Paginya warga desa digemparkan dengan penemuan mayat pak Budi dibelakang rumahnya. Yang menemukan mayat pak Budi adalah istrinya sendiri yang baru saja pulang dari rumah ibunya dikampung sebelah. Tiga polisi mendatangi rumah korban, tak ketinggalan Safira dan Abbas juga mendatangi rumah pak Budi. Sang istri sangat histeris melihat tubuh pak Budi yang sudah hancur dibagian kepalanya. Safira memalingkan wajahnya menatap ngeri tubuh pak Budi. “Kita lakukan autopsi saja….” Safira membuka suara. Sedangkan istri pak Budi melirik sejenak kearah Safira dan kembali merapati kematian suaminya. “Autopsi itu akan mengungkapkan siapa pelaku pembunuhan suami ibu, dan pembunuh warga yang telah meninggal sebelumnya….” “Soal uang biar saya dan teman saya yang tanggung, yang penting kasus ini segera terselesaikan…. Saya sudah tidak sabar ingin memukul wajah sipembunuh, dan saya pastikan dia akan memohon ampun agar tidak memukulnya….” geram Safira mengepalkan tangannya. Istri pak Budi hanya diam. “B
Safira berjalan dengan pikirannya masih tidak tenang, memikirkan kejadian pembunuhan yang begitu sadis beberapa hari ini. Safira merasa ada yang mengikutinya, namun saat melihat kebelakang, tidak menemukan siapapun. Seketika hawa dingin berembus menyapa tengkuk Safira membuatnya seketika merinding. Sayup-sayup terdengar suara itu lagi, suara seseorang yang minta tolong diiringi dengan suara tangisan yang lirih. “Siapa kau? Jangan ngangu aku…. Jika kau butuh bantuan, katakan apa yang kau butuhkan? Jangan hanya bisa menakuti orang saja….” teriak Safira kesal dengan suara tanpa wujud tersebut. Saat sedang sibuk mengamati sekitarnya mencari tahu asal suara tersebut, Safira melihat seorang wanita yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa. “Kau Dewi Putri Anjani?” hadang Safira dengan sorot mata tajam. “Iya…. Ada apa?” tanya wanita tersebut. Safira mendekati Dewi dan menarik leher baju Dewi dengan cukup keras membuat Dewi ketakutan dan berteriak meminta tolong. “Diam….” bentak Safira mem
Seorang pria mengetuk pintu rumah Nadira. Berulang kali pintu nampak diketuk dengan cukup keras, terdengar seperti gedoran. Akhirnya Nadira berusaha memberanikan diri untuk membuka pintu, mungkin saja itu Ulungnya baru pulang dari bekerja. Perlahan Nadira membuka pintu rumah. Dia nampak kaget saat melihat seorang pria dengan napas ngos-ngosan berdiri didepan pintu. “Ada apa bang?” tanya Nadira takut. Perasaannya kini memikirkan hal yang buruk. Pria yang masih seusia Nadira, menghela napas panjang. “Ulungmu…. Ulungmu dikeroyok warga….” Deg, tiba-tiba jantung Nadira seketika berhenti berdetak. “Ayo kita temui Ulungmu, kasihan dia…. Kita harus selamatkan Ulungmu….” pria tersebut menarik Nadira keluar dari dalam rumahnya. Nadira berteriak membelah kerumunan warga saat mendapati Ulungnya sudah babak belur, yang hanya mengenakan celana pendek tanpa baju. “Ulung…. Apa yang terjadi?” Nadira memeluk sang abang, dia menangis histeris dan memaki para warga yang telah memukul abangnya. “Ulun
Tiga polisi mendatangi rumah bu Ina dengan wajah kecewa. “Kami tidak menemukan sidik jari apapun ditubuh tersangka….” jelas Riko mendatangi rumah bu Ina. Mendengar hal itu membuat bu Ina menangis histeris. “Lebih baik, kita lakukan pemakaman secepat mungkin untuk jenazah pak Budi….” jelas Polisi Bagas. Para warga pun menyiapkan pemakaman untuk pak Budi. Safira mendatangi Riko, Bagas, dan Vino yang menghadiri pemakaman pak Budi. “Bagaimana mungkin tidak terdeteksi sidik jari pelaku?” tanya Safira tidak habis pikir. Bukankah para polisi itu sangatlah pintar mengungkapkan kasus-kasus seperti ini. Bagaimana mungkin sidik jari pelaku pun tidak terdeteksi. “Entahlah…. Semua bukti yang ada ditempat kejadian sudah kami periksa, namun tidak terdeteksi sidik jari siapa pun….” Riko menghela napas pendek. “Juga darah pada tempayan itu? Bukankah saat tempayan itu dipukulkan pada korban, tentu saja sipelaku memegangnya? Kenapa bisa tidak terdeteksi sidik jarinya?” selidik Safira. “Itulah yang
Dewi tengah sibuk mendiamkan dan memberikan susu pada bayinya. Sejak dilahirkan, bayi itu terus saja menangis. Dewi nampak lelah, namun sudah pekerjaanya sebagai seorang ibu untuk lebih sabar merawat anaknya. Gorden jendela nampak berhembus dengan kencang. Suasana rumah Dewi sunyi, hanya ada ibunya dan Dewi. Suara anjing melolong membuat suasana semakin mencekam. “Apa kau sudah memberikannya susu?” tanya ibu Dewi mendekati Dewi. “Sudah bu, seperti biasanya Farhan tidak pernah mau diam….” jawab Dewi lirih. “Ya sudah, bawa Farhan kedalam kamarmu dan tidurkan dia….” perintah ibu Dewi yang langsung dituruti oleh Dewi. Saat memasuki kamar, Dewi terperanjat saat melihat seorang pria berdiri membelakanginya. “Siapa kau?” tanya Dewi dengan wajah memucat. Pria tersebut hanya diam dan tiba-tiba tertawa dengan nyaring membuat Dewi merinding. “Kenapa kau melakukannya? Kenapa kau memilih diam dan mengorbankanku?” tanya pria itu dengan nada dingin. “Maaf, kau siapa? Kau tidak bisa sembarangan
Ibu Dewi memeluk anaknya dengan erat, “Menurut ibu, lebih baik kau beritahu saja kejadian yang sebenarnya…. Karena semua akan berakhir jika kau mengakui semua nak. Beritahu semua orang! Ibu sudah tidak sanggup lagi menanggung malu dan teror dari pria itu…. Dia hanya meminta kita mengakui semuanya…. Hanya itu! Dengan begitu, dia mendapatkan keadilan yang dia inginkan….” Ibu Dewi semakin mempererat pelukan pada anaknya. “Mengaku lah! Dengan kau ceritakan semuanya, maka hidupmu akan aman…. Saya janji tidak akan mengusikmu lagi….” ujar suara mesterius itu lagi. Dewi nampak semakin ketakutan mempererat pelukan ibunya dan sang ibu hanya diam sambil menangis. “Katakan semua? Aku ingin keadilan? Aku ingin kau mengakui siapa pelakunya? Kau akan lihat mayat pak Ahmad, pak Nafis, dan pak Abdul besok pagi jika kau tidak mengakuinya….” “Kenapa kau terus mengusik kami? Saya tidak memiliki kesalahan padamu.” teriak Dewi terisak. “Karena kau semua orang menuduhku memperkosamu dan aku tidak akan me
Warga kembali digemparkan dengan penemuan mayat dan seorang gadis tanpa busana disemak-semak. Safira mengamati mayat tersebut, “Sepertinya ini pembunuhan lagi….” ujar Safira menghela napas panjang. Safira mendekati seorang gadis yang ditemukan disemak-semak. “Kemungkinan ini pemerkosaan dan dia masih hidup….” jelas Safira setelah memeriksa urat nadi wanita tersebut. “Bagaimana ini? Desa kita semakin hari semakin resah…. Sudah banyak para warga dibunuh dengan sadis dan sekarang juga terjadi lagi pemerkosaan setelah kejadian pemerkosaan Dewi….” ujar seorang warga. “Apa yang harus kita lakukan? Bisa jadi salah satu dari kita akan menjadi korban selanjutnya jika kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini dan mendapatkan siapa pelaku pembunuhan ini….” sambung warga lainnya. “Apa perlu kita melakukan autopsi lagi pak?” tanya seorang remaja kepada pak polisi. Matanya memerah karena terus saja menangis. “Jika kau ingin ayahmu di autopsi, biar saya yang menanggung biayanya…. Tapi saya ragu,
“Assalamualaikum….” ucap polisi Riko mengetuk pintu rumah Dewi. “Waalaikumsalam….” jawab ibu Dewi membukakan pintu. “Boleh saya bicara sebentar bu?” tanya polisi Riko dengan ramah. “Boleh silahkan masuk…. Mau tanya apa ya pak?” tanya ibu Dewi bingung mendapati seorang polisi mendatangi rumahnya. “Dewi nya ada buk?” tanya Riko. Ibu Dewi hanya diam. “Bisa saya bicara denganya?” “Anak saya tidak enak badan pak…. Maaf, Dewi baru saja istirahat….” “Kami mendapatkan foto anak ibu di balik baju pak Nafis yang tewas dibunuh oleh seseorang. Saya harap ibu, tidak menghalangi tugas kami untuk menanyai Dewi!” ibu Dewi nampak terkejut. “Anak saya bukan pembunuh pak….” jawabnya dengan lirih. “Kami tidak menuduhnya, tapi kami hanya ingin menanyai beberapa hal saja….” jelas Riko. Ibu Dewi menghela napas pendek, lalu mengizinkan polisi Riko untuk menemui Dewi didalam kamarnya. Dewi sangat terkejut saat melihat polisi memasuki kamarnya. “Saya mau bertanya beberapa hal, saya harap mbak bisa me