Share

6. Mulai Terbiasa

"Ternyata kamu cukup rajin juga, ya?" Farhan memberikan pujian atas kedatangan Lila.

Gadis cantik itu tersenyum sopan pada pria yang beberapa tahun lebih tua darinya. Dia pun menilik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan kurang tujuh menit.

"Selamat pagi, Pak Farhan," sapa Lila ramah.

"Pagi." Farhan memutar tubuhnya dan dia mulai memencet tombol kombinasi pada pintu apartemen sang bos. "Masuklah. Aku tidak akan berlama-lama di sini," imbuhnya.

"Baik."

Langkah Lila berlanjut sampai gadis itu kembali ditinggalkan di apartemen oleh Farhan. Lila pun meletakkan tas selempang yang dia bawa dan saatnya mulai bekerja.

Seperti sebelumnya, Lila mencuci pakaian sang majikan terlebih dahulu sebelum melanjutkan pekerjaan yang lainnya. Lagi-lagi gadis itu mencium aroma parfum lembut dari pakaian kotor sang majikan. Ingatannya kembali memunculkan sekelebat bayangan pria yang baru saja dia temui di depan lift.

"Aroma parfumnya sama, tapi parfum seperti ini kan bisa dibeli oleh orang lain. Mungkin saja mereka beli di toko yang sama," gumam Lila sembari memasukkan pakaian kotor sang majikan ke dalam mesin cuci.

Kegiatan Lila begitu padat. Selain mencuci pakaian, dia juga harus membersihkan dan merapikan barang-barang yang 'sedikit' berantakan. Majikannya sepertinya merupakan orang yang perfeksionis. Terlihat dari penataan barang-barang yang begitu rapi. Bahkan buku-buku koleksi tertata rapi sesuai dengan jenis dan warnanya.

'Pria seperti apa yang tinggal di apartemen mewah seperti ini sendirian?' Gadis itu mulai bertanya-tanya dalam hati.

Tak heran jika Lila ingin tahu bagaimana sosok majikannya. Saat dirinya datang pun bukan sang majikan yang menyambut, melainkan orang kepercayaannya.

"Bahkan fotonya pun tidak ada. Dia seperti misterius. Apakah Pak Davidson sudah begitu tua, ya?" gumam Lila bermonolog pada dirinya sendiri.

Karena hanya bekerja seorang diri, Lila merasa sedikit kesepian. Namun dia tak mau menyerah. Dia yang sudah tak memiliki apa-apa harus mengumpulkan uang demi kehidupannya juga untuk membantu keluarga barunya yang mau menerima dia apa adanya.

Sebagai mantan nona muda yang hidup serba berkecukupan, Lila tentu saja kewalahan. Jika Weni bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, Lila membutuhkan waktu dua kali lebih lama.

Sesekali Lila menyeka keringat yang bercucuran menuruni keningnya. Setidaknya setiap hari dia akan menjalani pekerjaan seperti itu sampai dia mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan.

Ponsel Lila yang diletakkan di atas meja ruang tamu berdering. Segera saja gadis itu menerima panggilan dari Weni.

"Ada apa, Bu?" tanya gadis itu.

"Lila. Kamu baik-baik saja? Apa ada kesulitan?" Weni terdengar khawatir.

Lila tersenyum. "Aku baik-baik saja, Bu."

"Jangan lupa makan pokoknya."

Lila tersenyum mendengar ucapan dari sang ibu angkat. Dia baru ingat jika di tempat kerjanya dia bahkan tak boleh memasak. Dia lupa membawa makanan dari rumahnya.

"Iya, Bu. Sebentar lagi aku juga akan istirahat." Lila terpaksa berbohong. Mungkin hari ini dia tak akan makan siang lagi seperti hari sebelumnya.

Waktu tak terasa sudah menunjukkan pukul dua lebih lima puluh. Lila memeriksa hasil pekerjaannya sendiri sebelum pergi. Setelah dirasa sudah beres semuanya, dia pun segera pergi meninggalkan apartemen mewah tersebut.

*

Hari demi hari terus berlalu. Lila sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Hingga hari ketujuh pun tiba ... di mana masa pembuktiannya akan berakhir.

Namun, entah karena belum terbiasa melakukan pekerjaan rumah secara penuh ... di hari ketujuh ini Lila merasakan tubuhnya jauh lebih letih. 

Wajah Lila tampak sedikit pucat, kendati dia tetap berusaha menyelesaikan tugas di hari terakhir uji cobanya.

"Ya ampun ... Lelah sekali hari ini ...." gumam Lila pada dirinya sendiri. Rasa kantuk bahkan menghinggapi dirinya.

Kedua mata Lila mendongak menatap jam dinding di ruang tengah. Jarum jamnya sudah menunjukkan pukul dua lebih sepuluh menit. Sejenak Lila meregangkan tubuhnya yang baru saja selesai menyeterika pakaian sang majikan.

'Sepertinya tidur sebentar tidak apa-apa sebelum pulang,' pikirnya sembari menguap.

Kedua mata Lila sudah tak tahan lagi dengan rasa kantuk. Belum juga memasukkan semua pakaian sang majikan, Lila memilih tiduran di samping sofa. Mungkin karena rasa lelahnya karena bekerja tak sesuai kemampuannya, Lila pun langsung terlelap dengan dengkuran halus.

Di tempat lain, seorang pria tampan baru saja keluar dari ruang rapat. Langkahnya yang panjang membuat seseorang yang mengejar kewalahan.

"Pak David!" panggil seorang pria bertubuh lebih pendek dengan tergopoh-gopoh.

"Pak Davidson!" ulangnya lagi. Namun pria bernama lengkap Davidson Roe Alexander itu tak menghiraukannya.

"Pak Davidson! Tolong pertimbangan soal hubungan kerja sama ini, Pak," pinta pria itu akhirnya mengatakan maksudnya.

David menghentikan langkahnya, tanpa menoleh sedikit pun. "Farhan, antarkan tamu kita ke luar," ujarnya dingin.

"Silakan ikuti saya, Pak," ucap Farhan sopan. Dia harus mengikuti perintah sang atasan.

"Pak David?"

"Aku tidak mau bekerja sama dengan perusahaan yang bermasalah dengan korupsi," tegas David dengan aura dinginnya yang kuat.

Pria yang berasal dari perusahaan lain itu diam membeku. Aura menyeramkan dari sang direktur utama perusahaan memang membuatnya tertekan sejak rapat dimulai. Ternyata meski sudah berjuang keras pun Davidson tidak mau menerima kerja sama mereka.

Saat Farhan sedang membawa tamu perusahaan keluar, David melanjutkan langkahnya yang tertunda. Pria itu memilih pulang ke apartemennya untuk beristirahat. Beberapa orang karyawan yang berpapasan dengannya pun tak berani untuk sekedar menyapa setelah melihat aura menyeramkan yang terpancar dari wajahnya.

David membawa mobilnya menuju ke apartemen miliknya. Kini dia memasuki apartemen nomor 111. Wajahnya yang dingin menatap ruangan yang menjadi tempat ternyaman baginya.

'Sudah rapi dengan sempurna kembali,' batin David. Suasana hati pria itu sedikit lebih baik setelah melihat tempat tinggalnya bersih dan rapi.

Langkah David begitu tenang saat memasuki ruangan lain. Namun seketika langkahnya terhenti saat melihat sosok asing yang sedang berbaring di dekat sofa, bersebelahan dengan pakaian miliknya yang sudah rapi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status