Tiga bulan setelah perpisahan Reina dengan Karan, belum ada banyak perubahan dalam diri Reina. Dia masih takut untuk melihat pernikahan orang lain, saat dia melihat postingan pernikahan hatinya sakit dan menangis. Mengingat bahwa dirinya gagal dalam pernikahan, sehingga dia menghindari untuk datang ke pernikahan orang lain.Sebegitu hancurnya hidup Reina setelah Karan pergi darinya. Dia bukan hanya harus menghindari perdebatan, tapi Reina juga harus melarikan diri dari banyak orang. Dia mulai private, tidak ada postingan di media sosialnya seperti dulu. Bahkan notifikasi media sosialnya dimatikan, menghindari percakapan dengan banyak orang.Mungkin sebagian orang akan menganggap Reina cengeng, tapi sebuah perpisahan dalam pernikahan itu benar-benar akan menghancurkan hati seseorang. Tidak ada yang tahu bahwa perpisahan setelah menikah itu lebih menyakitkan dari sekadar putus cinta tanpa ada ikatan. Menyandang status baru, direndahkan oleh orang lain bukan hal mudah bagi Reina.“Bu, Re
Reina tidak pernah lupa, ketika dia akhirnya mengambil keputusan untuk menikah dengan Karan. Dia harus mengurusi berkas pernikahannya seorang diri. Dia dengan Karan mengurus semua persiapan pernikahan dari mulai chatring hingga dekorasi, mahar, seserahan dan lainnya. Reina harus menutupi rasa kecewanya dengan tetap berusaha tersenyum, selama dia mampu sendiri tidak mau merepotkan orang lain.Rasanya, tidak ada seorang pun yang mau memahami dirinya. Sebagai seorang anak, dia tidak perlu mengemis untuk meminta bantuan kepada keluarga dan orang tua. Tapi, tak ada satupun yang bergerak untuk membantunya bahkan ayahnya sendiri. Namun, dia adalah Reina yang tidak mau mengeluh ataupun meratapi nasibnya.Dia berusaha melakukan semuanya sendiri, tidak peduli selama satu bulan sebelum acara pernikahan dia juga harus ikut turun tangan bekerja. Semua rasa sakit dan segala bentuk kesabaran sudah Reina lakukan, dia mengurusi semuanya seorang diri bahkan untuk membuat undangan pernikahan pun dia lak
Reina mengambil keputusan untuk pergi ke kota dan memilih indekost sementara waktu. Sambil menunggu panggilan kerja, dia tetap melanjutkan tulisannya. Reina melakukan semua itu demi menghindari banyak orang yang mempertanyakan statusnya. Dia sudah lelah harus kembali bercerita mengenai apa yang terjadi dalam pernikahannya.Semakin Reina ingat, semua itu terasa semakin sakit dan sesak. Reina yang bertarung sepanjang malam agar tidak mengingat Karan, tapi semua itu terasa sia-sia saja. Karan terus mengusiknya dan masuk ke dalam mimpinya, seolah memberikan harapan pada Reina bahwa dia akan kembali.Realita yang tidak sesuai isi dalam mimpinya. Kenyataan yang ada, Karan justru telah pergi dari hidupnya dan tidak ingin lagi mengulang pernikahan dengan dirinya. Entah mimpi itu adalah harapan Reina yang menginginkan Karan kembali. Atau justru sisi lain dari hati Karan yang tersembunyi sebenarnya bahwa memang Karan juga ingin memperbaiki pernikahannya.“Sejak tiba, Kak Re kulihat melamun saja
Reina tetap menjalani rutinitasnya. Seperti orang yang tidak punya semangat hidup, bahkan untuk melanjutkan tulisannya saja Reina tidak segigih dulu. Dia yang bisa menghasilkan beberapa buku dalam sebulan. Hanya enam puluh ribu kata saja sepele baginya, bukan hal sulit. Namun, Reina tidak percaya bahwa perpisahan ini telah merubah segala hal dalam hidupnya.Karan adalah alasanya tersenyum, semangat hidupnya. Lantas, setelah perpisahan ini Reina tidak memiliki alasan untuk bertahan hidup lagi. Dia merasa tak ada yang penting baginya, berapapun uang didapatkannya tidak membuat Reina benar-benar semangat hidup lagi. Semua terasa percuma saja tanpa adanya suami dan anak-anak.Sayang sekali, semua itu hanyalah perasaan Reina semata. Sementara Karan sudah asyik dengan dunianya dan melepaskan Reina begitu saja tanpa menoleh lagi ke belakang. Segala upaya Reina untuk mempertahankan pernikahan tidak lagi berarti apa pun untuk Karan. Dia sudah aman dan tenang dengan anak-anaknya seperti sebelum
Hari itu, tepat di hari pernikahan mereka. Acara tampak baik-baik saja, sejak pagi semua orang sudah bersiap-siap termasuk Reina. Tukang rias juga datang tepat waktu, sehingga Reina sudah siap sebelum akad nikah dilangsungkan. Begitu juga dengan keluarga Karan, mereka datang tepat waktu dengan disambut sholawat.Indah sekali hari itu, tepat di hari jum’at mereka melangsungkan akad nikah. Hari yang Reina pilih dan disetujui oleh Karan, semua persiapan pun Reina lakukan. Sejak mulai membuat undangan sendiri, menyiapkan beberapa persiapan dan juga membicarakan dana pernikahan. Semua dibicarakan berdua dengan Karan, dia menyepakatinya tanpa ada protes hingga tepat di hari pernikahan mereka.Namun, dibalik sibuknya pengantin lelaki melangsungkan akad nikah di masjid. Rupanya, chaetring belum datang, bahkan saat disusul ke tempatnya pun nasinya belum matang. Akhirnya, keluarga menurunkan makanan sisa pengajian semalam ke tempat parasmanan sebelum chaetring tiba. Mendadak semua orang ikut pa
“Re, sudah hampir satu bulan lebih kamu tidak pulang. Kapan pulang? Pekerjaanmu kemarin bagaimana?” suara sang ibu dari seberang sana menyapa Reina dengan pertanyaan.“Iya, Bu. Reina belum bisa pulang, kemarin tidak lolos ke tahap berikutnya. Nanti, Reina pikirkan kapan akan pulang.”Obrolan singkat itu tidak begitu lama, Reina akhirnya menutup panggilan setelah bertukar kabar dengan ibunya di kampung. Ah, benar. Memang sudah cukup lama, banyak hal yang belum Reina selesaikan di kampung termasuk perihal urusan pernikahannya dengan Karan. meskipun secara agama sudah sah berpisah, tapi mereka belum mengurusinya secara hukum.“Uruslah perceraianmu itu ke pengadilan, Re. Kamu masih muda, jalan hidupmu masih panjang. Kalau kamu tidak mengurusnya, akan sulit menikah lagi nantinya,” desak seseorang pada Reina.“Aku belum membutuhkannya, lagi pula kalau harus mengurus itu butuh banyak uang.” “Begini saja, kamu temui mantan suamimu itu dan ajak diskusi bagaimana perihal perceraian kalian. Dibu
Satu bulan setelah hari itu, tepat pada tanggal 31 Oktober akhirnya Reina dan Karan resmi berpisah. Tercatat dari tanggal tersebut masa iddah Reina dimulai kembali. Betapa tak adilnya Tuhan memperlakukan dirinya, begitu Reina memaki diri usai menerima akta cerai tersebut. Senyum kepalsuan itu mengembang, di belakang ibunya dia menangisi perpisahannya dengan Karan yang sudah resmi tercatat secara hukum agama dan negara.Harapan itu telah sirna, Karan tidak ingin lagi mencabut keputusannya. Dia sudah benar-benar telanjur mengubur rasa sakit dan kecewanya lewat perpisahan ini. Selembar kertas itu bisa saja disobek oleh Reina, tetapi itu tidak bisa merubah kenyataan pahit bahwa Karan dengan dirinya sudah tidak bisa lagi bersama.“Neng, jangan khawatir, meskipun sudah mendapatkan akta sekalipun kalau memang takdir Allah harus kembali, tidak ada yang mustahil. Bapak bicara begitu, sebab sudah mendapati banyak kasus suami istri yang menikah dan berpisah lalu mereka kembali,” ucap Pak Komar s
Karan masih menjalankan aktivitas seperti biasanya, mengajar maupun mengurus anak-anak. Hanya saja, sejak Reina meninggalkan rumah itu, ibu mertua Karan membawa kembali anak bungsunya. Namun, rutinitas Karan tidak sepadat dulu sebelum menikah dengan Reina. Dia yang biasa sebelum berangkat kerja harus mengurus anak-anak di rumah ibu mertuanya, kini tak lagi sebab anak sulungnya tinggal bersama di rumah baru.Bukan hal mudah memang menjadi Karan, dia harus dipukul oleh kenyataan atas kehilangan sang istri dengan meninggalkan dua orang anak, terutama anak bungsu yang saat itu masih berusia dua bulan.Namun, Karan berhasil survive dan melewati itu dalam waktu hampir satu tahun. Meskipun pernah menikah dengan Reina yang hanya berjalan satu bulan saja, tetapi peran Karan sebagai ayah sekaligus ibu bagi kedua orang anaknya sangat luar biasa.Siapa yang ingin ditinggalkan oleh seorang istri? Semua suami juga tidak mengharapkan itu terjadi.Kalimat itu kerap kali diucapkan Karan setiap kali ad