Share

Masa Lalu

Vano duduk sambil mengetuk-ngetukan jari ke meja kerja yang terbuat dari kayu jati. Sebelah tangannya berada di lengan kursi menopang dagu. Wajahnya terlihat gusar. Hatinya gundah mengingat yang dia lihat tadi siang di kantor Mitha. Setelah wanita itu membongkar kecurangan Surya Group, Vano menyusulnya ke kantor.

Lelaki itu ingin memperbaiki hubungannya dengan sang istri. Mungkin sudah saatnya membuka hati dan melupakan masa lalu. Vano juga tidak ingin tersiksa dengan perasaannya. Dia ingin lebih jujur dan memberi ruang untuk rasa yang mulai tumbuh. Namun, baru saja sampai di pintu ruang kerja Mitha, Vano melihat Max sedang memeluk wanitanya.

Amarah dan cemburu membaur jadi satu di dada Vano. Saudara tirinya itu benar-benar keras kepala. Ingin rasanya mematahkan tangan yang telah lancang memeluk Mitha, tetapi ditahannya rasa itu. Leaki itu tak ingin terlihat konyol di mata Mitha. Apa yang akan di pikirkan oleh wanita itu jika tiba-tiba saja dia memukul Max tanpa alasan? Tidak mungkin mengatakan bahwa dia cemburu.

Vano meraup wajahnya kasar, bangkit dari kursi berjalan menuju jendela yang ada di samping meja kerjanya. Lelaki tersebut memasukan kedua tangan ke dalam saku celananya. Netranya memandang jauh ke depan, sementara ingatan Vano mundur jauh kebelakang.

Saat dia mengenal Evelin, sekitar empat tahun yang lalu. Vano bertemu dengan wanita itu ketika keluarga Hermawan melakukan kunjungan rutin ke panti asuhan di mana papanya menjadi donatur. Lelaki itu menemukan sebuah buku saku berwarna merah seukuran dua telapak tangan orang dewasa. Dia penasaran dengan isinya, kemudian membaca goresan di buku tersebut.

Vano tertarik melihat tulisan tangan yang sangat rapi. Kekagumannya semakin membuncah saat membaca lembar demi lembar tulisan di buku itu. Kata-kata begitu sederhana. Namun, mengandung ribuan makna. Tentang perjuangan, filosofi hidup, impian, dan cita-cita. Mungkin terdengar gila. Vano jatuh cinta pada pemilik buku tersebut bahkan sebelum dia melihatnya. Dari semua goresan penanya, dia yakin pemiliknya seorang yang cantik, sederhana dan baik. Benaknya kembali memaksa mengingat memori yang telah usang.

"Maaf, apa Anda tersesat?" tanya seorang gadis mengejutkan vano.

Lelaki itu menoleh. "Ah, tidak kebetulan aku sedang berkeliling."

Gadis itu terdiam. Dia menatap buku di tangan Vano dengan dahi berkerut. Dia kenal siapa pemilik buku tersebut. "Itu ...." tanyanya ragu sambil menunjuk ke arah tangan Vano.

Menyadari tatapan gadis tersebut Vano bertanya. "Apa kau mengenal pemilik buku ini?" Dia mengacungkan buku di tangannya ke hadapan si gadis.

"Memangnya kenapa?" gadis itu balik bertanya.

"Tidak, hanya aku ingin bertemu pemiliknya."

"Lantas, setelah bertemu apa yang ingin Anda lakukan?" desak gadis itu, lagi.

Vano tersenyum begitu menawan, membuat wanita rela mendatanginya walau dengan merangkak. "Entah, tapi Aku rasa dia cantik," tebaknya.

Gadis itu mengulas senyum tipis. Saat itulah kisahnya, Mitha, dan Evelin dimulai. "Aku pemilik buku itu. Namaku Evelin!"

Sejak saat itu, Vano dan Evelin tidak terpisahkan atau lebih tepatnya gadis tersebut tidak mau terpisah dari lelaki itu walau sebentar. Gadis yang posesif dan dominan selalu ingin mengatur hidup sang lelaki. Meski keberatan dengan sikap Evelin, Vano mencoba memaklumi. Gadis itu akan sangat murka jika Vano datang ke panti tanpa memberitahu terlebih dahulu, apalagi jika lelaki itu bertemu dengan Mitha.

Gadis yang dengan menatapnya saja mampu membuat hati Vano berdesir. Dialah alasan lelaki itu sering berkunjung ke panti. Hal yang tidak pernah dilakukannya dulu, kecuali saat melakukan kunjungan rutin. Namun, Vano sadar dia sudah memiliki Evelin yang sangat dikaguminya. Hingga dia mau tidak mau harus membunuh bibit rasa yang tumbuh tanpa dia sadari, entah sejak kapan.

Suara sekretaris Vano melalui interkom membuyarkan lamunannya.

"Pak, Pak Max ingin bertemu dengan Anda?"

Dahi Vano berkerut, 'mau apa dia' geramnya.

Lelaki itu meraih interkom. "Suruh dia masuk!" titahnya.

Tak lama, pintu besar berwarna coklat terbuka. Terlihat sosok tegap melangkah masuk. Mengenakan kemeja berwarna biru laut dengan bagian lengan digulung hingga ke siku. Vano mendengkus, 'lagaknya seperti orang paling keren saja' cibirnya.

"Apa kabar, Kak!" tanya Max duduk begitu saja di sofa yang ada di ruang kerja Vano.

Pria itu mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Terdapat lemari yang menempel di dinding, beberapa buku dari berbagai judul tersusun rapi. Di sebelah lemari itu terdapat meja dan kursi besar yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat tua. Di atas meja terlihat banyak kertas berserakan.

Max menggelengkan kepala. Memandang Vano dengan tatapan meremehkan."Pantas! Papa memberi posisi komisaris utama kepada Mitha, kalau tidak, aku jamin dalam tempo satu bulan perusahaan ini akan bangkrut," sindirnya

Wajah Vano memerah. Tangan yang berada di saku celana dia kepal erat-erat, mencoba meredam emosi di dada. "Apa maksudmu!?" desisnya pelan.

Max tertawa sinis. Menyandarkan punggungnya ke sofa, sementara kaki kanannya di tupangkan di atas kaki kiri. Tangannya ditautkan di atas lutut. "Maksudku kau tidak becus, Kak!" ujar Max dengan pandangan melecehkan.

Wajah Vano mengeras. Dengan sekali sentak dia merenggut kerah kemeja Max, hingga lelaki itu berdiri.

"Lancang! Kalau saja kau bukan adikku, sudah kuhajar mulut busukmu itu! Vano memaki dengan sorot menajam.

Max terkekeh, dia melepaskan paksa cengkeraman tangan Vano di bajunya. "Nyatanya aku memang bukan adikmu! Kita hanya dua orang yang beruntung karna diangkat anak oleh Papa," terang Max dengan nada sinis. Pria bermanik hitam itu kembali duduk. Netranya seolah ingin menguliti Vano. "Papa lebih menyayangimu ketimbang aku setiap saat harus mengalah demi kepentinganmu. Bahkan saat Papa meminta sumber napasku, aku pun memberikan tanpa bertanya."

"Apa maksudmu!?" tanya Vano tak mengerti.

Max memalingkan wajahnya. Seketika mulutnya bungkam. Sorot mata pria itu berubah sendu, sedetik kemudian kembali menatap Vano, "Suatu saat kau akan tau!" Dia menjawab ketus. Max bangkit mendekati Vano. "Dan kali ini aku tak akan mengalah padamu!" ancamnya, kemudian berjalan meninggalkan Vano yang masih bergeming.

"Apa ini tentang, Mitha?!" tanya Vano menginterupsi langkah Max.

Pria itu terpaku. Hening ... Max menganjur napas pelan sekadar menenangkan hatinya, kemudian kembali melangkah meninggalkan Vano.

'Ya, pasti Mitha' gumam Vano. Entah mengapa ada rasa nyeri di sudut hati . Tanpa sadar lelakiku itu meraba dadanya yang berdetak kencang setiap mengingat Mitha.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status