Share

Chapter 10 : Mawar

Bia akui, cinta pertama itu sungguh seperti sebuah keramat. Sulit dimiliki dan sulit dilepas dari hati juga pikirian. Perasaan suci, tetapi akan mengutukmu selamanya.

Cinta pertama memiliki tempat yang tidak akan pernah hilang. Sampai berpuluh tahun pun akan tetap bisa menggetarkan hati dengan caranya sendiri.

Haah ... Bia menghela napas setelah membaca pesan yang entah sudah berapa kali masuk ke ponselnya pagi ini. Ia sudah tidak lagi mengenal Dion dengan baik.

Sudah dua hari, Bia terus mengabaikan pesan Dion. Pun mengabaikan kehadiran pria itu saat menjemput atau menunggunya di depan rumah atap Aretha, tempat yang kini menjadi rumah Bia.

Dion sungguh sudah seperti seorang pengangguran yang hanya memiliki jadwal untuk mengganggu Bia.

Ya Tuhan ... belum mulai bekerja, tetapi hati sudah dihantui rasa yang Bia sendiri pun sulit menggambarkannya.

"Ada apa? Ada yang sudah membuatmu bosan pagi ini?"

Bia yang sedang duduk di kursi kantin langsung menolehkan kepala ke belakang. 

"Ah ... Hei, Vi!" sapa riang Bia pada Vian. Pria itu membawa satu gelas minuman di tangan kanannya.

Bia mengira Dion yang berbicara. Praduga salah yang membuat jantungnya hampir ingin melompat. Bukan hanya itu saja, sesaat tadi emosinya meningkat cepat ingin diluapkan. Siapa yang tidak kesal? Sudah lama sekali Bia berusaha untuk melupakan perasaannya, tetapi Dion terus saja mengganggunya.

Vian terkekeh sambil menaruh minumannya ke meja.. Cukup lucu melihat ekspresi Bia yang terkejut tadi. "Boleh, aku duduk di sini?"

Bia langsung mengangguk pelan menyetujui permintaan partner kerjanya.

"Jadi, apa sebab bintang baru kita menghela napas sepanjang itu?" lanjut Vian bertanya, dua lesung pipi turut muncul di wajahnya.

Bia menyipitkan mata. Tidak disangka, melihat wajah tampan langsung memberikan ruang pada otaknya yang penuh dengan masalah hidup.

"Ini tidak adil," celetuk Bia dan kembali mendesah berat.

Vian yang baru menaruh lipatan tangannya ke atas meja, langsung mengerutkan kening. "Em ... apa yang tidak adil?" tanyanya tidak mengerti.

"Kenapa bisa, sakit di kepalaku langsung membuih begitu melihat wajah tampanmu."

"Hahaha ...." Ledakan tawa Vian hamburkan. "Aku tidak tahu kalau Bia sang bintang punya sisi seperti ini."

Bia ikut tertawa. Sama seperti Vian. Ia juga tidak tahu bahwa sekarang hatinya bisa melihat keindahan manusia lain setelah Dion. Seharusnya, sejak dulu ia mendengarkan nasihat Aretha untuk mencoba membuka hati kembali. Memberi kesempatan pada pria-pria tampan lainnya.

"Jangan mentertawakan kejujuranku," ujar Bia. "Aku merasa ini sungguh tidak adil. Bagaimana bisa kamu memiliki kemampuan seperti itu, sedangkan aku tidak?" lanjutnya membanyol.

"Haha ... hei, kalau para ilmuan mendengar ini ... bisa-bisa mereka akan menangkapku untuk diteliti." Vian pun berdeham singkat. Sadar diri kalau suara tawanya telah menggundang banyak lirikan mata di kantin Chette. 

"Ah, kurasa kita harus segera ke lobi. Deri dan lainnya sudah berkumpul di sana," ujar Vian.

Dari dalam kantin yang terkurung dinding kaca, Vian bisa melihat Deri baru saja keluar dari lift. Hari ini, pemotretan mereka akan di lakukan di luar.

Bia pun ikut menatap ke arah yang sama, kemudian mengangguk setuju. Di sana juga sudah ada dua model wanita dan satu model pria yang entah sejak kapan memandang ke arah kantin.

Ah ... Bia mengenali tatapan itu. Tatapan tidak bersahabat. Ia juga sudah merasakan, sejak dua hari lalu mereka menjaga jarak dengannya.

Ini tidak hanya persepsi semata, karena sejak kecil ... sudah tak terhitung banyaknya tatapan seperti itu untuknya. Terlebih, kepintaran dan kecantikan, bahkan kekuasaan yang dimilikinya selalu mengundang kedengkian di hati.

Derikan kursi terdengar, baik Bia dan Vian beranjak dari tempat duduknya. "Boleh aku bertanya?" ucap Bia. Tiba-tiba ada rasa keingintahuan tentang diri Vian.

Vian yang berjalan di samping Bia pun menoleh dengan ujung alis menukik satu. Penasaran, apa yang akan ditanyakan Bia. Sampai wanita bersurai hitam panjang itu memasang wajah serius. "Tanyakan saja."

"Sebelum aku, siapa yang menjadi partnermu?"

Vian pun terdiam beberapa detik sebelum menjawab. Vian mengakui kalau dirinya cukup penasaran mengapa topik itu tiba-tiba terucap dari bibir wanita di sampingnya. "Bia, aku kecewa sekali."

"Hm?" Bia bingung sendiri, apa ucapannya terlalu kasar? "Maksudmu?"

"Maksudku, ini tidak ada gunanya ... semua tentangku tersebar di mana-mana. Namun, kalau kamu tidak pernah meliriknya, aku rasa itu sia-sia saja," Vian menarik kecil satu sudut bibirnya. Lebih baik memberikan jawaban ambigu. Sebab pertanyaan Bia adalah hal yang tidak ingin Vian bahas sampai kapanpun.

"Ah, kalau--"

"Oh, siapa ini?" sela Noah langsung menyapa ceria Bia.

Noah pun berjalan mendekat, lalu memutus jarak antara Bia dan Vian. Di tangan kanannya, menggenggam bunga mawar merah yang dihias cantik.

"Wajah baru Elle yang langsung menambah berkali lipat omset penjualan!" Noah juga menoleh pada Vian. "Sudah kuduga, kalian titisan para dewa dan dewi, haha," lanjutnya bercanda.

"Pak Noah terlalu memuji," balas Vian.

"Jangan mengganggu mereka." Deri menginterupsi. "Kalian semua, ayo cepat masuk ke mobil, aku tidak suka menumpuk pekerjaan," lanjutnya pada para model yang berada di bawah naungannya.

"Oh, Deri Elle memang sangat antusias kalau sudah bekerja." sambar Noah disela kekehan ringannya. "Bia, tolong bawa ini," lanjutnya.

Melihat mawar merah diarahkan kepadanya. Bia langsung mengedarkan mata ke sekitar. Ini hanya akan menambah masalah hidupnya. "Untukku?" ucapnya. Jika benar, Bia akan menolak.

"Tentu saja bukan."

Bukan? Lalu kenapa ia diminta untuk membawa bunga itu? Jika sebagai dekorasi pemotretan nanti pun seharusnya kru yang membawa, bukan dirinya! Ingin sekali Bia mengatakan itu semua. Namun, ia harus tetap sopan, bukan? Ingat pesan Aretha.

"Oke, ke mana aku harus membawanya? ujar Bia seraya mengambil bunga itu. Dua manik mata hitamnya, melihat sesaat Vian yang memberi isyarat untuk ke mobil lebih dulu.

"Tolong berikan itu pada temanmu, Aretha nanti."

Hah? Aretha? Kenapa nama sahabatnya bisa terdengar di sini?

"Aku berutang budi padanya, tapi karena temanmu itu tidak ingin dibayar dengan uang. Jadi setidaknya aku harus menunjukkan rasa terima kasihku dengan cara lain, bukan?" lanjut Noah menjelaskan sebelum diminta. Gaya bicaranya pun tiba-tiba berganti dengan bahasa yang santai.

Bia menyipitkan mata, penasaran tentang utang budi yang ada di antara mereka. Kenapa juga Aretha tidak mengatakan apapun kepadanya?

Bia langsung mendorong kembali bunga itu ke dada bidang Noah. "Kalau begitu, berikan sendiri pada Aretha," balasnya, lalu menunduk sopan dan pergi dari hadapan Noah yang justru melebarkan senyuman mendapat penolakan itu.

Menurut Bia, memberikan kembali bunga itu adalah hal yang benar. Ia tidak ingin ada gosip buruk tentangnya di sini. Bia harus bekerja dengan benar sekarang, meski sahabatnya tidak pernah mempermasalahkannya. Namun, tetap saja ia merasa tidak enak jika harus menumpang gratis dengan Aretha.

Huh? Bia terhenti saat melihat seorang pria sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Pria yang menatapnya penuh kebencian malam itu, sekarang baru bisa ia lihat dengan jelas.

Bia yakin, pria dengan setelan jas mahal di sana memiliki jabatan penting di perusahaan ini. Terlihat dari dua orang yang mengikuti di belakang dan beberapa orang yang menunduk hormat saat berpapasan dengan pria itu.

"Kamu penasaran dengannya?"

Bia tersentak kaget mendengar suara rendah Noah yang dibisikkan di telinganya.

"Kalau iya, apa pak Noah mau memberitahuku?" balas Bia.

"Tentu saja, kalau kamu mau memberikan bunga ini untuk temanmu."

Sial! Baru kali ini ia merasa sedang dimanfaatkan. Sekarang, penilaian tentang Noah berubah dratis. Bia tidak menyukainya!

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status