“Saya belum pernah bertemu, tapi dulu beliau memborong obat-obat kami dengan harga tinggi.” “Ck! Cuma segitu saja.” Danar mengibaskan tangan. “Sudahlah, tidak perlu membahas dia. Pokoknya, aku pesan jamu tadi tiga gentong.” Sabar, Aleeya ... sabar .... “Kira-kira sebulan lagi akan kuambil.” Aku membungkukkan badan sedikit. “Baiklah, Tuan.” “Ini bayarannya.” Danar mengambil kantung kulit dari balik baju dan menyodorkannya padaku. “Ini kebanyakan, Tuan.” “Itu bukan apa-apa. Aku bisa membeli lebih banyak daripada Kangmas Dharma.” Halah, ternyata hanya karena persaingan! Tak apalah, yang penting aku jadi untung. “Baiklah, aku harus pergi, sebulan lagi akan kembali ke sini.” Danar bangkit dari kursi. Dia melangkah ke luar toko masih dengan gaya jemawa. Setelah memastikan si resek sudah benar-benar pergi, aku langsung menendang meja demi melampiaskan amarah yang sedari tadi harus dipendam. *** Aku merapikan alas tempat tidur, juga menata bantal agar nyaman digunakan. Setelah itu
Aroma karbol menelusuk hidung. Hawa dingin terasa menusuk kulit. Aku perlahan membuka mata. Ruangan serba putih dengan berbagai mesin penyangga kehidupan tertangkap pandangan. “Ini ... ruang ICU?” gumamku lirih. Raka tidak menyahut, hanya menepuk bahuku pelan. Dia seperti mengisyaratkan agar mengalihkan pandangan pada sosok tergolek lemah di ranjang ruang ICU. Hati seketika mencelos. Wajah pucat tertutup masker oksigen itu sangat familiar. Ya, itu aku. Suara mesin EKG terasa mencekik, bagaikan alarm kematian yang siap berbunyi kapan saja. Namun, hal paling menyedihkan adalah sosok di samping ranjang pasien. Mata tua tampak lelah dan terluka. Sementara buliran bening terus mengaliri pipi tirus. Aku menghambur ke arah beliau dan mendekap erat. “Ibu .... Aku rindu sekali, Bu.” Namun, kenyataan pahit menghantam. Hangatnya tubuh Ibu tidak terasa. Aku memeluk lebih erat, lagi-lagi tembus pandang, seolah hanya mendekap udara. “Maaf kamu tidak akan bisa menyentuh beliau,” bisik Raka.
Ghaida yang tadinya masih syok, entah bagaimana sudah berada di hadapan Ardhan dan melayangkan tamparan. Dadanya tampak naik turun. Dengkusan napas terdengar keras. Wajah manis itu merah padam. “Ghaida? Kamu tolong beritahu Ibu, aku ingin bertemu Aleeya," pinta Ardhan dengan wajah memelas. Ish! Sejak kapan ibuku menjadi ibunya? “Lancang sekali, ya, Kakak!” Ibu menepuk bahu Ghaida. “Memangnya dia kenalan Aleeya?” “Dia mantan pacar Kak Leeya, Bu! Dia sudah mempermainkan Kak Leeya!” Ghaida mengepalkan tangan dan menatap tajam pada Ardhan. “Setelah berbuat sejahat itu, Kakak masih punya muka untuk datang ke sini?” cerocosnya. Keadaan bertambah buruk. Rosa dan Dokter Syahril entah dari mana tiba-tiba sudah ada di lokasi. Wajah sahabatku itu memerah. Dia pun mendaratkan tamparan kedua di pipi Ardhan. Untunglah si dokter jiwa lebih tenang dan berusaha menyabarkan Rosa. “Oh jadi, kamu mantan berengs*k yang sudah menyakiti Leeya? Dasar adik nggak ada akhlak!” bentak Rosa. Ardhan tamp
Pemuda itu mengerutkan kening. Aku menggigit bibir, lagi-lagi keceplosan. Kemiripan wajah yang hampir seratus persen membuat khilaf. Pembeda tabib kakaknya Danar ini dengan Dokter Syahril hanyalah gurat usia. Dia terlihat lebih muda sepuluh tahunan. Konyolnya lagi, mereka sama-sama bersaudara, Danar dengan Tabib Dharma, juga Ardhan dan Dokter Syahril. Aku bisa gila kalau begini. Jangan-jangan mereka punya saudara perempuan yang mirip Rosa. Pantas saja seperti pernah mendengar namanya. Syahril Dharmawan adalah nama lengkap si psikiater. “Nona, Anda baik-baik saja?” Dokter Syahril eh maksudku Tabib Dharma berjongkok, lalu membantu berdiri. Aku menelan ludah karena mendapat tatapan membunuh dari kerumunan para gadis yang mengidolakan sang tabib. Suara sumbang mereka menuduhku hanya mencari perhatian dengan berpura-pura jatuh. “Terima kasih, Tu–” Belum habis berkata-kata, Danar merangsek maju, melepas paksa tangan kakaknya dari bahuku. Dharma mendelik pada sang adik. Para gadis bert
“Tuan Pengawal kenapa harus ikut? Tuan, kan, tidak tahu apa-apa juga tentang tanaman obat,” omel Bawang Putih ketika Danar ikut serta dalam rombongan kami. Aku kembali menghela napas berat. Pikiran sudah dipenuhi beban akibat lirikan dan bisikan sinis gadis-gadis penggemar dua pemuda tampan ini. Bawang Putih malah selalu saja mencari masalah dengan Danar. “Aku menjaga dari bahaya yang bisa saja datang,” ketus Danar. Dia pun menjelaskan bahwa rencana kembali ke istana ditunda karena mendapat pesan dari Pangeran Arya. Sang pangeran meminta Danar untuk menjaga Bawang Putih. Secara kebetulan, di tengah jalan bertemu Dharma yang memang sedang menuju rumah kami untuk membeli tanaman obat. Mereka pun pergi bersama-sama. “Halah, pertama kali bertemu saja, kamu sudah mau membunuh Mbakyu,” sindir Bawang Putih. Keduanya pun kembali bertengkar. Dharma malah tergelak. Aku langsung menjawil lengannya. Dia menatapku dengan alis naik beberapa senti. “Ada apa?” tanyanya. “Kenapa kamu tertawa, M
Aku mendelik tajam menatap si ikan mas, lalu berbicara melalui telepati, "Hei, Raka apa yang kau rencanakan?" Ikan mas tukang modus itu malah berenang dengan berbagai gaya. Bawang Putih kegirangan melihatnya. Sementara Tabib Dharma dan Danar melongo dibuatnya, mungkin tak menyangka akan ada ikan mas seaneh itu. Aku menatap Raka lebih tajam. "Jawab, Raka! Atau kau mau kujadikan ikan bakar, hah?" ancamku melalui telepati. Suara Raka mendadak menggema dalam pikiran. “Dua saingan berat muncul. Aku akan mengawasimu, Sayang.” “Rakaaa!” “Mbakyu, kenapa? Kenapa marah pada Raka?” Mata Bawang Putih berkaca-kaca. “Tidak apa-apa, Putih. Tadi ada semut yang menggigit tangan Mbakyu, jadi kaget dan berteriak.” Syukurlah, Bawang Putih percaya. Aku melotot lqgi pada Raka di dalam gentong. Ikan mas tukang modus itu membuka tutup mulutnya, membuatku seketika ingin memasak ikan bakar. Beruntung, Bawang Putih segera mengamankan gentong berisi Raka ke samping rumah. Ibu juga keluar dari dapur dan m
“Raka, Mbakyu .... Raka tidak bergerak. Lakukan sesuatu Mbakyu huhuhu ....” Aku melepaskan cengkraman Danar dan menghampiri Bawang Putih. Benar ucapannya, ikan mas tampak terapung dengan tubuh terbalik. Raka cengengesan saat dipelototi. “Ya sudah sini gentongnya!” Aku pun mengambil alih gentong dari pelukan Bawang Putih, lalu bergegas ke luar kedai. Tentu saja, Raka juga ikut diseret. Sempat terlihat wajah merah padam Danar. Sementara Dharma memasang raut wajah yang semakin muram. Masa bodoh dengan mereka! Urusan ikan mas ini harus diselesaikan lebih dulu. “Cepat balik ke tubuh ikan mas!” perintahku. “Aku tidak tahan melihat mereka cari perhatian kamu. Aku menyesal, tahu begini, tidak akan aku–” Aku mendelik. “Tidak akan apa?” “Tidak ada apa-apa.” Aku menatap lekat. Raka mengalihkan pandangan, lalu tiba-tiba menghilang. Ikan mas dalam gentong sudah sehat kembali dan berenang-renang dengan riang. Dasar curang! Huh, ya sudahlah! Nanti kuinterogasi lagi. Aku membawa gentong
Tepukan pelan di pipi membuatku membuka mata perlahan. Pandangan sempat buram sebelum terlihat wajah tampan sekaligus cantik tengah tersenyum manis. Aku hampir tak sadarkan diri lagi. “Tunggu, Sayang, jangan pingsan dulu! Aku bisa jelaskan!” Kenapa jadi seperti adegan di drama perselingkuhan? Aku mengerjap berkali-kali. Sosok Raka masih ada di hadapan. Mata menelusuri setiap inci tubuhnya, bukan mesum, tapi hendak memastikan tidak ada bekas gigitan. “Ikan mas itu memang sudah mati, tapi kutukanku sudah terlepas,” jelasnya seolah mengerti pikiranku. Ralat, dia memang bisa membaca pikiran. “Kutukannya lepas?” “Kamu masih ingat waktu kubilang, kutukannya akan lepas jika dicium gadis yang tulus?” Aku mengangguk, berpikir sejenak dan refleks menepuk kening. “Ciuman Bawang Putih!” “Tepat sekali.” Raka pun menjelaskan kronologis kejadiannya. Saat Bawang Putih mencium ikan mas kemarin, kutukannya langsung terlepas. Namun, dia ingin berbuat jail padaku sehingga masih merasuki si ikan