. Dengan bebas Bima bisa menikmati tubuhnya. Sera sangat frustasi. Dia bergegas menuju kediaman Bima dan meminta pertanggung jawaban. Tapi semua sia-sia. Sera gadis desa yang tidak memiliki kekuatan apa pun. Dia hanya bisa pergi dalam keadaan hina. Berjalan tanpa arah hingga takdir membawanya ke rumah Simbah."Tuan Bupati memanggil Anda, Nyonya," ucap sang asisten.Lamunan Sera seketika teralihkan."Ah, iya," balas Sera sembari menarik napas panjang. Entah apa ya