Melihat betapa garangnya sosok Ryuga, Claudia tanpa sadar mengambil langkah mundur ke belakang. Satu langkah maju dari Ryuga, maka Claudia akan melangkah mundur, begitu terus sampai akhirnya punggung wanita itu menabrak tembok.
“P-P-Pak Ryuga …,” panggil Claudia dengan suara mencicit, takut. “M-maaf, Pak.”
“Untuk?” Suara Ryuga benar-benar tidak ramah. Dia jelas marah besar.
“Saya nggak bermaksud ingkar janji atau kabur, Pak. Tapi saya ….” Claudia menggigit bibirnya, agak malu mengakui, tapi tidak ada pilihan. “Saya lupa ….”
“Lupa?” Suara Ryuga seakan merendah satu oktaf, membuat seluruh tubuh Claudia bergidik.
Claudia menutup mata erat dan berceloteh, “Saya mendadak harus membantu rekan saya menyelesaikan tugas hingga lembur sendirian, Pak! Bukan sengaja atau pun kabur, tolong Pak Ryuga maafkan saya!”
Usai mengatakan semua itu, Claudia baru tersadar betapa cepat jantungnya berdetak. Dia tidak tahu apakah Ryuga menerima permintaan maafnya, tapi dia pasrah. Lagi pula, memang itu kenyataannya!
Tiga detik.
Lima detik.
Tidak ada balasan.
Claudia pun membuka mata, melihat mata Ryuga mengarah ke tumpukan dokumen di tangan. Mata pria itu memicing.
“Pekerjaan rekanmu, kenapa harus kamu yang kerjakan?” gumam pria itu dengan agak kesal. Kemudian, dia mengangkat pandangan menatap Claudia lurus, membuat gadis itu tersentak. “Apa kamu bodoh?”
Claudia terbengong. Kenapa pria ini jadi memakinya!?
Belum sempat Claudia membalas, Ryuga dengan tidak sabar mencekal tangannya. “Sudah, lupakan saja. Kamu sekarang ikut saya,” titahnya seraya mengambil langkah besar membuat Claudia sulit mengimbangi.
“B-Bapak mau bawa saya ke mana?” tanya Claudia di sela-sela langkahnya yang terengah.
Selang beberapa langkah, Ryuga melepas cekalan tangannya dan membuka pintu mobil hitam mewah yang tadi dekat dengannya. “Masuk,” perintahnya kepada Claudia.
Tidak bisa menolak, wanita itu pun menurut dan duduk di kursi penumpang belakang.
Hanya ketika sudah masuk, barulah wanita itu menyadari ada sopir Ryuga di sana. “P-permisi, Pak …,” ucap Claudia canggung, yang hanya ditanggapi anggukan sang sopir.
“Geser!” titah Ryuga lagi yang membuat Claudia melongo.
“Kok Bapak nggak duduk di depan?” tanya wanita itu.
Usai membanting pintu tertutup, Ryuga melemparkan tatapan mematikan pada Claudia. “Mobil juga mobil saya. Kenapa kamu yang ngatur-ngatur?” balasnya ketus, membuat Claudia bungkam. Pria itu pun menatap sang sopir. “Jalan.”
Perintah itu dibalas anggukan sang sopir yang langsung menginjak gas meninggalkan area parkiran kampus.
“Bapak mau bawa saya ke mana?!” pekik Claudia, takut bahwa Ryuga berniat ‘membereskan’ dirinya. “S-saya masih ditunggu teman saya di apartemennya untuk tugas jurnal kampus!”
Kening Ryuga berkerut, tampak tidak ramah. “Sudah membuatmu lembur, temanmu itu masih memintamu mengantarkan tugasnya? Dan kamu setuju?!” Nada pria itu meninggi, terdengar frustrasi dan menganggap tindakan Claudia sangat konyol.
“Namanya teman, Pak …,” gumam Claudia pelan dengan kepala menunduk.
Decakkan lidah terdengar dari sisi Ryuga, lalu dia bertanya, “Di mana?”
“Eh?”
“Apartemennya!”
“O-oh iya!” Claudia langsung cepat menyebutkan alamat apartemen Claire kepada sopir Ryuga.
Usai itu, Ryuga langsung melipat kedua tangannya. “Sekarang, selagi kita ke sana. Kita fokus pada topik utama kita.”
Claudia menoleh ke arah Ryuga dan menelan ludah. “Topik … utama?”
Dengan wajah dingin dan tatapan tajamnya, Ryuga pun mengutarakan hal yang paling membuatnya penasaran, “Ceritakan bagaimana kamu bisa mengira saya gigolo.”
CKIIT!
Suara decit rem terdengar kencang seiring sopir Ryuga menghentikan mobil tersebut. Dia yang kaget bukan kepalang saat mendengar omongan sang tuan langsung meminta maaf.
“Maaf, Pak Ryuga! T-tadi ada mobil mendadak lewat lampu merah!” Sopir itu beralasan, padahal bukan itu alasannya menginjak rem kencang.
Di sisi lain, Ryuga melambaikan tangan kepada sopirnya, mengisyaratkan dia tidak masalah. Sedangkan Claudia, wajah wanita itu sudah seperti kepiting rebus. Malu!
‘Bagaimana bisa pria ini menanyakan hal memalukan seperti ini di depan orang lain!?’ pikir Claudia dengan frustrasi.
Menyadari bahwa Claudia merasa canggung, Ryuga melirik ke arah sopirnya, memberikan isyarat sehingga sopir tersebut menekan sebuah tombol. Tepat ketika tombol itu ditekan, sebuah dinding partisi yang memisahkan ruang mobil bagian depan dengan kursi bagian belakang pun terangkat.
Claudia agak terkejut dengan betapa canggih mobil Ryuga ini, tapi keterkejutannya itu sirna seketika saat Ryuga dengan tidak sabar bertanya, “Jadi, bagaimana?” Nadanya menuntut.
Akhirnya, Claudia pun menarik napas, lalu menceritakan segalanya. Bagaimana dia menyewa seorang gigolo, mengira gigolo itu Ryuga, lalu berakhir menemukan bahwa gigolo yang dia sewa … ternyata adalah pria lain.
“Kepalang tanggung dan malu menjelaskan, saya … saya langsung pergi,” aku Claudia dengan kepala tertunduk dan jari-jari meremas roknya kuat.
Ryuga menautkan alisnya. Wajahnya menjadi semakin gelap. “Jadi, uang receh di atas nakas ….”
Telinga Claudia merona merah. “U-uang permintaan maaf sudah menyia-nyiakan waktu … Pak Ryuga ….”
Mendengar pengakuan Claudia, Ryuga langsung merasa sangat hina. Dirinya yang adalah seorang pebisnis ternama, malah dianggap seorang gigolo yang disewa guna melampiaskan sakit hati seorang wanita?!
Yang benar saja!
“Seorang dosen menyewa gigolo,” Ryuga memulai, “apa kiranya yang akan dikatakan seisi kampus kalau mendengar hal ini?”
Mendengar itu, Claudia langsung mengangkat pandangan dan menatap Ryuga memelas.
“Pak! Saya mohon jangan sebarkan hal ini!” Dia menempelkan kedua telapak tangannya dan berkali-kali menundukkan kepala guna meminta tolong. “Saya tidak ada niat sedikit pun menghina Bapak, sungguh semua ini murni kesalahpahaman dari pihak saya. Karena memang saya yang salah, saya meninggalkan uang itu untuk Bapak!”
“Saya tidak butuh uang receh kamu.” Ryuga menegaskan. Dia mengeluarkan sejumlah uang dan mendorongnya ke tangan Claudia, membuat wanita itu sadar bahwa itu adalah uang receh yang dia tinggalkan di atas nakas. “Akan tetapi, saya tetap akan menuntut ganti rugi!”
Kalimat itu sukses membuat Claudia tersentak dari duduknya.
Ganti rugi!? Ganti rugi apa yang Ryuga Daksa, sang Presdir Daksa Company itu inginkan? Uang miliaran? Pernyataan minta maaf tertulis? Dua-duanya sama saja seperti menginginkan nyawa Claudia!
Panik, Claudia cepat-cepat membungkuk di hadapan Ryuga dan berujar, “Pak Ryuga, saya bener-bener minta maaf.” Dia menyatukan kedua tangannya di depan wajah. “Saya akui saya salah dan saya bersedia menebusnya, apa pun itu, tapi … tapi … jangan minta ganti rugi uang dan pernyataan tertulis yang bisa menghancurkan karir saya Pak!”
Mendengar hal itu, alis kanan Ryuga meninggi. “Apa pun selain kedua hal itu?” ulangnya.
Claudia mengangkat pandangan, menatap Ryuga lurus dengan penuh tekad. “Apa pun!”
Sebuah senyuman penuh arti terlukis di wajah Ryuga seiring dia mendekatkan wajahnya ke wajah Claudia. “Oke, kalau begitu ayo kita menikah.”
Claudia membeku. Pria ini bilang apa!?
**
*Siang tadi* Setelah pergi meninggalkan kampus dan kembali ke kantor, Ryuga masih terus terngiang-ngiang ucapan Claudia sebelumnya yang mengira bahwa dirinya seorang gigolo. Untuk kesekian kali, alis Ryuga menukik dengan tajam. Menandakan jika pria itu tengah kesal. Tepat sebelum langkahnya sampai di lobby, Ryuga mendadak berhenti, lalu menoleh ke Riel, sang asisten pribadi, yang berada di sebelahnya. “Pak, Anda baik-baik saja?” tanya Riel yang merasa kebingungan dengan sikap Ryuga. Setelah terdiam beberapa saat, Ryuga bertanya, “Dari penampilan saya, menurutmu saya orang yang seperti apa?” Riel agak terkejut dengan pertanyaan itu, tapi kemudian dia menatap Ryuga saksama sebelum menjawab, “Pak Ryuga adalah orang hebat dan berwibawa yang pantas memimpin perusahaan. Sebagai Presdir Daksa Company, Bapak–” “Oke, cukup,” potong Ryuga dengan alis menekuk tajam, merasa jawaban bawahannya agak dilebih-lebihkan. “Katakan pada saya, apa wajar bila ada orang yang mengira saya seorang … p
Diancam seperti itu, Mila pun ketakutan. Matanya berkaca-kaca dan dia pun menghentakkan kaki kesal sebelum buru-buru keluar dari ruangan.Setelah memastikan Mila ke luar, Ryuga menghela napas. Dia tidak pernah nyaman bersikap kasar pada wanita, tapi untuk wanita seperti Mila, dia terpaksa. Sudah sering wanita-wanita seperti itu mengambil kesempatan atas kebaikannya untuk menciptakan rumor palsu!Usai mendudukkan diri di kursi kebesarannya, Ryuga merogoh ponsel di saku kemejanya. Dia menghubungi seseorang, dan tak lama panggilan itu pun diangkat.“Halo, Ryuga! Tumben telepon? Kenapa? Senang ya, dikunjungi Mila??”Mendengar suara tantenya, Ratih, Ryuga memasang wajah buruk. Jadi, benar dugaannya. Semua adalah ulah Ratih. Ratih adalah adik dari ayah Ryuga. Setelah bertahun-tahun ibu dan ayah Ryuga gagal menjodohkannya dengan wanita pilihan mereka, Ratih pun dimintai tolong untuk mempertemukan Ryuga dengan sejumlah wanita kalangan atas, seperti Mila tadi.“Tante sebaiknya berhenti,” ucap
Masih terkaget-kaget di tempatnya, Claudia menganga. Ryuga bilang apa tadi? Menikah? Apa pria ini sudah kehilangan kewarasannya?! Dengan usaha untuk tetap tersenyum tenang, Claudia bertanya dengan sedikit bergetar, “P-Pak Ryuga bercanda ….” Pandangan Ryuga berubah dingin. “Kamu keberatan?” Nada bicaranya kembali rendah, sangat rendah … seperti ingin menenggelamkan nyali Claudia. Tenggorokan Claudia terasa kering. “B-bukan keberatan, Pak. Tapi … tapi ….” Claudia memutar otak, sebelum kemudian mendapat sebuah balasan. “Tapi saya berasal dari keluarga biasa! Tidak pantas untuk Bapak!” Itu benar. Keluarga Claudia tidak kaya maupun ternama, jelas tidak pantas untuk sosok Ryuga yang berasal dari keluarga Daksa yang terkenal itu. Ditambah lagi dengan latar belakang Claudia yang baru lulus dan bekerja menjadi seorang dosen, tidak ada pencapaian apa pun yang menonjol yang membuatnya setara dengan seorang Ryuga. Demikian, apa yang membuat Ryuga ingin menikah dengannya!? Di saat ini, Ryug
“Bapak nggak mau nunggu di mobil aja?” Claudia menjawab pertanyaan Ryuga dengan pertanyaan. Karena bagi Claudia rasanya aneh apabila Ryuga ikut dengannya ke apartemen Claire. Apa kata Claire nanti? “Nggak, saya ikut. Saya bilang sandiwaranya bisa dimulai sekarang,” tegas Ryuga. Maka, Claudia tidak ada pilihan lain selain mengiakan ucapan Ryuga. Keduanya berjalan melewati meja resepsionis untuk menuju lift. Lantas Claudia merogoh ponsel di dalam tasnya untuk menghubungi Claire. “Aku udah sampe di apart, Claire. Tapi, lupa apart kamu ada di lantai berapa,” keluh Claudia. “Sering ke sini tetep aja lo lupa. Clau … Clau. Apart gue lantai 31,” ucap Claire ketus. Melalui ekor matanya, Ryuga melirik Claudia yang sedang meringis menanggapi ucapan Claire. Entah apa maksud tatapannya itu. Claudia berucap, “Maaf, aku beneran lupa. Ya udah aku ke situ sekarang ya, Claire.” Masuk ke dalam lift bersama Ryuga
Claire tampak kaget dengan balasan ketus pria tersebut, begitu pula dengan Claudia. Wanita tersebut menyikut lengan pria itu, mengisyaratkan agar dia diam. Namun, Ryuga malah semakin menjadi. “Apa? Apa aku salah?” tanya pria tersebut sembari menatap Claire. “Sudah minta tolong, tapi tidak bisa menyambut dengan lebih baik. Tidak tahu diri.” Dia melipat tangan dan membuang wajah kesal. Claudia menggigit bibirnya, tidak tahu lagi harus bicara apa. Akhirnya, dia menatap Claire dengan wajah tak berdaya. “T-tolong abaikan dia, Claire. Aku baru tiba, kok.” Dia mengeluarkan dokumen yang telah dicetak kepada Claire. “Ini dokumennya.” “O-oh, ya ….” Claire tampak masih terkejut dengan sosok pria tampan yang datang bersama Claudia. Dia sama sekali tidak menyangka temannya itu akan tiba dengan orang lain. Seorang pria tampan pula! Penasaran, Claire pun bertanya, “Ini … siapa, Clau?” Mata Claire menggerayangi sosok Ryuga, m
Usai mengatakan itu, Ryuga langsung menarik tangan Claudia dan pergi dari tempat tersebut. Dia tidak membiarkan Claudia membenarkan ucapannya atau menambahkan apa pun lagi. Ditinggal seperti itu, Claire mengepalkan tangannya. Walau bibirnya tersenyum, tapi tubuhnya bergetar dengan tidak nyaman, tampak marah. Bukan hanya rencananya untuk membuat Claudia cemburu dengan keromantisannya bersama Sambara gagal, wanita itu malah membawa seorang pria yang dengan berani menegurnya! Seumur-umur, ini baru pertama kali ada orang yang memperingatinya seperti itu! Untuk membela Claudia yang selama ini tidak berani melawannya pula! Yang benar saja! Claire tidak terima! ‘Claudia! Awas saja kamu!’ seru Claire dalam hati dengan penuh kebencian. “Claire?” panggil sebuah suara membuat Claire tersentak. Dia menoleh dan melihat Sam yang menatapnya bingung. “Kamu kenapa?” Claire terdiam sesaat, lalu memasang senyuman tipis. “Nggak apa-apa, Kak.
Kaget dengan kehadiran Dirga yang menatapnya tajam, Claudia memaksakan senyumnya. “Loh, kok kamu belum tidur, Dir?” Dirga tertawa hambar. Masih dengan tatapan tajamnya, Dirga kembali bertanya, “Itu yang namanya Ryuga?” Nada bicaranya terdengar tidak ramah. “Siapa dia dan apa hubungannya sama Mbak?” Tak ada senyum sama sekali di wajah tampan pemuda itu. Posisi Claudia bak tengah diinterogasi oleh ayahnya yang kedapatan pulang malam bersama seorang pria. Hal itu sedikit membuat Claudia terintimidasi, tapi saat sadar Dirga hanya pemuda yang dia anggap adik kecil, wanita itu tersenyum tipis. “Bukan siapa-siapa, Dir.” Dirga yang tadinya bersandar pada pintu rumahnya perlahan mendekati Claudia yang tampak mematung di tempatnya. Kini jarak keduanya hanya tersisa tiga langkah, cukup dekat. Claudia menaikkan pandangan dan Dirga menundukkan kepala untuk dapat bersinggungan mata dengannya, “Bukan siapa-siapa tapi mengantarkan pulang?” tanya Dir
“Kak Sam,” lirih Claudia saat melihat sosok tampan itu berdiri di hadapannya. “Pagi, Clau.” Sam menyapa ramah dengan senyuman tipis. Dengan terus-terang, Claudia bertanya, “Kak Sam ngapain ke sini?” Ini pertama kalinya Sam berkunjung kemari. Claire saja belum pernah singgah ke kamar loteng tempat tinggalnya. “Ketemu Om Anton sama Tante Larissa.” Mendengar itu, Claudia merasa sedikit lega. Benar juga, Sam adalah sepupunya Dirga dan keponakannya Anton dan Larissa–orang tua Dirga. “Oh, ya, ya. Masuk, Kak.” Claudia mempersilakan pria itu masuk, lalu membawanya ke arah ruang tamu. “Clau panggilin Om sama Tante dulu.” Namun, belum ada dua langkah, Sam malah menghentikannya. “Clau, tunggu.” “Ya?” “Kakak mau bicara soal semalam …,” ucap Sam menggantung. Demi mendengar itu Claudia menahan napas. Dia terkejut Sam akan lanjut membahas masalah di malam yang lalu, tapi berusaha tetap tenang. “Mau