Setelah selesai membersihkan diri, aku mengenakan pakaian terbaik. Kemudian, setelah semua siap, aku duduk di ranjang sambil menunggu tanda-tanda kehadiran Nenek.
Di tengah-tengah penantian menunggu Nenek, aku mendengar kembali suara kidung tadi. Aku mulai celingukan, mencari dari mana sumber suara itu, dan saat ku lihat di atap sana, sosok wanita berdaster putih lusuh itu tengah duduk di antara kayu-kayu penopang atap rumah ini.Dia mengayunkan kaki sambil sesekali menggoyangkan kepala perlahan. Suaranya sangat lembut hingga aku terbuai.Selang beberapa menit, Nenek muncul tanpa kusadari. Mungkin aku terlalu menikmati kidung wanita itu hingga tak menyadari kehadiran Nenek."Ayo, Nak. Kita ke dapur," pinta Nenek."I-i-iya, Nek," jawabku sembari beranjak turun dari ranjang.Nenek berjalan lebih dulu, sedangkan aku masih memperhatikan sosok wanita yang masih tetap bernyanyi di atap sana.Kulihat, dia melambaikan tangan. Aku pun tersenyum pada sosokSetelah beberapa menit kami berjalan meninggalkan pantai, akhirnya sampai di depan gua yang besar. Sekilas, kuperhatikan gua tersebut berbentuk dari batu karang, juga dihiasi oleh lumut dan rumput liar di kedua sisinya. "Mulai dari sini, perjalanan kita akan semakin sulit, Nak. Karena di dalam sana, ada banyak sekali hal yang belum pernah kau lihat dan ingatlah, suatu hari nanti, kamu akan kembali ke gua ini. Untuk bertemu dengan sang ratu penguasa lautan. Hanya saja, yang membedakan adalah saat kau datang kembali ke gua ini, itu sudah bukan di alam ini, melainkan di alammu sendiri," ucap beliau panjang lebar.Aku hanya mengangguk, tanda mengerti saat mendengar ucapan Nenek. Kami berdua pun akhirnya berjalan memasuki gua ini, tetapi baru saja beberapa langkah memasuki gua tersebut, aku merasakan embusan angin yang sangat kuat. Saking kuatnya, angin yang menerpa mampu membuatku terhempas keluar dari gua.Tubuhku yang saat itu terlempar, kembali keluar dari mulut gua,
Sosok tersebut muncul dari balik air terjun, tubuhnya yang tinggi dan besar, serta dipenuhi bulu di sekujur tubuh. Ekornya yang panjang, melilit di lingkaran perut. Namun, kali ini sosok itu terlihat sedikit berbeda. Aku melihat gigi taringnya sangat panjang hingga melampaui dagu. Juga lidahnya yang selalu menjulur keluar dan berair liur yang tak henti-hentinya menetes.Aku mengenal sosok itu. Dia yang pertama kali kulihat di kamar tengah, saat awal sampai di rumah kontrakan. Sosok itu juga yang membuat Ina ketakutan hingga menangis histeris kala itu.Meskipun dalam jarak sekitar dua ratus meter dari air terjun, aku masih bisa melihat dengan jelas sosoknya dari kejauhan.Kemudian, sosok itu membuka mulut. Lubang mulut itu menganga sangat lebar, aku sempat begidik ngeri saat melihatnya menganga itu, mungkin bisa saja melahap gadis yang tengah terikat berikut dengan altarnya. Sangat besar!Tubuhku secara otomatis ingin segera beranjak maju untuk menolong gadi
Setelah melihat gambaran yang ditunjukan oleh Nenek, perlahanbayangan tersebut memudar. Begitu juga dengan kesadaranku yang tiba-tiba mulai hilang, meski sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap sadar karena kulihat Nenek sedang berucap sesuatu padaku."Nak, perjalanan kita akan Nenek cukupkan hingga batas ini. Terima kasih sudah hadir di rumah Nenek. Nenek tahu akan kedatangan seorang pemuda yang nantinya akan datang. Dari pertama mendengar kabar tersebut, Nenek tak sabar untuk menunggu kehadiranmu. Dan, kamu sudah berada di sini bersama Nenek. Nenek sangat bahagia bisa bertemu denganmu," ucap beliau dibarengi senyuman. "Jangan lupakan janjimu ya, Nak, temui Bunda Kandita saat kamu kembali nanti dan sampaikan salam Nenek pada beliau begitu kamu bertemu dengannya," tutupnya.Setelah Nenek selesai berkata demikian, tubuhku seakan tertiup angin yang kencang. Angin yang sama saat pertama kali memasuki gua. Tubuhku terhempas jauh. Masih sempat aku melihat air sun
Aku masih tak ingin memalingkan pandangan. Aku tahu, dari hawa kemunculannya saja sudah membuat bergidik ngeri. Seketika, bulu kudukku meremang. Sosok ini benar-benar membuatku takut. Apalagi, saat mendengar suaranya yang tak kalah menakutkan. Benar-benar sangat mengganggu."Hhkk ... hhhkkk ... hhhkkk ...." Suaranya seperti tertahan oleh sesuatu.Sudut mataku kemudian menangkap sekilas sosok itu. Berwujud wanita berseragam hitam, menggunakan rok dan baju lengan pendek, biasanya aku mengenal sosok itu dengan sebutan hantu Noni Belanda. Namun, yang membuatku tambah bergidik ngeri adalah saat melihat sekilas potongan kepala yang dia letakkan di atas kedua pahanya.Kuberanikan diri untuk menoleh pada sosok itu dan tepat di sebelahku, ada sesosok hantu wanita berkepala buntung. Lehernya yang putus dan potongan-potongan daging kecil yang masih menempel, terus-menerus mengeluarkan darah segar.Seragam hitam yang dia kenakan pun tak luput dari noda darah yang tak
Aku hanya mengangguk secara perlahan, seolah-olah setuju, lalu sosok wanita cantik berambut panjang itu langsung tersenyum setelah mendapat persetujuanku.Dia mendekat, melayang di atas ranjang, lalu duduk bersimpuh tepat di samping lututku. Sosok wanita cantik itu menolehkan kepalanya perlahan padaku. Meskipun parasnya sangat cantik, tetapi aku tetap bergidik ngeri.Apalagi dengan kehadiran mereka bertiga dalam waktu yang bersamaan, membuat suasana di dalam kamar ini semakin terasa sangat mencekam.Pintu kamar tiba-tiba tertutup dengan sendirinya. Seperti enggan jika keberadaan mereka diketahui oleh teman-temanku yang lain. Sempat tebersit dalam pikiran, mereka akan menunjukkan bagian dari kisah masa lalu juga, layaknya apa yang biasa dilakukan oleh Nenek saat bersamaku di dimensi lain beberapa waktu lalu. Namun, ternyata dugaanku salah.Wanita berparas cantik itu kemudian menggerakkan jemari tangan, seolah-olah memberi isyarat kepada dua sosok lainnya.
Aku langsung memutuskan untuk beranjak dari kamar saat itu. Meskipun, dengan susah payah aku berusaha menahan rasa sakit di bagian pinggang dan kedua lengan saat mencoba bangkit.Kemudian, aku mencoba berdiri. Namun, baru saja beberapa langkah, tubuhku seketika lemas. Aku tak mampu menahan beban tubuh lagi. Aku langsung jatuh di lantai kamar itu. Tubuh sangat lemas karena efek dari luka di bagian kedua lengan dan pinggang yang menghabiskan banyak darah.Meski dalam sakit, pikiranku masih terpaku pada rasa khawatir akan nyawa salah satu teman yang sedang terancam saat ini. Aku mencoba memanggil teman yang ada di luar kamar, sambil terus merangkak."Maaak ... Maaak ...."Entah mengapa, hanya nama Shelly yang ingin kupanggil saat itu. Tak lama kemudian, Shelly dan Asih kembali memasuki kamar."Loh, Dre, kamu kenapa ada di bawah begitu?"Shelly terkejut melihatku terus merangkak layaknya bayi yang sedang belajar berjalan. Kemudian, mereka langsu
"Eh iya, Kak. Kok, Kak Naya sudah ada di sini? Sejak kapan?" tanyaku sembari mencoba bangkit."Sudah, Kak, jangan paksakan dulu. Kakak tiduran saja, biar saya yang merawat lukanya," pinta Bidan Naya sambil menahan tubuhku. Dia mencegahku untuk bangun.Aku hanya menurut saja, kurebahkan kembali tubuh yang baru setengah bangkit. Kemudian, mataku menatap lekat Bidan Naya, bidan muda yang kini tengah merawat lukaku.Parasnya yang manis dan cantik, serta senyum indah yang selalu dia tunjukkan dari bibir mungilnya, mampu membuatku jatuh hati.Perasaan bahagia tak mampu kubendung lagi. Hingga tanpa sadar, aku malah memandangi bidadari tak bersayap yang ada di hadapanku saat ini sambil tersenyum.Ujung mata Bidan Naya kulihat sedikit melirik padaku. Sepertinya, dia menyadari bahwa saat ini aku sedang memandanginya sambil tersenyum."Kenapa senyum-senyum begitu, Kak?" tanya Bidan Naya membuyarkan lamunanku.Aku yang sedari tadi menatapnya, sek
"Jadi bagaimana, Kak? Besok sore kita jadi berangkat ke Ambon?" tanya Bidan Naya memastikan sekali lagi."Iya boleh, Kak. Tapi saya bicarakan dulu dengan teman-teman ya, Kak. Supaya malam ini kita bisa siap-siap untuk keberangkatan besok sore," sahutku dengan nada setengah gembira."Baiklah kalau begitu, Kak. Saya pamit sekarang, ya. Biar saya pun bisa segera membereskan barang-barang di rumah dinas. Jadi, besok sore bisa langsung berangkat. Kebetulan, besok sore ada jadwal kapal juga yang mau berangkat ke Ambon," tutupnya sambil tetap menunjukkan senyum manis.Senyumnya mampu membuatku lupa akan luka yang kuderita saat ini, meski hanya sejenak saja. Namun, sesaat sebelum Bidan Naya keluar dari kamar, di luar dugaan, Naya bergerak lebih dekat dengan tubuhku. Wajahnya yang putih bersih itu mulai mendekati wajahku. Aku tak tahu apa yang akan dilakukannya, dan tak berani menduga-duga. Naya mengecup lembut keningku. Setelah itu, dia tersenyum lalu pergi meninggalkan