Rose saat ini sedang berdiri di depan cermin besar. Ia dipaksa mencoba sejumlah gaun putih oleh sang pemilik butik. Hampir satu jam ia bertahan, tapi tidak ada satu pun gaun yang mampu menarik minatnya. Penyebabnya bukan karena gaunnya yang jelek, tapi perasaannya yang kacau."Bagaimana, Nona Rose? Gaun mana yang Anda pilih?""Yang mana saja, Nyonya. Tolong bantu pilihkan untuk saya," jawab Rose enggan.Wanita pemilik butik itu keheranan. Selama ini ia belum pernah bertemu calon mempelai wanita yang lesu dan tidak bersemangat dalam memilih gaunnya."Sebentar saya akan mengambilkan koleksi gaun yang lain."Ketika wanita itu berjalan keluar, ia berpapasan dengan Luke."Nyonya Viola, apa Rose sudah memilih gaunnya?""Belum, Tuan Luke. Nona Rose tidak menyukai gaun putih yang saya tunjukkan.""Mungkin warna putih tidak cocok dengan kepribadiannya. Coba carikan warna lain. Yang ada motif mawar misalnya.""Mawar?""Iya sesuai namanya, Rose.""Kami punya satu gaun dengan payet mawar merah. A
"Jangan coba melepaskan alat itu. Ingat, aku selalu memantau pergerakanmu dari kejauhan," ucap Luke sebelum Rose melangkah dari pintu.Tanpa menghiraukan Luke, Rose berjalan menuju ke gerbang. Entah kenapa pria ini begitu terobsesi untuk mengontrol hidupnya. Bahkan tidak mau membiarkannya bebas untuk beberapa jam saja."Daddy," panggil Rose. Begitu melihat Rose, Denzel langsung turun dari mobil. Dengan sikapnya yang gentleman, Denzel membukakan pintu untuk Rose."Silakan masuk, Nona.""Terima kasih, Daddy," ucap Rose duduk di samping Denzel.Sesaat Denzel terpesona dengan penampilan Rose yang sangat berbeda hari ini. Dewasa, cantik dan lebih berani. Hal ini semakin menyadarkan Denzel bahwa Rose telah tumbuh menjadi wanita yang menawan. Bukan lagi gadis remaja yang pemalu seperti dulu."Maaf, Daddy harus menunggu di gerbang. Luke memang keterlaluan membuat peraturan seperti ini.""Saya tidak keberatan, Nona. Saya setuju selama tujuannya untuk melindungi Nona. Ini untuk Nona," kata Denz
Denzel menurunkan Rose di depan gerbang mansion. Setelah kedekatan yang terjalin selama tujuh tahun, Rose sangat sensitif terhadap perubahan sikap Denzel. Biasanya Denzel selalu menatapnya dengan hangat, tapi pandangan itu lenyap sudah. Kini yang tersisa hanyalah tatapan dingin dari bola mata sebiru samudera itu. Tak ayal hati Rose terluka karenanya. Hubungan yang terbangun di antara mereka selama bertahun-tahun hancur dalam waktu semalam. Ia harus kehilangan satu lagi orang yang paling berharga dalam hidupnya. Tapi ia harus menyalahkan siapa? Luke? Percuma saja karena ia sendiri yang setuju untuk menikahi pria pendendam itu. Barangkali sudah takdirnya harus terbelenggu dalam pusaran karma yang tiada henti. Kehadirannya di dunia telah menyakiti hati seorang wanita karena itu ia pun harus menanggung rasa sakit yang sama. "Jaga kesehatanmu, Daddy," kata Rose sebelum keluar dari mobil. Rose ingin memeluk Denzel untuk terakhir kali, tapi rasanya mustahil setelah luka dalam yang ditorehka
Setelah melewati empat orang pengawal yang berjaga, Denzel menuju ke ruang kerja ayahnya."Apa Papaku ada di dalam?" tanya Denzel kepada asisten pribadi ayahnya."Iya, Tuan Denzel. Tapi Beliau sedang menerima tamu.""Bukakan pintunya. Aku perlu bicara dengan Papaku.""Saya perlu bertanya dulu pada Tuan Besar.""Tidak usah bertanya. Aku ini anaknya. Aku bisa menemuinya kapanpun aku mau."Tanpa mempedulikan larangan dari asisten ayahnya, Denzel menerobos masuk. Ia melihat ayahnya sedang berbicara serius dengan seorang pria. Namun pria itu mengenakan topeng untuk menyembunyikan wajahnya."Denzel, angin apa yang membawamu datang kesini?""Aku ingin bicara empat mata dengan Papa. Tolong minta dia pergi sebentar.""Pasti kamu ingin membicarakan tentang Rose Black. Apa kamu sudah melamarnya? Katakan saja, tidak ada yang perlu ditutupi.""Aku tidak mau membicarakan masalah pribadi di hadapan orang asing," ketus Denzel."Dia adalah sekutu kita, bukan orang asing."Pria bertopeng itu beranjak d
Rose turun ke lantai bawah dengan wajah masam. Esme dan Benjamin sampai keheranan melihat ekspresi kesal Rose di pagi hari."Ben, tolong turunkan lukisanku dari lantai tiga. Aku akan membawanya ke mobil," kata Rose duduk di meja makan. Mau tidak mau ia harus membawa lukisannya daripada datang ke kampus dengan tangan hampa."Baik, Nona."Esme membuatkan sandwich sayuran untuk Rose sambil menatap lamat wajah gadis itu."Nona Rose, Tuan Muda mempekerjakan supir baru. Katanya dia bertugas mengantar jemput Nona setiap hari. Badannya sangat besar, lebih mirip mafia daripada supir," terang Esme."Dimana supir itu?""Di halaman depan, Nona.""Esme, terima kasih atas sandwichnya. Aku akan berangkat ke kampus sekarang.""Tapi Nona baru makan sedikit sekali.""Lain kali aku akan makan lebih banyak," jawab Rose melambaikan tangannya.Benar saja saat menuju ke mobil, supir bernama Noah itu telah siap menunggunya. Dengan tangannya yang besar, Noah membantu Ben memasukkan lukisan ke dalam mobil.Sep
Setelah dinobatkan sebagai pemenang, Anneth tak henti mengumbar senyuman. Ia juga tak segan menempel pada Luke hingga kelas melukis selesai. "Aku yakin sebentar lagi Anneth akan meminta nomor ponsel Luke Brown. Lalu dia akan merayu dan menggoda pria tampan itu supaya naik ke atas ranjangnya," bisik Gwen sebal. Rose tidak menanggapi tapi telinganya memanas. Jika dilihat dari kelakuan Anneth, apa yang dikatakan Gwen bisa menjadi kenyataan. "Tuan Luke, terima kasih telah meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu dengan kami. Semoga Anda tidak bosan datang ke kampus ini jika kami mengundang Anda lagi. Mari kita makan siang bersama," ajak Mr. Zack. "Maaf, hari ini saya ada urusan keluarga. Lain kali saya pasti akan memenuhi undangan Anda, Mr. Zack." Luke meninggalkan kelas bersama Mr. Zack. Ia tidak melihat ke arah Rose sama sekali bahkan ketika melewati gadis itu. Tampaknya Luke memenuhi permintaan Rose agar mereka berdua bersikap sebagai orang asing. Tapi anehnya Rose justru merasa ters
Pendeta memandu kedua mempelai untuk mengucapkan janji suci pernikahan. Luke terlebih dahulu mengatakannya dengan lancar, mantap dan tanpa beban. Sedangkan ketika tiba giliran Rose, gadis itu mengucapkannya dengan terbata-bata meskipun akhirnya berhasil juga.Luke menatap Rose sekilas. Ia tahu gadis ini sekarang menikah dengannya karena keterpaksaan. Tapi setelah pernikahan ini dia akan membuat Rose jatuh cinta padanya. Bahkan bila perlu ia akan membuat wanita ini tidak bisa lepas dari genggamannya."Mulai hari ini kalian berdua adalah pasangan suami istri yang sah di hadapan Tuhan. Apa yang dipersatukan Tuhan tidak bisa diceraikan oleh manusia," ucap sang Pendeta sebagai tanda resminya pernikahan Luke dan Rose.Berikutnya, Luke membuka kotak cincin. Di dalamnya ada sepasang cincin pernikahan bertahtakan diamond putih. Luke meraih tangan kanan Rose lalu memasangkan cincin indah itu di jari manis istrinya. Rose tidak bereaksi. Seindah apapun cincin yang melingkar di jarinya sama sekali
Terima kasih," ucap Luke kepada karyawan cottage yang membantunya. Masih menggendong Rose, Luke menutup pintu kamar dengan kakinya."Aku bukan orang lumpuh, Luke. Tolong turunkan aku," pinta Rose merasa risih.Luke menurunkan Rose di tepi tempat tidur dengan posisi duduk. Ia berjalan ke pintu lalu menguncinya dari dalam. Darah Rose berdesir cepat. Berduaan dengan Luke setelah mereka menjadi suami istri membuatnya sangat canggung.Luke membuka tuxedo dan rompinya lalu menyampirkannya di atas kursi. Ia menatap dalam Rose yang masih duduk tak bergerak."Katamu tadi kerepotan memakai gaun itu? Kenapa tidak melepasnya?" tanya Luke mendekat."Aku akan melepasnya tapi tolong kamu keluar dulu dari kamar ini.""Lepas saja di hadapanku. Kita sekarang suami istri, tidak ada yang perlu kamu sembunyikan. Lagipula kamu tidak akan bisa membuka gaun itu tanpa bantuanku," tunjuk Luke ke bagian belakang gaun pengantin yang dipakai Rose.Rose berdiri dan menghadap ke cermin. Apa yang dikatakan Luke mem