Untuk siapa saja yang membaca cerita ini, semoga kalian suka, ya!
Aby menutup buku matematika setelah menyelesaikan hampir dua puluh soal sejak pulang sekolah tadi. Ini masih pukul tiga siang dan tak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Semua tugas sekolah—termasuk pelajaran Sejarah yang paling tak disukai Aby—sudah selesai dia kerjakan. Ternyata, sekolah tak seburuk yang Aby kira. Mungkin semua itu karena teman-teman barunya tak tahu soal Aby. Gadis itu benar-benar bersyukur hidupnya sekarang jauh lebih tenang. Setelah meregangkan otot punggung yang pegal, Aby lantas duduk di bangku kecil di depan jendela kamar sambil melihat ke jalanan di bawah. Banyak sekali orang yang lalu lalang. Mulai dari yang berjalan kaki sampai yang mengendarai sepeda motor. Bahkan, mobil-mobil pun masih nekat melintas. Aby menatap lama pada pria yang membawa gadis kecil dalam gendongan. Sesekali kedua tangan kekar laki-laki itu melempar pelan tubuh si anak ke atas kemudian menangkapnya lagi ke dalam pelukan, lalu mereka berdua tertawa. Aby sama sekali tidak bisa
“Waaaah. Gimana caranya ngerjain fisika secepat itu?” Sarah tampak takjub memandangi Aby yang sibuk dengan buku kerja fisikanya. Ini jam istirahat. Tapi, karena sibuk memerhatikan Aby yang sedang serius, Sarah jadi ikut-ikutan tidak ke kantin. “Ini kan udah diketahui semua. Tinggal masukin ke rumus aja kok.” Aby menghentikan gerakan pensilnya untuk melihat wajah Sarah sebentar. Sedetik kemudian, ia kembali mencoret-coret bukunya. “Wah, keren. Harusnya kamu masuk sepuluh satu, By. Pak Hardi juga kemaren bilang kalau nilai matematika kamu paling bagus di kelas.” Aby hanya tersenyum sekilas. Ia tidak ingat sejak kapan ia bisa serius mengerjakan soal-soal pelajaran eksakta yang dibenci sebagian besar teman-temannya. Yang jelas, Aby hanya merasa tenang karena pikiran-pikiran tidak enak itu bisa enyah untuk sementara waktu, digantikan deretan angka-angka. “Nggak haus?” tanya Sarah sambil celingukan memegang kerongkongan. Mungkin karena mereka baru mas
El hampir tersentak kaget saat earphone itu tahu-tahu sudah menempel di telinganya. El menoleh pada gadis yang sedang berbaring di sebelahnya, di atas rerumputan, di bawah langit yang sama dengannya. Gadis itu tersenyum manis sekali dengan cd player di tangannya. El bisa melihat sebelah earphone yang lain menempel di telinga kirinya. “Mau dengerin lagu bagus?” “Lagu apa?” “Lagu tentang sebuah tempat untuk dirimu sendiri. A place where you won’t get into any trouble.” Kening El berkerut. “Memangnya ada tempat semacam itu?” “There must be. It’s not place you can’t get to by a boat, or a train. It’s far, far away. Behind the moon, beyond the rain[1].” El menunggu sebentar sampai musik itu mengalun lembut ke telinganya.Somewhere over the rainbowWay up highThere’s a land that I heard of Once in a lullabySomewhere over the rainbowSkies are blueAnd the dreams that you dare to dreamReally do come trueSomeday I’ll wish upon a
Akil tertawa keras saat berhasil merebut selembar foto dari tangan Ardo. Hari ini Askar baru saja selesai mencetak foto-foto yang mereka ambil bersama tempo hari. Lembaran berwarna-warni itu langsung diserbu oleh anak-anak. Aby yang tengah membantu Risa mengerjakan soal matematika sampai terkaget-kaget karena kehebohan yang mereka buat. “Yang ini bener, Kak?” Risa menunjukkan buku tulisnya yang sangat tipis itu pada Aby. Aby mengambilnya dan langsung menemukan kesalahan yang dibuat bocah itu. “Bukan gini. Yang ini dikali dulu baru dibagi.” Risa mengamati ujung telunjuk Aby yang bergerak-gerak di atas kertas. “Oh, jadi nggak boleh langsung dijumlahin?” “Enggak.” Risa tampak kebingungan selama beberapa detik. “Ngerti?” Kening Risa berkerut-kerut, kemudian ia mengangguk dengan mantap dan mengacungkan jempolnya ke arah Aby. “Oke, Kak Aby! Aku udah ngerti. Aku mau ngerjain sendiri dulu. Nanti Kakak yang per
“Memangnya nggak bisa kalau aku tetap sama Mama?” suara Aby melemah. Ia menatap nanar passport dan tiket pesawat yang tergeletak di atas ranjang itu. Joanna sengaja membuang muka. Sejujurnya, hatinya sendiri bergejolak. Ia tidak ingin meninggalkan putrinya itu. Tapi, hanya ini yang bisa menyelamatkan Abigail, juga menyelamatkan dirinya sendiri. Perlahan, ia mengangkat kepala kemudian menatap Aby dingin. “Mama udah bilang kan kalau ada sesuatu yang harus Mama urus dengan Philip? Kamu masih nggak ngerti?” “Jadi, kenapa Mama nitipin aku ke Rumah Cinta? Untuk apa Mama minta mereka mencarikan orang tua asuh buatku?” “Memangnya kamu mau hidup terus-terusan kayak gini?” “Ma….” Suara Aby mulai terdengar bergetar. Tatapan memohon itu sama sekali tak meluluhkan Joanna. “Kamu tau kan hidup kita sulit? Mama sudah capek, By. Jadi, kasih Mama waktu untuk diri Mama sendiri.” Aby mengatupkan rahangnya rapat-rapat sambil mendongak
El hampir gila rasanya. Sikap gadis itu berubah akhir-akhir ini. Bahkan ia mulai menghindari El. Setelah acara kelulusan di sekolahnya pagi tadi, El mencoba mendatangi kampusnya. Tapi, dia sama sekali tidak ada. “Lho, gue malah mau nanya ke elo. Udah dua minggu lebih dia nggak masuk kuliah lagi.” Itu yang dikatakan Rey saat El menemuinya di kantin, tempat di mana biasanya gadis itu berada. Dengan berbagai dugaan dan kebingungan di kepalanya, El tetap menunggu gadis itu di gerbang. Hingga satpam mengusir, barulah El pergi dari tempat itu. Hari kedua, El masih datang. Bertanya pada tiap mahasiswa yang ia temui. El tidak peduli apakah mereka mengenal gadis itu atau tidak. Yang jelas, ia hanya melakukan apa yang ia bisa untuk bertemu dengannya lagi. Hari itu hujan turun dengan sangat deras. El benar-benar gila. El sungguh merindu
Aby tidak tahu apakah ia yang bangun terlalu siang ataukah El yang pergi terlalu pagi. Saat ia keluar dari kamarnya, ia tidak mendapati siapa-siapa di apartemen. Aby menemukan segelas susu cokelat yang sudah dingin dan sepiring nasi goreng yang sudah tak lagi berasap. Aby duduk di meja makan dengan ragu sebelum akhirnya menemukan selembar kertas dengan tulisan acak-acakan di atasnya.Hari ini Harlan nggak bisa antar kamu, jadi kamu pergi naik bus saja. Hati-hati dan jangan pulang terlambat. Laporan bulananmu juga sudah aku tanda tangani-El-Setelah membaca catatan dari El, Aby baru sadar kalau laporan bulanan dari Pak Darwin yang dua hari lalu ia simpan di atas meja belajar sekarang ada di sini. Tangan Aby bergetar, meraih kertas-kertas itu, dan membuka halaman tanda t
Pagi ini terasa asing bagi Aby. Bukan karena ia sedang berada di tempat lain, tapi sejak pertama kali Aby keluar dari kamarnya, ia sudah menemukan El di ruang tengah. Aby mengira El sedang sibuk dengan game console atau mungkin sedang menonton siaran televisi favoritnya. Alih-alih melihat El bersantai, Aby malah mendapati laki-laki itu sibuk merapikan tumpukan CD dan piringan hitam dari lemari besar di sebelah sofa. Benar-benar pemandangan yang langka. “Udah bangun?” tanya El saat menyadari ada sepasang mata memerhatikannya. Mood El benar-benar terlihat baik hari ini. Aby sangat yakin kalau ini adalah kali pertama El merapikan barang-barangnya sendiri karena setiap hari selalu ada tukang bersih-bersih yang datang. “Ya.” Aby merasa canggung sampai-sampai ia pikir ia harus segera melesat ke sekolah meskipun ini hari minggu. “Sibuk?” El tampak menggulung lengan kemeja putihnnya sebatas siku. “Enggak.” “Bisa bantu?” A