Hamparan pepohonan menjulang tinggi menemani langkah tertatih Diana. Gadis bersurai gelombang itu memandang bingung sekeliling. Diujung jalan sayup-sayup terdengar rintihan pilu. Diana menajamkan pendengarannya. Rintihan itu kini berubah menjadi tangis menyesakkan. Entah keberanian dari mana, tetapi kaki kurus gadis itu berjalan mendekat. Seolah memang gerangan di ujung sana memanggil dirinya.
“Siapa?”
Hanya satu tanya itu yang mampu Diana lontarkan. Namun, seperti dugaan, sosok yang tengah berjongkok seraya memeluk lutut itu bergeming.
“Permisi, Mbak...,” cicit Diana takut-takut. Tinggal lima puluh meter, Diana akan sampai pada sosok gadis lusuh yang kian keras melantunkan tangis pedih. Tepat saat kaki Diana akan sampai, sosok gadis sebaya dirinya itu menoleh. Rambut pendek sebahu milik gadis itu terkibas diterpa angin yang tiba-tiba datang.
“Kamu datang?” tanya sosok itu dengan suara serak. Dian
Yuda melirik kesal Luna yang terus saja mengikuti dirinya. Terhitung sudah hampir sebulan wanita itu semakin menjadi-jadi saja. Bahkan beberapa kali Luna nekat mendatangi kediaman Yuda. Alasannya hanya karena ingin melihat wajah lelaki itu. Seperti siang ini, Luna terus saja mendekatinya di kantor. Beberapa kali wanita itu kedapatan memegang tangan Yuda. Jika ini adalah Diana, dengan senang hati Yuda akan merentangkan tangannya menyambut sang pujaan hati. “Apa peletnya salah sasaran?” gumam Yuda di sela langkahnya menuju gudang pantri untuk mencari Pak Imron. Namun, langkah lelaki itu terhenti saat seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. “Luna! Kamu ngapain? Ini di kantor!” hardik Yuda saat tahu siapa gerangan yang memeluknya. “Aku enggak tahan, Da. Aku pengen banget peluk kamu.” Yuda melepas paksa pelukan Luna. Meski lorong ini sepi, tak menutup kemungkinan ada karyawan l
Diana meringis saat Luna menarik kerah bajunya menuju pintu darurat. Entah apa yang akan wanita ini lakukan padanya. Beberapa kali Diana mencoba memberontak, tetapi wanita yang berstatus seniornya itu malah menjambak rambut Diana. “Anggap saja ini pelajaran buat kamu, dasar maling dan tukang ngintip!” Luna menarik kemeja Diana hingga kancing kemeja itu lepas semua. Wanita licik itu mengambil ponsel dari saku dan merekam Diana. “Kamu maling celana dalamku buat apa? Jangan-jangan dalaman kamu hasil maling semua, ya? Sini sekalian pamerin hasil maling kamu!” Tanpa ampun Luna menarik pakaian gadis di depannya hingga terlepas. Sementara Diana sibuk menutupi dadanya yang hanya terbalut bra hitam. Beberapa kali mulut gadis bermata bulat itu memohon ampun, tetapi Luna seakan tuli dan tak peduli. “Jangan rekam saya, Bu. Saya benar-benar minta maaf tadi enggak sengaja lihat Bu Luna dan Kak Yuda.”
Diana dan Yuda berlari menuju ruangan Luna. Benar saja, di sana Luna tengah berteriak seraya merapalkan nama Yuda. “Kak ... Bu Luna kenapa?” Yuda menatap Luna yang tengah dipegangi beberapa orang dengan pandangan sulit diartikan. Bahkan pertanyaan Diana tak kunjung dia jawab. “Yuda! Aku cinta kamu. Argh!” pekik Luna saat melihat sosok Yuda. Wanita itu meracau tak karuan. Matanya terus menatap Yuda seakan tak ada siapa pun di sana. Luna kini tertawa melengking seraya menggaruk lehernya kasar. Tubuhnya pun menggelinjang tak karuan di lantai. Beberapa orang termasuk Diana berusaha memegangi Luna, tetapi wanita itu terasa memiliki kekuatan super. “Luna sadar!” Bentakan Yuda membuat Luna seketika diam. Wanita itu diam dan mengikuti apa pun instruksi Yuda. Beberapa staf di sana saling pandang. Padahal mereka sudah melakukan banyak cara agar Luna sadar, tetapi tak be
Diana menggeleng lemah. Dipromosi menjadi sekretaris Joey adalah mimpi buruk. Bersama pria itu sehari saja rasanya sesak apalagi jika sepanjang waktu selama lima hari kerja. Tolong tampar dirinya! siapa tahu ini hanya mimpi buruk. “Kok diam? Kamu senang, kan?” Bibir tebal Diana kelu. Sekuat tenaga gadis itu menjawab pertanyaan Luna. “Bu, saya enggak mau dipromosi,” ujarnya. Muka pucat Luna berubah kesal. Bagi dia ini adalah kesempatan emas menyingkirkan Diana dari hadapan Yuda. Kalau bisa mati seperti sekretaris Joey yang sebelumnya, malah lebih bagus, pikirnya. “Gajinya gede, loh! Empat kali lipat dari gaji kamu sekarang. Kerjaannya lebih gampang dari ini. Enggak harus mondar-mandir ke proyek,” ujar Luna meyakinkan. Bibirnya menyeringai tipis dengan mata setia menatap penuh intimidasi. “Kamu cuma ngurus berkas sama buka paha, kurang enak apa lagi?” lanjut Luna berbisik. Mata Di
Diana melotot saat Joey mendekat ke arah lehernya. Pria jangkung itu mengendus bau vanila yang menguar dari tubuh Diana. Gadis itu semakin gugup saat tangan besar sang bos melingkar di pinggangnya. “Kamu amatir, kan? Jangan-jangan kamu enggak pernah ciuman, ya?” Diana menahan tubuh sang bos. Wajah cantiknya memerah, antara malu dan juga marah. Dia merasa tidak nyaman dilecehkan. Diana juga punya harga diri. “Pak Joey, kalau saya laporin Bapak ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual gimana?” Joey tergelak sejenak, tetapi buru-buru bibirnya menyeriangi. “Kamu pikir semudah itu? Kalau kamu miskin dan enggak punya koneksi, jangan harap bakal menang lawan saya. Saya bisa sewa pengacara paling mahal.” Mata bulat Diana tertutup menahan gejolak amarah yang membuncah. Lelaki ini benar-benar keterlaluan. “Saya kerja di sini untuk melayani Bapak dalam urusan kantor. Kalau urusan birahi, Bapak bisa cari istri saja, kan? Enggak semua wanita mau diajak ber
Joey mengetuk setir mobilnya gelisah. Entah kenapa pikiran tentang Diana mengusiknya. Ada sedikit rasa bersalah meninggalkan gadis itu di kantor sendirian. Akan tetapi apa yang salah? Dirinya kan memang selalu pulang tepat waktu. Siapa suruh Diana tidak mengerjakan semua tugas yang dia berikan dengan cepat. “Kenapa aku mesti ngerasa bersalah sama dia? Siapa suruh kerjanya lelet kayak keong.” Meski mulutnya berkata begini, nyatanya pikiran Joey menolak. Diana bekerja sampai malam karena mengerjakan pekerjaan yang telah mengendap sekian lama. Ditambah lagi pikiran kalau gadis itu belum sempat istirahat makan semakin mengusik nurani Joey. “Ah sialan!” Setir kemudi itu berbelok menuju sebuah restoran. Paling tidak dia harus membelikan makan agar bayangan Diana secepatnya minggat dari kepala Joey. “Mbak, saya mau take away makanan paling enak di sini.” Pelayan restoran itu menunjukkan beberapa menu
Joey menyatukan alisnya saat melihat Diana yang sedang tidur berkeringat seperti orang habis lari maraton. Perasaan AC mobilnya menyala dan dingin. Kini bibir Diana mengeluarkan rintihan kesakitan seolah sedang tercekik. Buru-buru pria itu menepikan mobil, lalu mengguncang pundak Diana. “Diana, bangun!” Diana terkesiap dengan mata terbelalak. Kedua jemarinya meraba leher. Mata bulatnya mengerjap pelan. “S-Saya di mana?” “Di bulan! Kamu kenapa?” Kini pandangan Diana beralih ke arah Joey. Alis tebalnya menyatu sempurna. “Saya kenapa, Pak?” Joey mendecih sinis. “Kamu mimpi buruk, ya? Buat saya repot aja. Saya sampai harus berhenti di pinggir jalan buat bangunin kamu.” “Jadi tadi cuma mimpi?” Diam-diam Diana menarik napas lega. Setidaknya kejadian barusan hanya sebuah mimpi. Akan tetapi kenapa mimpi itu terasa sangat nyata? Bahkan leher Diana terasa perih meski tidak terluka. “Kamu mimpi apa?” tanya Joey seraya kembali melajukan mo
Wangi harum rambut si wanita begitu menggelitik jiwa kelelakian seorang Joey Pratama. Bibir tebalnya tak henti mengecup leher jenjang putih mulus gadis yang kini tengah menatap dengan raut polos di bawahnya. Jari-jari besar Joey mengelus lembut wajah cantik tanpa riasan milik si wanita. Puasa ranjang selama sebulan memang membuat Joey bak singa di musim kawin. “P-Pak Joey....” Lirihan si wanita begitu terdengar merdu. Perlahan kancing kemeja biru muda dia lepaskan hingga membuat kulit mulus bak dewi itu terlihat ke permukaan. Napas Joey memburu menatap bagaimana maha karya indah ini bisa tercipta. “Kamu cantik banget ... Diana.” Gairah meletup milik si pria tak terbendung lagi. Semua kain kedua insan itu tanggal dan jatuh ke lantai. Suhu ruangan pun kian panas seiring dengan desau yang terlontar dari dua anak manusia berbeda gender ini. “Pak ... S-Saya masih perawan.” Joey mengecupi pundak sempit milik Diana. “Saya pelan-pelan, kok.”