Share

Bab 5. " ... Aku Belum Menyentuhnya.”

“Masih marah padaku?” 

Duduk di ruang baca dan separuh merebahkan diri di atas sofa, adalah seorang wanita berambut panjang berwarna keemasan, dengan kontur wajah lembut dan lipstik yang merah menyala. Gaunnya menyebar menyentuh lantai, suasana di sekitarnya tampak malas dan santai. Dia memegang sebuah novel bersampul tebal dengan warna cerah, judul berbahasa inggris dicetak tebal dan tegak hingga Keith sulit untuk mengabaikannya. 

The Love Story, Alana Grey—begitu yang tertulis di sana, membuat Keith terpaksa memejam mata sejenak dan menghela napas panjang. 

“Kayla, aku sedang bertanya padamu.” Keith mengambil beberapa langkah maju, tetap meninggalkan jarak sekiranya Kayla yang duduk di sana tidak merasa kesal karena diganggu. Sama sekali tidak ada jejak ketidaksabaran dalam vokalnya yang berat, hanya suara bernada rendah yang sarat akan rindu. Kelopak matanya yang kerap setengah terangkat kini menatap terang-terangan ke arah Kayla, menantikan saat wanita itu mendongak dan tersenyum saat menyambutnya pulang seperti biasa. 

Akan tetapi, kali ini Kayla tidak menunjukkan reaksi sama sekali. Dia berhenti bergeming, hanya untuk memandang sekilas ke arah Keith dan lanjut membaca. 

“Aku minta maaf, Kayla.” Serba salah, Keith juga tahu betul betapa dia sangat bersalah, tapi dia sama tak berdayanya untuk apa yang telah terjadi dan hanya mampu mengatakan kalimat itu yang dia sendiri tahu—basi. 

Orang lain mungkin akan melotot dengan mulut menganga jika melihat bagaimana saat ini Keith mengubah raut wajahnya yang selalu terlihat tak berperasaan menjadi sesedih ini. 

“Kayla, demi Tuhan aku ... aku belum menyentuhnya.” Meraup wajah, Keith bisa merasakan bagaimana Kayla kini kembali mendongak dan menyipit padanya dengan sorot mata menuduh. Bahunya tak lagi tegap, tapi juga tak bisa dikatakan melorot jatuh. 

Seolah tidak cukup di sana, tanpa dipinta Keith kembali melanjutkan, “Aku bahkan memberinya kamar terpisah di bawah lantaiku, tidak mengizinkan dia berkeliaran ketika aku ada di sana, juga melarang dia untuk bicara bila tidak berkepentingan denganku.” 

Melihat Kayla menutup dan meletakkan bukunya ke tepi, Keith berpikir jika wanita itu pasti mengerti, memakluminya seperti yang selalu dia lakukan, lalu memintanya datang sebelum dipeluk dan diberi kecup yang bertubi. Seperti biasa, seperti yang selalu terjadi di antara mereka. 

“Hanya masalah waktu sampai kamu cukup berpikir sebelum kamu memutuskan menyebarkan benihmu di rahimnya, dan kamu membiarkan dia tidur di tempat terpisah, bahkan melarang dia untuk muncul dan berbicara denganmu?” Kayla menghela napas, tidak tampak terganggu.

Dari nadanya, seolah dia sengaja mendorong Keith agar bersatu dengan istri barunya. Kayla mengambil jeda sebelum kembali berkata, “Keith, kamu tidak perlu bertindak seekstrem itu. Aku tahu segalanya. Salahku karena berpikiran sempit sehingga menjadi seperti ini, menjadi pencemburu, padahal suamiku masih sangat mencintaiku, adalah wajar baginya untuk menikah lagi dan memiliki anak, karena aku cacat dan tidak mampu.” 

“Kayla, jangan seperti ini.” Urat nadi mencuat di pelipisnya, menahan diri agar tidak marah saat mendengar Kayla begitu lancar merendahkan diri seolah begitu hina. 

Berapa banyak usaha yang dia lakukan untuk membuat Kayla menjadi seseorang yang bebas dengan pribadi penuh percaya diri, untuk Kayla merasa senang dan merasa bersyukur karena menikah dengannya. Alih-alih hidup bahagia seperti yang diharapkan, semua harapan itu harus musnah di tangannya, hanya untuk sebuah keputusan yang telah diambil oleh ibunya sendiri.

Keith merasa kelu, perasaan itu seolah menggumpal dalam daging dan menjadi sesuatu yang bertahan di dada, membuat Keith hampir sulit bernapas saking merasa sesak dan tak berdaya. 

Keith ingin membuang muka, tapi juga tidak sanggup berpura-pura buta pada sepasang netra yang menatapnya berkaca-kaca. 

“Jangan menangis, Kayla.” Keith berujar serak, memangkas jarak dan berdiri lebih dekat dengan wanita itu. “Aku tahu kamu sedang marah, jadi pukul saja aku, oke? Pukul aku.” 

Kayla mengerjap, hingga setitik air mata jatuh membasahi pipinya. “Kamu tidak salah, Keith. Aku tidak marah padamu ... hanya saja—” 

“Jadi kau juga marah pada ibu? Ibuku yang membuat keputusan hingga kita menjadi seperti ini. Kayla, tidak apa-apa jika kamu marah padanya, tapi tolong jangan abaikan aku lagi, hm?” 

“Aku marah pada diriku sendiri karena tidak bisa berdamai dengan takdir kita yang seperti ini. Keith ... aku—” Kayla mengusap jejak air mata dengan telapak tangan.

Seolah tidak lagi sanggup memasung tatap pada seraut wajah lelah Keith yang terlihat tidak lebih baik darinya, dia berpaling saat berkata. “Aku hanya perlu waktu. Tolong beri aku lebih banyak waktu untuk menerima semua ini.” 

Kalimat Kayla serupa vonis yang menghukum cambuk sanubarinya. Keith merasa sakit, tapi tidak punya tempat untuk melampiaskannya. Keith hanya ingin Kayla tahu jika pernikahannya dengan Sahara tidak akan menimbulkan riak di antara mereka. Keith berpikir, tidakkah Kayla sadar berapa banyak perasaan yang dia miliki dan semua itu dia persembahkan hanya untuk Kayla. Meskipun Keith tidak berani bersumpah, tapi hatinya tetap teguh dan tidak akan mendua, biarkan orang lain memiliki raganya. 

Namun, untuk mengatakan semua itu tepat di depan wajah Kayla yang sedang terluka, Keith tahu semuanya percuma.

“Kalau begitu biarkan aku memelukmu, aku hanya ingin memelukmu, Kayla.” Keith pasrah andaikan Kayla menolak, dia siap pergi dengan langkah terseret meski goresan itu jelas menyakiti perasaannya juga. 

“Setelah memelukku lalu ke mana kamu ingin pergi?” 

“Aku—” Ke mana aku akan pergi? Aku akan pulang. Keith kehilangan kata-kata, sekarang tidak ada satu pun jawaban yang pantas dia perdengarkan pada Kayla. Dia hanya pengecut, yang bahkan tidak tahu harus menjawab apa. 

“Sekarang kamu punya dua rumah, Keith.” Kayla mendongak dari tempatnya duduk, memperhatikan dalam pandangan separuh buram pada sosok menjulang yang membelakangi cahaya. Bayangan seorang remaja urakan dalam seragam SMA perlahan pupus dan berubah menjadi sosok dewasa dengan sorot mata kelam yang telah mengalami pasang surut kehidupan. Kayla berusaha mencari-cari di mana sosok Keith yang pernah begitu mencintai dan memanjakannya, tapi hanya transparan, seolah dia bisa hilang kapan saja.

“Sudahlah.” Helaan napas Kayla terasa begitu berat seolah sarat beban. Bagaimana pun juga Keith tetap harus pulang, meskipun pada akhirnya tetap bukan dirinya yang menjadi pilihan. 

“Meskipun aku butuh waktu, aku masihlah istrimu yang berarti tidak perlu izin bagimu untuk menyentuhku. Apalagi sekadar pelukan seperti ini.” 

Aroma khas di sekeliling Kayla kini melingkupi Keith sepenuhnya, membuat lelaki itu sejenak linglung. Kayla telah datang dan memeluknya dengan hangat, rambutnya yang panjang tergerai membelai punggung tangan Keith yang ikut mendekap rindu. Tidak yakin mengapa Keith menghela napas, entah untuk Kayla yang masih selembut biasa, atau degup jantungnya yang masih sama. 

“Aku mencintaimu, Kayla.” Dikecupnya ubun-ubun wanita itu dengan sayang. “Kamu harus tahu jika cintaku tak pernah berubah, selalu untukmu.” 

Kayla hanya bersenandung, betah berlama-lama menyandarkan kepalanya di dada Keith sambil mendengarkan detak jantung laki-laki itu. Ada satu yang tidak berani dia pertanyakan, bagaimana jika dia sendiri yang lebih dulu berubah, akankah Keith tetap teguh dengan keyakinannya? 

Di balik punggung suaminya, tatapan Kayla jatuh pada ponsel yang mengintip di balik bantal sofa. Layarnya berkedip-kedip, seseorang baru saja membalas pesannya.

••• 

“Tuanmu tidak akan senang jika melihatku di sini, sebaiknya aku turun sebelum dia kembali.” Sahara membenahi selendang yang tersampir di bahunya.

Dia baru saja akan melangkahkan kaki ke kamar Keith, tapi teringat akan larangan yang diberikan oleh laki-laki itu terakhir kali. Rasanya aneh saat Keith tiba-tiba saja memerintahkannya menunggu di sini. Dari sudut mata, Sahara mencoba menilai baik-baik setiap gerakan Naina yang sayangnya masih tanpa celah.

Sepanjang perjalan, Naina banyak bercerita tentang asal-usul berbagai jenis macam bunga yang tumbuh di kediaman ini. Bahkan saat mereka sudah berjalan melalui koridor menuju kamarnya, Naina masih bercerita tentang ibu Keith. 

“Ibu tuan Keith sangat baik. Beliau sering datang ke sini, tetap absen setidaknya seminggu sekali.” 

Dari bagaimana raut wajah Naina terlihat, Sahara berani menebak jika ibu Keith pasti cukup baik untuk membuat gadis polos seperti Naina memujinya berulang kali. 

“Ibu tuan Keith sangat menyukai buku dan juga bunga, selalu membawa jenis bunga yang berbeda setiap kali datang untuk ditanam di rumah ini. Awalnya, taman belakang itu akan dibuat untuk mendirikan sebuah perpustakaan yang terhubung langsung ke dalam rumah, tapi ibu tuan Keith bilang jangan, biarkan rumah ini terlihat sedikit hidup dengan beberapa jenis tumbuhan.”

“Tuan Keith tidak keberatan, jadilah taman belakang terlihat seperti itu sekarang.” Naina berceloteh panjang lebar, tidak lupa melirik Sahara dan sedikit banyak penasaran dengan reaksinya. “Lalu bagaimana dengan Nyonya? Apakah Nyonya menyukai bunga?” 

Sahara tidak bisa menyalahkan Naina karena menjadi begitu cerewet, mungkin sikapnya yang suam-suam kuku membuat gadis itu berpikir jika dia merupakan salah satu tipe yang mudah dihadapi. 

Mengingat berbagai jenis kembang dan tanaman hias merambat yang dia lihat beberapa saat yang lalu, Sahara mengulum bibir dan tidak butuh waktu lama untuk berpikir sebelum menjawab, “Aku tidak membencinya.” Tapi aku juga tidak begitu menyukainya, lanjut Sahara yang hanya diucapkan dalam hati. 

Namun, melihat bunga-bunga yang tumbuh mekar di taman tak pelak mengingatkan Sahara pada ibunya sendiri. Ibunya pernah sangat mencintai bunga seperti itu adalah hidupnya sendiri. Sampai ayahnya memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang janda beranak satu, mantan kekasih, cinta lama yang bersemi kembali. Ibunya jatuh sakit hampir seketika dan tidak lama kemudian meninggal dunia. 

Sahara, sebagaimana anak yang terbuang, melihat saat-saat ketika bunga yang dulu dirawat oleh ibunya perlahan-lahan layu, meskipun sudah disiram, tapi tetap saja perlahan-lahan dia akan mati. Sahara tidak begitu menyukai bunga, tapi dia tidak pernah merasa keberatan merawat mereka untuk orang yang dihargai.

Deru mesin mobil yang memasuki pekarangan membangunkan Sahara dari kilas balik ingatan. Naina juga sudah berhenti berbicara, dan kini tampak lebih pendiam dan terkendali. Sahara dapat tahu hanya dari sekilas pandang, tampaknya Naina sangat takut pada Keith yang kerap memasang wajah kaku dan selalu tampak garang. 

Sahara sengaja mempercepat langkah, berharap saat Keith masuk ke dalam rumah bertepatan dengan langkahnya yang terbenam di balik pintu. Akan tetapi, dia tidak tahu mengapa Keith terlihat begitu terburu-buru. Sahara awalnya tak ingin berhenti di jalurnya, ingin memperlakukan Keith seperti sesuatu yang tak terlihat dan berharap yang lain juga memiliki pikiran yang sama. 

Siapa sangka, bertepatan saat Sahara melewati Keith yang kini tertinggal selangkah di belakang, pergelangan tangannya dicengkeram tiba-tiba. 

“Kamu masih muncul di hadapanku?!” 

Seolah darah tersedot habis dari wajahnya, Sahara berubah pucat menahan sakit yang tak terduga. Keith benar-benar menyakitinya. Dia tersentak mundur saat Keith menariknya kasar. Sahara hampir yakin jika dia baru saja mendengar derit gigi Keith saat mengencangkan rahang. Dia lebih terkejut dan nyaris tersedak saat bertemu tatap dengan sepasang mata Keith yang melotot penuh permusuhan. 

“Kenapa? Sahara? Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak muncul di hadapanku seperti ini, seperti saat ini. Ikut aku!”

“Lepaskan aku, Keith! Lepaskan aku! Tolong lepaskan aku!” Sahara merasa ngeri saat Keith menyeretnya masuk ke dalam kamar. Dengan semua gelagat yang ditampilkan, Sahara tidak sanggup membayangkan soal apa yang laki-laki itu ingin lakukan. Di saat-saat terakhir, Sahara menyadari kehadiran Naina yang menghilang, lalu ingat soal kebohongan yang gadis itu ucapkan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bintang
lanjut kaaa....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status