Share

Tastpack

Petaka Mendua

Part7

Aisya bersimpuh di depan Ibu. Ibu tak bergeming, wajahnya terlihat begitu berusaha tegar, dengan mata yang terus berkaca-kaca.

"Aisya, meskipun kamu anak kandungku! Jika kamu berada di jalan yang salah, Ibu tidak akan membela kamu sama sekali." 

"Bu, tolong jangan sakiti Aisya! Semua ini murni kesalahan, Yusuf."

Ibu menatap tajam wajah Mas Yusuf. Sedangkan aku dan Bapak masih terdiam, menatap mereka bertiga.

"Kamu memang salah! Sangat salah, Yusuf."

Ibu menarik napas berat, lalu menghembuskannya dengan kasar.

"Asal kamu tahu, meskipun aku hanyalah seorang Ibu sambung. Cintaku untuk Aisya dan Karin itu sama! Aku dan Bapaknya, membesarkan mereka berdua dengan cinta. Kamu menyakiti Karin, itu sama menyakitiku."

Ibu berkata dengan menepuk-nepuk kasar dadanya, suaranya serak, bahkan seakan terdengar sesak. Ya Allah, ternyata ibu Hanum begitu mencintaiku.

Aisya tercengang mendengar penuturan Ibunya.

"Jika aku merestui hubungan kalian, itu sama saja aku yang mati rasa. Tidak ada seorang Ibu pun yang sanggup, melihat anaknya di pulangkan dalam lima bulan, setelah dinikahi. Aku hancur, aku yang paling sakit hati," teriak Ibu. 

Aku berlari kecil memeluk Ibu, ia semakin terisak, memelukku erat.

"Ya Allah, anakku! Maafkan Ibumu ini, sayang, wanita tua ini telah gagal mendidik adikmu."

"Ini bukan salah Ibu, semua sudah menjadi bagian takdir yang harus Karin jalani," sahutku sambil terisak.

Ibu melonggarkan pelukannya, ia kemudian mencium kedua pipiku, juga keningku.

Lalu kembali memelukku lagi. 

Bapak menatap kami dengan mata berkaca-kaca, sedangkan Aisya, ia semakin terisak, kemudian beranjak pergi. Ia berlari, masuk ke dalam kamarnya.

"Pulanglah, Nak. Bapak harap, besok kamu sudah urus perceraian kalian." 

Mas Yusuf mengangguk, kemudian berpamitan untuk pulang, ia berniat bersalaman dengan Ibu, namun Ibu tidak menghiraukannya.

Hanya Bapak, yang masih beramah-tamah dengan mas Yusuf.

"Apapun yang terjadi, kamu harus kuat! Ibu akan selalu ada untuk kamu, jika kamu butuhkan, kamu tidak sendiri anakku."

"Terimakasih, Bu. Sudah menjadi sosok pengganti Ibuku yang paling baik."

"Sama-sama, anakku!" 

Selama ini, aku tidak pernah sedekat ini kepada Ibu Hanum. Dua puluh tahun pernikahan Bapak dan Ibu, selama itu pula aku selalu menjaga jarak padanya.

Aku terlalu terkukung dengan  pemikiranku, bahwa Ibu Hanum tetaplah orang lain. Tapi ternyata, bagi Ibu Hanum, aku sama seperti Aisya, aku juga anaknya.

Aku menyesal dan kini bertekad dalam hati, bahwa aku akan mencintainya layaknya Ibu sendiri.

_________

Azan subuh berkumandang, seperti biasa, keluargaku semua harus bangun, untuk menunaikan ibadah salat subuh berjamaah di rumah. Hanya Bapak, yang pergi ke surau terdekat, sedangkan kami salat bersama di rumah.

"Karin ..., Karin ...." Terdengar suara ibu yang begitu panik, memanggil namaku.

Aku yang tadinya mengambil wudu pun terkejut, kemudian bergegas menghampiri Ibu.

"Ada apa, Bu? Karin tadi di belakang, mau mengambil air wudu."

"Ais ..., Aisya kabur, Rin."

Ibu terisak, ia terduduk di bangku kayu, di samping meja galon air minum.

"Astaghfirullah, Ibu yakin?" tanyaku, memastikan.

"Ibu yakin, Nak." Ibu memberikan sepucuk surat, yang Aisya tinggalkan di atas kasur.

"Berbahagialah kak Karin, aku sudah mengambil seluruh kebahagiaan yang memang seharusnya menjadi hakku dari awal. Ikhlaskanlah kami bahagia, jangan mengusik kami. Ibu dan Bapak tidak perlu repot-repot mencariku, aku akan pergi ke rumah Ayahku. Aku dan mas Yusuf akan segera menikah secepatnya."

Aku meremas-remas surat sialan itu, dan membuangnya ke tong sampah.

"Bu, biarkan saja, ini jalan pilihan Aisya. Ibu sudah berusaha mengingatkannya, namun ia tetap pada keputusan itu, jadi semua bukan salah Ibu lagi."

Ibu menatapku dengan tatapan sedih. "Kamu baik-baik saja, Nak?" Ibu bertanya, dengan mengusap pelan tanganku.

"InsyaAllah, Karin tidak apa-apa!" sahutku sambil tersenyum. "Ayo kita salat," lanjutku.

Dua hari kepergian Aisya, Ibu sepertinya sudah tidak begitu sedih lagi, tidak seperti di awal.

Hari ini, surat panggilan sidang, dari pengadilan agama yang ada di kota sudah sampai ke rumahku.

Untuk mempermudah proses gugatan, aku sengaja tidak hadir, hanya menunggu akta cerai, yang nanti mas Yusuf akan berikan.

"Bu, siang-siang begini, enak deh ngerujak! Karin pengen," rengekku manja. 

"Duh anak Ibu, kayak orang ngidam saja!" celetuknya.

"Apa iya ya, Bu. Sudah dua Minggu ini, Karin telat datang bulan. Mana mual terus rasanya, pengen makan yang asem-asem."

"Ya Allah, Nak. Jangan-jangan kamu beneran hamil." 

"Aduh Ibu, Karin takut."

"Yasudah, Ibu belikan tastpack dulu di toko Bu Daung. Kamu di sini saja, tunggu Ibu datang."

Aku hanya mengangguk, Bapak masih di kebun, jadi hanya ada aku dan Ibu di rumah.

Sepulang dari toko Bu Daung, Ibu membawa tastpack, dan rujak buah.

"Yey, asik. Ibu beli dimana?" tanyaku berbinar, meraih plastik rujak buah dari tangan Ibu.

"Tadi di depan toko Bu Daung, ada tukang rujak, lagi mangkal. Sekalian saja Ibu beli."

"Terimakasih, Bu. Karin sayang Ibu." Aku memeluk sayang tubuhnya, seraya tersenyum bahagia.

"Ini Nak, kamu test dulu, Ibu penasaran soalnya."

Aku pun mengangguk, mengambil tastpack, dan membawanya masuk kedalam kamar mandi.

Semoga pikiranku salah, deg-degan rasanya. Aku mulai meletakan alat testnya di dalam urin milikku.

Beberapa detik kemudian, aku tercengang, melihat hasilnya.

"Ibu ...." Aku memekik.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Lestari
waduuuh.... gmn nich... karin hamil.... bahagialh karin.... dpt hadiah soesial Anugra dr Alloh Swt.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status