Share

Berpisah

Karan mengangkat semua barang-barang milik Reina dan memasukan ke bagasi mobilnya. Sudah tidak ada lagi toleransi untuk Reina, pernikahan ini harus benar-benar berakhir.

Meskipun berat hatinya meninggalkan rumah sang suami, terutama meninggalkan anak-anaknya. Akan tetapi, Reina juga tidak ingin memaksakan Karan untuk tetap menampungnya di rumah itu. Padahal sudah jelas, bahwa Karan tidak menginginkan lagi istrinya.

“Haruskah dengan cara begini hancurnya pernikahan kita, Karan? Apakah kita tidak bisa menyelesaikannya dengan baik-baik?”

“Sejak awal sudah kukatakan bahwa aku ini seorang duda dua orang anak, kamu menyanggupinya untuk menerima anak-anakku. Jadi, untuk apa kamu bertahan jika tidak mau lagi mengurus anak-anak.”

“Apa selama ini aku tidak pernah mengurusi anak-anakmu, Karan?”

“Tapi kamu lebih sibuk dengan duniamu dan kamu lebih senang keluar bersama teman-temanmu daripada menemani anak-anak. Satu hal lagi, Reina. Aku tidak bisa bertahan dengan wanita yang jelas sudah tidak mau setia lagi kepadaku.”

Karan masih bersikeras dengan keputusannya. Hubungan pernikahan yang baru menginjak empat puluh hari itu harus berakhir tanpa tapi. Segala usaha dilakukan Reina untuk mempertahankan pernikahannya dengan Karan, tapi nahkodanya tetap saja memilih untuk berhenti di tengah lautan tak lagi melanjutkan perjalanan.

Reina masih berusaha mencegah Karan, dia ingin mempertahankan pernikahannya meskipun sudah diujung tanduk. Akan tetapi, semua hal yang dilakukan Reina tidak ada gunanya lagi sekarang.

Kini, tinggallah rasa sesal dalam hatinya. Sudah terlambat untuk Reina mengatakan penyesalannya kepada Karan. Semua barang sudah diangkut Karan hanya tinggal beberapa langkah lagi sebelum naik ke mobil.

“Sampai di sinikah perjuanganmu untuk mempertahankan pernikahan kita, Karan? Kenapa tidak ada cara lain selain perpisahan ini, Karan?”

Reina bertanya pada dirinya sendiri seraya melihat ke sekeliling isi kamar dan rumahnya. Lemari dan baju yang di dalamnya pernah dia sentuh dan dia cuci. Reina menyentuh salah satu baju milik Karan, baju yang pertama kali Karan pakai di rumahnya setelah pernikahan.

Bukan hanya sesak, tapi sakit begitu dalam dirasakan oleh Reina. Dia menangis seraya memeluk baju itu, berharap bahwa ada keajaiban Tuhan untuk pernikahannya.

“Setelah ini, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Mungkin hidupku tidak ada gunanya lagi tanpamu,” tangis Reina.

Farhan mengejutkan Reina dengan menarik ujung baju ibunya.

“Bunda, ayo kita pergi! Ayah menunggu di luar.”

Reina menyeka air matanya, “baik, Nak. Mari!” ajak Reina seraya meraih tangan anaknya.

Ibunya Karan sudah tiba sejak tadi, Karan sengaja meminta ibunya menjemput dengan menyewa mobil. Barang Reina juga cukup banyak, itulah sebabnya Karan memilih untuk menyewa mobil untuk mengantarkan Reina pulang. Kenyataan ini benar-benar harus diterimanya, tak ada lagi usaha Karan untuk bertahan.

“K-karan,” panggil Reina sebelum menaiki mobil seraya menyentuh ujung jari suaminya.

“Sudah siap? Ayo kita berangkat!” ajak Karan.

Namun, langkah Karan terhenti saat Reina berhasil menarik lengan Karan agar tidak segera masuk ke dalam mobil. Reina masih berharap bahwa Karan akan mengurungkan niatnya untuk berpisah.

“Apalagi yang akan kita bicarakan, Re? Sudah jelas bukan, kamu meminta pulang? Abang antarkan kamu pulang sesuai permintaanmu.”

“Setelah ini, Re tidak tahu akan melanjutkan hidup seperti apa. Sebab, Reina tidak tahu akan mendapatkan ganti yang lebih baik dari Abang atau tidak. Tapi yang jelas, Reina sama sekali tidak berniat untuk menikah dengan lelaki lain lagi.”

“Jangan bicara seperti itu, kamu harus melanjutkan hidup. Jadikan pernikahan ini sebagai pelajaranmu, kelak jangan lakukan kesalahan yang sama saat memiliki suami lagi.”

“Tidak, Re tidak ingin mencari ganti yang lain. Namun, jika Abang merasa Reina tidak pantas menjadi istri Abang dan ibunya anak-anak, silakan Abang cari yang lebih baik dari Reina.”

“Tidak, saat ini Abang hanya memikirkan anak-anak, tidak akan mencari ibu pengganti untuk mereka. Sudahlah, ayo kita pergi!”

Sepasang mata itu tidak lagi menatap, Karan berusaha memalingkan wajah dari Reina. Begitu juga dengan Reina, dia tidak sanggup menatap wajah suaminya. Lelaki yang telah mengikat sebuah janji dengan orang tuanya kala itu.

Tidak dia percaya, bahwa pernikahan yang diidamkan oleh Reina harus sesingkat ini perjalanannya. Reina tidak menyangka, bahwa impiannya menikah sekali seumur hidupnya  tidak dikabulkan Tuhan.

Terlebih, Reina berharap bahwa ia tidak mengalami kehancuran pernikahan seperti kedua orang tuanya. Akan tetapi takdir Tuhan memberikan dia kejuatan lain. Reina harus merasakan rasanya perpisahan kedua orang tuanya.

“Tuhan, tolong selamatkan pernikahan ini. Aku mohon, jangan biarkan ranjang kami benar-benar hancur begitu saja, tolong kembalikan hati suamiku dan kembalikan rasa cintanya untukku.”

Doa Reina dalam hatinya sepanjang jalan, dia hanya berharap bahwa ada keajaiban Tuhan serta kejutan lain untuk keutuhan pernikahannya. Hatinya hancur, tetapi tidak lebih hancur dari perasaan Karan saat ini.

Hati Karan sudah sangat kecewa, hingga dia tidak mau menatap kembali wanita yang pernah dia perjuangkan itu. Meskipun terdengar sederhana, tetapi memang tidak ada yang dapat memahami perasaan selain dirinya sendiri.

Kedatangan mobil mengejutkan Henny, sudah lama memang anak sulungnya ini tidak pulang setelah menikah. Kali ini, dia datang bersama suaminya. Karan segera memarkirkan mobilnya di halaman rumah, lalu keluar menyalami Henny sebentar.

Karan mengeluarkan semua barang milik Reina dari bagasi mobil dibantu oleh pemilik mobilnya. Henny sangat terkejut, tetapi tidak sanggup bertanya sebelum mereka sendiri yang menjelaskan segalanya. Meskipun sebelumnya Reina sudah mengabarkan bahwa dirinya dengan Karan akan pulang.

“Ibu, Karan tidak lama datang ke sini. Hanya ingin mengantarkan Reina pulang seperti yang dia inginkan. Selain itu, Karan juga ingin mengembalikan Reina. Kita sudah mengamil keputusan untuk berpisah,” tutur Karan setelah dipersilakan duduk oleh mertuanya.

“Nak, apa yang terjadi? Kenapa kalian tidak bicara baik-baik saja dulu? Kenapa langsung mengambil keputusan seperti ini?”

“Sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Bu. Memang jalan kita sudah berbeda arah, semua hal yang terjadi dalam pernikahan biarkan menjadi masalah kita dan hanya kita yang mengetahuinya. Sekarang, saya hanya ingin menjatuhkan talak satu kepada Reina dan Ibu saksinya.”

Bukan main terkejutnya Henny mendengar penjelasan Karan, sementara Reina tidak menanggapi hal apapun lagi. Dia hanya terdiam, berusaha tetap tegar menghadapi kehancuran pernikahannya.

Sebagai seorang ibu, Henny tidak bisa memaksa anaknya untuk bertahan. Akan tetapi, Henny berharap bahwa keduanya akan merubah keadaan dan mau memperbaiki segalanya.

“Nak, apapun masalahnya. Ibu tidak berharap kalian harus berpisah secepat ini, terlalu singkat perjalanan kalian. Jika masih bisa diperbaiki, kenapa tidak kalian coba diperbaiki saja.”

“Tidak, Bu. Ini sudah keputusan akhir dan memang Reina yang memintanya. Jadi, saya tidak memiliki alasan untuk tetap mempertahankannya lagi. Saya permisi.”

Tidak menunggu lama lagi, Karan akhirnya pamit pulang. Tidak peduli mertuanya terus mempertanyakan apa yang terjadi kepada keduanya.

“Bunda, ayo ikut pulang!” ajak Farhan.

“Tidak, Nak. Bunda tidak ikut dengan kalian, pulanglah! Jaga dirimu baik-baik,” ujar Reina seraya mengecup lembut anak sulungnya untuk terakhir kali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status