Share

Lakukan saja!

"Panggil aja anakmu itu!" Papa berucap dengan nada sedikit membentak. 

"Kalau Papa nggak mau bilang tamu itu siapa, lebih baik Lilyah tetap di kamar!" Mama juga tidak mau kalah berargumen dengan Papa. 

Kemudian Papa menghela nafas kasar sambil berkacak pinggang. Ekspresi wajahnya terlihat menahan emosi yang teramat karena selalu dihadapkan dengan pertengkaran bersama Mama. 

"Dia ---"

"Pa, anaknya udah aku persilahkan duduk," Vela menyela obrolan Mama dan Papa dengan wajah sumringah dan bahagia

Adikku telah berubah dengan tidak lagi bersikap manis itu justru bertindak sebagai angin yang terus berhembus di ladang hati Papa yang tengah terbakar. Akibatnya usahaku dan Mama menaburkan air yang tidak seberapa untuk meredam amarah Papa, tidak sepenuhnya berhasil. 

Alih-alih justru gagal. 

"Suruh anakmu keluar!"

Hanya itu yang Papa katakan lalu aku kembali luruh ke lantai dengan kepala yang masih berdenyut nyeri. Tidak lama kemudian, Mama mengetuk kamarku. Beliau menyuruhku untuk memakai baju yang lebih sopan sambil terus mengucapkan kata-kata yang menenangkan. 

Papa adalah kepala keluarga kami, dan aku sebagai anak hanya bisa menuruti apa kemauannya. Bukan aku tidak memiliki kekuatan untuk melawan, hanya saja aku tidak mau hidupku makin berantakan karena melawan restu orang tua. Meski semuanya diawali dengan kesalahpahaman yang tidak termaafkan. 

"Mama akan selalu melindungi kamu, Ly. Jangan takut."

Usai membantuku merapikan rambut, Mama menuntunku menuju ruang tamu tempat dimana Papa menjamu teman Vela. Tawa Papa terdengar renyah ketika membahas satu hal yang tidak kupahami hingga akhirnya aku duduk di sofa yang berseberangan dengan lelaki itu. 

Kepalaku terus tertunduk untuk menyembunyikan jejak kesedihan yang menempel kuat di wajahku. Malu lebih tepatnya. 

Malu andai lelaki itu tahu jika aku gagal menikah dengan lelaki pujaanku karena kejadian satu malam yang belum kuketahui pasti apa yang telah terjadi pada diriku. Konyol sekali rasanya, aku harus kehilangan calon suami sebaik dan semapan Ishak. 

"Ma, kenalin. Ini namanya Lois. Temannya Vela," Papa berucap dengan nada tenang. 

"Ya," jawab Mama singkat tanpa mau berbasa basi. 

"Aku udah bilang sama Lois, kalau dia bakal menikahi Lilyah dengan upah tiga puluh juta."

Aku memejamkan mata mendengar penuturan Papa sekaligus menyumpahi lelaki bernama Lois itu yang mengapa dengan sudinya menikahiku demi uang yang tidak seberapa? Apa dia sangat kekurangan uang untuk bertahan hidup?

"Pa, aku ---"

"Diam, Lilyah! Masih bagus ada Lois yang mau nikahin kamu tanpa banyak tanya! Harusnya kamu bersyukur!" bentakan Papa kembali terdengar. 

"Lalu kapan kira-kira Kak Lily sama Lois menikah, Pa?" itu suara riang Vela yang sangat ingin kubenci. 

Dia adalah adik berbulu bison! 

"Lebih cepat lebih baik. Papa nggak tahan sama gunjingan tetangga kanan kiri."

"Oh ya Pa, setelah nikah nanti gimana? Maksudku ... tempat tinggal Kak Lily gimana?"

"Papa kasih Lois tiga puluh juta itu sepaket sama perginya Kakakmu dari rumah ini, Vel. Jadi terserah Lois mau ngasih Kakakmu itu tidur dimana."

"Paa! Apa-apaan kamu itu!" sergah Mama. 

"Aku masih berbaik hati ngasih tiga puluh juta biar Lois bisa milihin tempat tinggal buat anak nggak tahu diri itu! Masih bagus aku mikirin kehidupannya setelah pergi dari rumah ini!"

Mama beralih menatap Lois dengan menahan emosi di dada, "Apa pekerjaanmu?"

"Saya ... eh ... punya band lokal, Bu."

"Band lokal? Apa maksudmu?"

"Ya ... kami bermusik dari satu kafe ke kafe yang lain. Atau kalau lagi sepi kami menghibur orang-orang yang sedang menikmati malam minggu di alun-alun."

Aku menghela nafas pelan nan panjang. Sungguh, pekerjaan Lois sangat berbeda jauh dengan Ishak. 

Seniman jalanan versus manajer pemasaran. 

Ibarat kata, usai diterbangkan ke langit ke tujuh, aku dihempaskan ke dasar samudra. 

"Apa? Lalu berapa pendapatanmu sebulan?"

"Kadang tidak tentu, Bu. Kalau kafe sedang ramai, kami bisa dapat banyak dari saweran. Tapi kalau sepi ya kami harus putar strategi."

"Lalu gimana kamu bisa menghidupi anakku?!"

"Maaf, Bu. Rezeki itu sudah diatur Tuhan. Dan bukankah saya menikah dengan kakaknya Vela hanya untuk membantu menyelamatkan nama baik keluarga anda?"

Jawabannya cukup berani dan lugas, bahwa aku tidak perlu khawatir soal rezeki. Bila aku merasa tidak mampu hidup di luar rumah karena gajiku yang belum seberapa, lalu bagaimana dengan Lois? Dia seakan tidak takut menghadapi kemiskinan sekalipun karena percaya akan bantuan Tuhan selama mau berusaha. 

Dan untuk autophobia yang kumiliki, mungkin aku harus belajar membiasakan diri lebih berani saat sendiri meski nyatanya itu tidak mudah. 

Papa tertawa sambil mengangguk, "Kamu luar biasa, Lois. Kamu benar-benar penolong nama baik keluargaku. Kalau begitu pernikahan kalian dilakukan minggu depan aja."

"Paa! Kenapa secepat itu?" Mama kembali berseru. 

"Udah aku bilang kan, Ma. Semakin anak pembuat onar itu pergi, maka semakin baik! Biar tetangga juga segera tahu kalau biang kerok ini udah nggak disini lagi!"

Kepalaku mengangguk dengan sesak di dada, "Oke, Pa. Lakukan apa yang Papa mau."

Sejurus kemudian aku memberanikan diri menatap wajah Lois karena sedari tadi aku sibuk menyembunyikan gurat kesedihan di wajah. Biarlah dia tahu jika calon pengantinnya ini adalah wanita patah semangat. 

Bila kalian berpikir Lois adalah lelaki berwajah tampan, setampan namanya, maka kalian keliru besar. Karena dia memiliki ...

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Bocah Ingusan
ga mutu ceritanya.. males
goodnovel comment avatar
Syahrana Syah
kok saya kembali ke bab awal ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status