"Hira!" panggil Derya antusias sambil melambaikan tangan ke arah Hiranur yang baru saja tiba di Glamour Resto, "Di sini, Hira!"
Menyembunyikan segala kelicikan dalam hati, Derya berdiri menyambutnya. "Wah, cantik banget kamu malam ini, Hira. Abang sampai pangling."
Mengunduh pujian semewah itu, Hiranur merasa tersanjung. Melayang-layang perasaannya di ketinggian angkasa namun tak lantas terlena, tentu saja. Dia masih ingat, bagaimana reputasi Derya sebagai play boy cap kakap di kantor. Jangankan gadis belia sepertinya, mamak-mamak beranak tiga pun bisa digodanya.
"Ah Abang, bisa saja?" Hiranur memberikan sikap menampik pujian mewah itu tadi, sambil menghempaskan tubuh rampingnya di kursi yang ditunjuk Derya, "Hira biasa saja kok, Bang? Oh ya, ada apa Bang … Sampai mengajak Hira makan malam begini?"
Derya sedikit mengernyitkan kening. Berpikir keras, harus dari mana memulai semuanya agar terkesan santai, baik dan yang paling penting tidak menimbulkan kecurigaan dalam diri Hiranur. "Duduk saja dulu, Hira. Kita pesan makanan dulu saja, ya? Kamu mau makan apa, spaghetti atau apa? Tulis saja Hira, atau sini biar Abang saja yang tulis?"
Derya sungguh berapi-api sekarang. Terlebih setelah sejenak mengamati mimik wajah sekaligus gesture tubuh gadis cantik dan lembut itu. Belum-belum harapan akan kesuksesan sudah berkilauan di depan mata. Selama menuliskan menu makanan untuk mereka, sesekali Derya melirik lembut namun dalam ke arahnya. Memastikan kalau ini adalah sebuah awalan yang sangat tepat.
"Hira minumnya lemon tea saja, Bang." kata Hira usai menyebutkan salad buah dan selat Solo sebagai menu pilihan, "Soalnya sudah malam ini, biar lemak nggak menumpuk di perut. Hehe."
"Oke, deh. Siap, Hira!" tanpa menunggu satu detik pun berlalu, Derya segera menuliskan menu pilihan Hiranur, "Ada lagi, Hira?"
Hiranur tersenyum malu-malu. "Nggak Bang Derya, terima kasih."
"Yuk, sama-sama Hira." Derya memasang wajah super ramah plus hangat, "Abang senang kok, bisa makan bareng Hira."
Usai percakapan yang singkat-singkat itu, baik Derya maupun Hiranur sama-sama terdiam. Terlebih ketika Derya memanggil seorang pelayan dan menyerahkan daftar menu mereka. Keduanya justru terlihat canggung, malu-malu namun Derya segera mengatasinya. Ibarat mencari udang batu di sungai, dia tak mau kehilangan kesempatan sama sekali. Satu detik pun, jangan sampai terjadi.
"Gimana Hira, apa kamu masih komunikasi sama Kama?" Derya memulai tembakan pertamanya. Pandangan penuh selidiknya tersorot sempurna ke bola mata Hira yang tiba-tiba berair dan merah. "Eh, maksud Abang apa kamu masih dekat sama dia? Gimana kabarnya, kerja di mana dia sekarang?"
Hiranur tertunduk lesu. Kesedihan mulai merambati hatinya yang sudah lama retak parah akibat gagal mendapatkan cinta Kama. Teringat kembali, bagaimana Kama tidak membalas pesannya sama sekali tadi, beberapa saat sebelum berangkat ke Glamour Resto ini. Entah mengapa keinginan untuk menyapa, menanyakan kabar begitu besar dirasakannya. Ya, walaupun sadar, besar risikonya. Salah satunya harus menanggung kesedihan ketika Kama mengabaikan seperti sekarang ini.
"Hira, kamu kenapa?" membesarkan perhatian Derya bertanya, "Eh sorry, sorry … Abang salah ya, sudah menanyakan soal Kama tadi? Abang pikir kalian masih de---"
"Nggak apa-apa kok, Bang." Hiranur mendongakkan wajah, memangkas perkataan Derya yang mengandung perasaan bersalah, "Sejak Bang Kama resign dulu, kami nggak pernah komunikasi lagi. Bahkan, Hira nggak tahu di mana Bang Kama sekarang ini berada."
Derya mencondongkan tubuh ke arah Hira, mencurahkan segenap perhatian yang dia punya. "Oh Hira, Abang ikut prihatin, ya? Eh tapi ngomong ngomong, dulu itu kalian pernah pacaran atau jadian nggak, sih?"
Lagi, Hira menunduk lesu. Terlihat jelas kesedihan yang begitu besar baru saja mengisi hatinya. Matanya sudah tegenang air merah sebelum menunduk tadi. Dalam hati, Derya melompat-lompat kegirangan seperti orang gila. Dia yakin, Hiranur sudah masuk ke dalam perangkapnya dengan sempurna. Sekarang tinggal memainkan cerita selanjutnya.
'Bravo, Derya!' serunya dalam hati sambil terus mengamati Hiranur yang masih menunduk, 'Mainkan terus, sampai Seika terjatuh utuh ke dalam pelukanmu. Minimal itu. Haha hahahaha … Seikanya dapat, Euronya juga dapat. Derya, Derya! Beruntung sekali hidupmu.'
Derya beringsut turun dari kursi, melangkah pelan-pelan ke belakang kursi Hiranur. Dengan sangat hati-hati, meletakkan kedua tangannya di meja, mendekatkan bibir ke telinga kanan Hiranur yang mulai terisak-isak. "Hira, jangan menangis. Nanti orang-orang tahunya Abang yang sudah membuat kamu menangis. Jangan bersedih lagi ya, Abang minta maaf? Abang nggak bermaksud membuatmu menangis seperti ini Hira, percayalah."
Tangis Hira semakin pecah dan itu peluang besar bagi Derya untuk menempuh langkah berikutnya. Dengan ketenangan dan kelembutan yang luar biasa, Derya berbisik lirih pada Hiranur, "Hira, boleh Abang kasih saran? Kalau kamu sungguh-sungguh mencintai Kama, perjuangkanlah. Bersedih dan menangis saja takkan cukup, Hira."
***
"Tapi bagaimana caranya, Bang?" Hiranur menyahut di antara isak tangisnya yang belum mereda, "Mustahil Bang Kama meninggalkan Seika kan, Bang? Seika punya segala-galanya sedangkan Hira? Lagi pula, tak mungkin Hira merusak hubungan mereka. Hira nggak mau jadi perusak, Bang."
Oleh karena pelayan datang mengantarkan makanan, Derya menarik kedua tangannya dari meja, memindahkan ke saku celana. Detik berikutnya dia berjalan kembali ke kursinya. Berdiri sejenak, memandang serius ke arah Hiranur yang mulai mengangkat wajah.
Demi menyempurnakan awalan yang dibuatnya, Derya menyimpulkan sebuah senyuman. Menyedekapkan tangan, memandang fokus dan lurus Hiranur yang menunggu jawaban darinya. Setelah pelayan berlalu dari hadapan mereka, dia bercakap dengan penuh semangat, "Hira, mereka kan belum menikah? Masih pacaran. Kalau kata Abang sih, selama janur kuning belum melengkung, kamu masih bisa mendapatkan Kama. Asal, kamu bersungguh-sungguh memperjuangkannya."
Hiranur merapikan bagian depan kerudungnya yang terasa miring, mendesah berat lalu menghela napas panjang. "Hira … Kasih tahu Hira Bang, apa yang harus Hira lakukan?"
Derya menjentikkan jari di udara. "Dekati terus Kama, usah hiraukan bagaimana tanggapannya. Jangan kasih kendor lah, kalau istilah orang Aceh. Hehe hehe."
Dalam hati Derya tersenyum jahat tetapi di wajah, dia melebarkan senyuman agar terlihat baik dan tulus membantu. "Ya intinya begitulah Hira, apa perlu Abang bantu?"
Untuk beberapa saat lamanya, Hiranur memperhatikan mimik wajah Derya. Memastikan kalau semua ini nyata dan setiap kata-kata yang diucapkannya itu bukan permainan lidah semata. Bukan apa-apa. Tiba-tiba Hiranur teringat, Derya juga pernah patah hati karena cintanya ditolak oleh Seika. Entah mengapa, meskipun dia sangat ingin mendapatkan cinta Kama tetapi ada sebentuk perasaan takut menyerang. Takut karena apa? Itu yang dia tak bisa langsung menerjemahkannya.
"Hira ragu Bang, apa Hira bisa?"
"Lho, kenapa harus ragu Hira?"
"Entahlah, Bang. Rasanya mustahil."
"Lho … Kamu cantik, cerdas, baik, tulus dan punya perasaan cinta. Itu intinya, kan?"
"Iya, Bang."
"Nah, kenapa harus ragu-ragu? Kejar cintamu, perjuangkan kebahagiaan hidupmu!"
Hiranur memandang lekat-lekat wajah Derya. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba berbaik hati membantunya seperti ini. Sampai-sampai menyusun acara makan malam hanya untuk bisa membahas masalah rasa cintanya terhadap Kama. Baginya itu sesuatu yang janggal. Ada dua kemungkinan, memang. Pertama, benar Derya tulus ingin membantunya dan yang ke dua, ada udang di balik batu. Apa lagi, kalau bukan untuk merebut Seika dari Kama?
Memikirkan semua itu, Hiranur menjadi pusing. Sesuatu bernama kerumitan mulai menyerang dirinya. 'Licik kali kau, Bang Derya. Kau yang punya maksud kok aku pula yang mau kau jadikan alat? Gila!'
"Eh, makan dulu yuk Hira nanti keburu dingin?" ajak Derya seakan-akan tak pernah terjadi pembicaraan apa-apa sebelumnya, "Lagian sudah malam ini, nanti kita terlambat pulang. Ya kalau Abang sih, nggak apa-apa tapi kamu? Bahaya nanti kan, kalau terlambat pulang ke kost?"
"Ke rumah Welas, Lieverd?" Setengah curiga, Menir Hank memandang Seika tepat di bola matanya. Baru saja malaikat kecilnya itu berpamitan mau ke rumah Welas, setelah hampir seharian tadi mengurung diri di kamar. Menir Hank tahu, bagaimana kedekatan antara Seika dengan Welas, tentu saja. Namun justru pengetahuan itulah yang memperbesar rasa curiga di dasar hatinya. Sebab, mustahil putri semata wayangnya bersusah payah pergi ke rumah Welas jika tanpa sesuatu yang bersifat pribadi. Maksudnya, dirahasiakan dari Menir Hank. Seika mengangguk kecil. Sebisa mungkin memulas senyum sedih dengan senyum simpul yang biasa agar tidak menumbuhkan benih kecurigaan dalam diri papanya. "Ya Papa, ke rumah Welas. Sebentar kok, nggak lama-lama. Ada sesuatu yang urgent tapi nggak bisa dibicarakan di voice call ataupun video call." Melihat bagaimana Seika bersikap, Menir Hank berdecak kagum dalam hati. Dia mengakui, Seika telah mewarisi sebagian besar karakternya. Cerdas, tegas, optimis, pantang menyerah, p
"Jadi, Seika nggak cerita apa-apa sama kamu?" tanya Kama dengan rasa khawatir yang semakin memuncak. Rongga dadanya benar-benar terisi oleh badai yang bergemuruh sekarang. Berpuluh-puluh pertanyaan berselirweran dalam benak. Di antaranya, 'Benarkah Seika kecewa karena sikapnya semalam? Apakah Seika marah? Seingatnya, belum pernah sampai libur kerja sebesar apa pun masalah yang dihadapi." "Nggak, Kama." sahut Welas sedikit menurunkan level kepanikan dalam diri Kama, "Bahkan tadi pagi pun dia hanya bilang kalau nggak bisa berangkat ke kantor. Dia juga minta sama aku buat mimpin apel motivasi. Ya hanya itu, Kama." Di tempat duduknya, Kama mendesah berat. Penyesalan bercampur dengan pembenaran dan sedikit menyayangkan kedatangan Seika bergumul di hati kecilnya. Ya, kalau tidak menghilang seperti ini sih, tidak masalah baginya. "Oke, Welas." itu yang akhirnya terlontar dari mulut Kama, setelah menghela napas panjang. "Ya sudah, nggak apa-apa. Kalau gitu aku langsung pamit pulang saja
"Oh Papa, maaf …!" seru Welas penuh sesal karena sudah berbohong. "Emh, nggak apa-apa kok, Papa. Mata Welas nggak sakit, kok. Nggak perlu pergi ke Dokter …." Tanpa menunggu reaksi apa pun dari Papa, sesegera mungkin Welas melesat ke kamar. Sekarang hatinya dipenuhi oleh perasaan sedih, bingung dan takut. Sedihnya karena sudah membohongi Papa sekaligus dirinya sendiri. Kenapa sih, dia harus mengatakan kalau matanya sedih? Kenapa juga harus menyembunyikan kenyataan kalau sebenarnya rasa cinta pada Kama semakin bertumbuh subur di pelataran hati? "Ya Tuhan, ampunilah aku?" Welas bergumam lirih. "Aku tak bermaksud untuk berbohong. Aku hanya bingung, bagaimana mungkin terus-menerus mencintai Kama sedangkan aku tahu kalau dia sudah terikat hubungan cinta dengan Seika? Takut, Ya Tuhan. Aku benar-benar takut dan hanya kepada-Mulah aku berlindung." Tok, tok, tok! "Welas, beneran kamu nggak apa-apa?" tanya Papa di depan pintu kamarnya. "Papa khawatir ini, Welas." Welas yang masih bersand
"Derya, saya ada tugas untuk kamu sore ini!" cakap Menir Hank dengan ketegasan yang mencapai puncaknya. "Bisa, kamu ke rumah sebentar?" Mendengar percakapan malaikat kecilnya di telepon tadi, beberapa menit yang lalu membuat kesabaran Menir Hank tergerus habis. Meskipun suara Kama tak begitu jelas terdengar tapi Menir Hank bukanlah seorang ayah yang bodoh. Dia tahu, kalau sebentar lagi Seika akan berangkat ke Green Garden Resto untuk bertemu dengan Kama, tentu saja. "Baik Menir, saya segera ke sana." sahut Derya sambil terus memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Meraba-raba dia seperti seseorang yang membeli kucing dalam karung. Bukan apa-apa. Suara Menir Hank terdengar seperti orang murka, cukup membuat gentar. "Bagus, saya tunggu di rumah ya Derya?" "Baik, Menir. Tapi maaf sebelumnya Menir, kira-kura tugas apa yang akan Menir berikan kepada saya?" "Ah Derya … Seperti itu saja kamu tak tahu? Ck, yang jelas ini ada kaitannya dengan Kama. Sampai di sini kamu paham?" "Oh ba
"Derya, bagaimana bisa dia ada di sini?" tanya Seika begitu turun dari mobil dan melihat Derya sedang berjalan cepat menuju meja nomor empat yang berarti meja yang sudah dia pesan untuknya dan Kama. "Apa jangan-jangan selama ini Derya memata-matai kami? Oh, apakah dia bekerja untuk Papa? Ugh, sial!" Secepat kilat, Seika menutup pintu mobil lalu menguncinya. Meninggalkan area parkir dengan meminjam kecepatan cahaya. Prinsipnya, dia harus lebih dulu sampai di meja nomor empat. Titik. Oleh karena itu, dia melepas sepatu high heels cantik yang dipakai demi bisa berlari ke sana. Bukan apa-apa. Masalahnya, untuk apa Derya menemui Kama? Pertanyaan itulah yang mendesak masuk ke dalam benaknya. "Kama emh selamat malam, apa kabar?" Beruntung Seika sampai di tempat Kama menunggunya terlebih dahulu dari pada Derya. Tidak sia-sia dia sampai melepaskan sepatu, menyingkapkan gaun malam berwarna merah maroon polos dengan renda merah jambu di bagian bawah, pinggang, depan dada dan pergelangan tang
Message From: Hiranur [Bang Derya, maaf Hira ganggu] [Abang sudah istirahat?] Secepat kilat Derya membalas pesan Hiranur, berharap penuh semoga dia benar-benar bisa dijadikan rangkaian bom untuk menghancurkan hubungan Seika dan Kama. Boleh saja Hiranur menolak dengan alasan kemanusiaan dan perasaan cinta tapi Derya yakin, lama kelamaan Hiranur akan luluh juga. Cinta akan selalu berjuang demi mendapatkan kerajaannya, bukan begitu? Message to: Hiranur [Belum] [Ada apa, Hira?] [Ada yang bisa Abang bantu?] Untuk beberapa saat lamanya, ponselnya senyap. Tak ada lagi balasan pesan dari Hiranur. Jadi, Derya memutuskan untuk pulang. Siapa tahu setelah tiba di rumah nanti, ada banyak pesan penting dari Hiranur. Intinya dia takkan pernah menyerah. Terlepas dari kemungkinan besar Menir Hank akan memberhentikan pekerjaannya di Real Publishing atau hal yang lebih mengerikan dari pada itu tapi semangat Derya masih hangat. Masih ada baranya meski tak banyak. Tinggal disiramkan bensin lalu
"Bedank je, Kama!" (Terima kasih, Kama!) ungkap Seika malu-malu tapi bahagia sekaligus tersanjung, saat Kama membukakan pintu mobil untuknya, "Tot ziens!" (Sampai jumpa!) Kama mengangguk kecil. Menyibakkan poni ke belakang, melepaskan senyum paling manis dari yang dia miliki. "Tot ziens, Seika!" Penuh perasaan cinta, Kama menutup pintu mobil. Legalah sudah seluruh perasaan karena semua permasalahan dengan Seika sudah selesai. Kesalahpahaman itu sudah sirna, berganti dengan kebahagiaan yang baru. Mereka sudah sama-sama berjanji, ke depan akan lebih hati-hati dan waspada lagi. Jangan sampai lengah sehingga mudah luluh lantak oleh emosi. "Janji ya Seika, kalau ada apa-apa sama kamu langsung kasih tahu aku, ya? Nggak perlu malu, sungkan atau apa. Ya? Aku nggak akan marah kok, sungguh." pinta Kama setelah Seika mengungkapkan dengan terbuka dan jujur tentang masalah yang sempat terjadi. "Seika ingat ya, kita kan sudah berkomitmen untuk jangan ada rahasia di antara kita. No secret between
"Papa jahat!" jerit Seika tertahan. Air matanya meleleh hangat di pipi. Napas terengah-engah oleh karena amarah yang berdesakan di rongga dada. Bingung, kecewa sekaligus sakit hati oleh karena sikap Menir Hank yang semakin aneh. Tempo hari, meminta bantuannya untuk menerima William bekerja di Seikamara Publishing. Kenapa tidak dipekerjakan di Real Publishing saja? Nah, malam ini? Tidak ada isyarat apa pun tahu-tahu menugaskan Pak Raka untuk memeriksa mobilnya. Apa itu, apa? Belum lagi tentang keberadaan Derya di Green Garden Resto tadi. Itu sungguh memeras otak sekaligus menggerus segenap perasaan Seika. "Mama, Papa jahat!" bisik Seika lirih di antara air mata yang terus melinang. "Papa sudah berubah, Mama. Apa salah Kama? Bahkan sekarang ini Kama sudah menjadi orang yang sukses. Bukan hanya di Seikamara Publishing tetapi juga di usaha kuliner yang dibangunnya sendiri. Mungkin Papa belum tahu tapi kenapa harus seperti ini, Mama? Serendah itu berpikir tentang kami. Papa pikir, Seik