Share

CHAPTER 5. Melepaskan

“Sorry, sengaja,” balas pria itu tanpa dosa. Ia bahkan mengulas senyum yang begitu menyebalkan. “Aku mau mengembalikan ini,” sambungnya sambil menyodorkan uang pada Kiya.

“Minggir!” teriak Kiya. Ia mengabaikan pria itu.

“Temanmu bilang, bensin itu dibeli pakai uang milikmu. Aku tidak mau punya hutang. Jadi, ambil ini.” Pria itu masih belum menyerah.

Kiya menatap marah pria di depannya. “Kembalikan saja pada temanku!”

“Ck! Apa susahnya, sih, ambil saja,” decak pria itu.

“Kenzie … lo ngapain di situ?” teriak teman Kenzie berhasil mengalihkan perhatian pria itu.

“Sebentar,” balasnya sambil menoleh ke arah temannya.

Kiya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia menarik tuas gas motornya dan melajukan kendaraan roda dua tersebut.

“Argh!” erang Kenzie saat stang motor Kiya menabrak lengannya. “Cewek si … astagfirullah al-adzim,” imbuhnya yang meralat kalimat yang belum ia lanjutkan. Ia tersenyum miring mantap motor milik Kiya yang menghilang di tikungan.

Kiya yang sudah memarkirkan motornya di halaman rumah langsung masuk ke kamar. Beruntung sang ibu tidak ada di rumah. Kiya tidak perlu menjawab pertanyaan ibunya saat melihat raut wajahnya yang sedang kesal.

Kiya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menghela napas dan megembuskan dengan perlahan. Ia melakukan itu beberapa kali untuk menetralkan emosinya yang mulai meningkat.

Kesal. Itulah yang sedang wanita berjilbab hitam itu rasakan. Pria asing itu benar-benar selalu membuat suasana hati Kiya menjadi buruk. Haruskah ia berdoa agar tidak dipertemukan lagi dengan pria itu? Ah, bagaimana mau berdoa, ia saja sudah tidak percaya pada Sang Pengabul Doa itu sendiri.

“As-salamu’alaikum.”

Suara salam di depan rumah mengalihkan perhatian Kiya yang sedang menatap langit-langit kamar. Wanita itu bangkit dari posisinya, tetapi tidak berdiri atau beranjak dari kamar tersebut untuk membuka pintu. 

Suara salam kembali terucap. Kiya sangat tahu siapa pemilik suara tersebut. Hanya helaan napas berat yang terdengar dari wanita itu. Tidak ada sedikit pun keinginan untuk menjawab salam, apalagi membuka pintu untuk tamunya.

“Maaf, A. Lebih baik seperti ini. Kita tidak perlu bertemu dan saling menyapa. Lebih baik menjadi asing,” gumamnya.

Amar mengulang kembali salamnya untuk ketiga kali. Ia kemudian beralih menatap motor milik Kiya yang terparkir di halaman. Ingin beranjak, tetapi hati memaksa untuk tetap berdiri di sana.

Tiga puluh menit menunggu, tetapi masih belum ada tanda-tanda jika sang pemilik rumah akan membukakan pintu.

“Nak Amar?” Ratna cukup terkejut saat melihat pria itu berdiri di sana. Amar yang menyadari kedatangan Ratna, segera mencium punggung tangan wanita paruh baya itu. “Sudah lama?” tanyanya.

Amar tersenyum kaku dan mengangguk. Ratna kemudian beralih menatap motor milik putrinya. Ia sudah bisa menebak jika pria yang sedang berdiri di depannya itu sengaja menunggu Kiya. Ratna pun mengajak Amar untuk duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. Sementara itu, ia masuk menemui putrinya.

“Kiya tidak mau bertemu dengannya, Bu. Tolong jangan paksa Kiya,” imbuh Kiya dengan tegas saat sang ibu menghampiri. Ia tahu wanita paruh baya itu akan memintanya untuk menemui Amar.

“Sepertinya kamu harus menyelesaikan urusan kalian.”

“Tidak ada yang perlu diselesaikan lagi, Bu. Semuanya sudah jelas,” jawab Kiya sembari menatap sendu wajah sang ibu. “Bukankah Ibu juga mendengar apa yang kedua orang tua A Amar katakan,” sambungnya.

“Biaklah.” Ratna mengangguk. Ia menggenggam tangan putrinya dan tersenyum hangat pada wanita itu. “Yang terpenting kamu harus sembuh,” imbuhnya yang hanya mendapat balasan senyum getir dari Kiya.

Ratna kemudian melangkah keluar dari kamar putrinya. Ia menjelaskan pada Amar jika Kiya masih belum bisa ditemui. Ia berharap agar Amar tidak menunggu dan memaksakan kehendaknya untuk terus menemui Kiya.

“Tolong sampaikan permintaan maaf saya pada Kiya, Bu. Saya tidak akan memaksa lagi untuk bertemu dengannya. Jika ini memang untuk kebaikan Kiya, saya akan berhenti sampai di sini. Saya harap Kiya bisa kembali seperti dulu,” tutut Amar dengan wajah sendu. 

Berat. Sudah pasti. Namun, Amar juga tidak bisa terus memaksakan keinginannya untuk tetap bisa bersama Kiya dan memperjuangkan hubungan mereka. Kiya sudah tidak merasakan lagi kenyamanan saat bersamanya dan itu hanya akan semakin menyakiti wanita yang ia cintai. Cukup ia menyebut nama wanita itu dalam doanya. Jika memang mereka ditakdirkan untuk hidup bersama, maka Tuhan akan menyatukan kembali cinta keduanya dengan cara yang lebih baik lagi.

Kiya bisa mendengar dengan jelas pembicaraan antara Ratna dan Amar. Rumah itu tidak terlalu besar untuk meredam suara antara ruangan yang satu dengan yang lain.  Kiya duduk termangu di sisi tempat tidur. Ingatan beberapa tahun lalu kembali berputar.

*Empat tahun lalu*

“Kami tidak bisa melanjutkan pernikahan Amar dengan Kiya, Bu Ratna. Ibu tahu, bukan? Semua orang sudah melihat dengan jelas aurat Kiya,” ucap wanita paruh baya yang memakai jilbab lebar berwarna hitam, yang duduk berhadapan dengan Ratna.

“Tapi ini semua adalah kecelakaan, Bu Ira. Kiya tidak sengaja melakukan itu. Ini diluar kendali siapa pun,” sanggah Ratna. Ia menatap kecewa pada calon besannya.

“Semua ini tidak akan terjadi jika Kiya bisa menjaga diri, Bu Ratna. Lagi pula, untuk apa anak gadis keluyuran malam hari,” tukas Aldi. Padahal sebelumnya Ratna sudah menjelaskan alasan Kiya pergi malam itu.

“Yah ….” Amar menatap sang ayah. Sorot matanya memancarkan permohonan agar pria paruh baya itu berhenti melontarkan kalimat yang akan menyakiti Kiya dan ibunya.

“Kalaupun pernikahan ini tetap berlangsung, Kiya hanya akan menderita karena keluarga besar kami tidak akan bisa menerimanya.” Ira mempertegas kalimat yang pertama ia ucapkan.

“Amar masih mau menunggu Kiya, Yah, Bu,” timpal Amar. Pemuda itu sedang mempertahankan wanita yang ia cintai.

“Apa kamu sudah tidak waras, Amar. Jika kamu masih tetap mau menikah dengan Kiya, nama kamu akan ayah coret dari keluarga kita!” ancam Aldi. Pria itu menatap berang pada putranya yang sedang tertunduk.

“Sudah, Nak Amar. Ikuti saja keinginan orang tua kamu. Jika kamu benar-benar mencintai Kiya, lepaskan dia,” pinta Ratna. Setetes air mata jatuh bersamaan dengan seulas senyum getir di bibir wanita paruh baya itu.

*

Kiya menyeka air mata yang terjun bebas membasahi pipi. Semua kalimat itu masih terngiang jelas dalam ingatan meskipun sudah berlalu beberapa tahun lalu.  Sakit rasanya. Tidak ada manusia yang menginginkan takdir buruk menimpa hidupnya, tetapi Kiya juga hanya manusia biasa yang tidak bisa mengelak dari garis takdir yang sudah ditetapkan oleh Sang Pemilik Kehidupan.

Kebenciannya pada Tuhan semakin besar setiap kali ia mengingat kejadian menyakitkan itu. Ia merasa hidup ini benar-benar tidak adil. Kiya menatap pantulan dirinya di cermin yang baru beberapa hari lalu Ratna pasang di kamarnya untuk mengganti cermin meja rias yang pecah.

“Lihatlah. Kamu sudah menjadi wanita kotor yang hina. Tidak ada yang bisa kamu harapkan lagi. Satu per satu orang yang kamu sayangi pergi meninggalkan kamu.” Kiya terus meracau, bicara  pada pantulan dirinya. 

Sesaat kemudian ia tertawa dan menangis bergantian. Memukul dadanya berulang kali karena sesak yang mengimpit. Melepaskan pria  yang ia cintai secara paksa itu sangat menyakitkan. Semakin terasa menyakitkan saat pria itu mau menerima kekurangan yang ada pada dirinya, tetapi hati menolak karena merasa tidak layak untuk mendapatkan cinta yang tulus itu. 

Kiya kembali menumpahkan tangisnya. Menjambak rambut dan memukul tubuhnya sendiri untuk meluapkan sakit yang teramat di hatinya. Kiya terus meraung. 

“Kamu sudah menjadi manusia wanita kotor, Kiya. Kamu tidak pantas dicintai oleh pria mana pun!” Kiya kembali berteriak. 

Brugh!

“Kiya!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status