Part 16 Keputusan
"Sebaiknya jangan ambil keputusan dengan gegabah Nak! Feesa akan semakin terluka karena mu. Terlihat sekali jika selama ini dia sangat mencintai dirimu. Jangan sampai kau sesali nanti di kemudian hari. Ingatlah hal ini baik-baik, jangan mudah berjanji saat kau bahagia, dan jangan memutuskan sesuatu saat dirimu dipenuhi oleh amarah." ucap Papa. Tapi jalan pikiranku berkata lain. Inilah saat yang tepat untuk melepaskan Feesa dan menempatkan Nana sebagai Nyonya rumah. Pikiranku rasanya sudah mantap.
"Maka dari itu, Aku ingin agar Feesa bisa meneruskan hidupnya tanpa tekanan dariku. Tanpa dihalangi lagi oleh ikatan yang sama sekali tidak kami inginkan." aku mencoba memberi pengertian kepada Papa.
"Baiklah kalau itu keputusanmu. Papa juga yakin Feesa akan segera mendapatkan pengganti dirimu yang lebih tampan dan jauh lebih muda darimu. Lagian, pria mana yang tidak mau menjadikan dia istrinya, secara dia akan menjadi janda muda yang kaya
Part 17 "Ternyata Kau pria yang cerdas!" "Tidak usah banyak memuji, cepat katakan kenapa kau bisa melakukan hal sekeji itu kepadaku?" Aliran darahku rasanya semakin mendidih. Raga adalah sahabat baikku di masa lalu. Tapi hubungan kami berakhir sejak gadis yang bernama Zalina muncul di antara kami berdua. Rasa cinta yang dimiliki Raga membuat kami bertengkar hebat. "Kejadian lima tahun yang lalu, kita telah di adu domba olehnya!" Raga buka suara pada akhirnya. Aku masih menahan kesal. Raga masih saja berbelit-belit. "Aku sudah tahu!" ketusku yang memang sudah tahu. Teringat kejadian lima tahun lalu, kami bertengkar hebat dengan luka di sekujur tubuh. Raga dan diriku bagaikan anak kecil yang berebut mainan. Hanya karena sebuah kesalahpahaman. "Maafkan aku, Angga. Karena cinta buta, kita sampai menjauh satu dengan lainnya." Aku menatap wajah Raga yang terlihat sendu, aku bisa mengenali arti tatapannya
Part 18Feesa POV"Ibu Feesa, ini dokumen terakhir. Silahkan di periksa." Dialah sekretaris terbaikku, kakak perempuan dari Saroh bernama Delina."Kerja yang bagus. Aku berterima kasih pada Kak Delina. Selama ini Kakak bekerja begitu rajin sehingga restoran ini maju pesat," Delina tersenyum menanggapi. Dia menggeser kursi lalu duduk di hadapanku. Aku mulai meneliti semua angka dan huruf yang tertera di sana."Sepertinya kau lupa siapa diriku ini," ketus Delina. Dari reaksi tubuh dan juga caranya bicara aku menduga dia tengah kesal padaku dalam artian mengingatkan. Kami sangat dekat hingga layaknya saudara kandung. Jadi sudah dipastikan tidak perlu ada ucapan terima kasih. Begitulah yang tersirat. Aku hanya tersenyum menanggapinya kemudian fokus pada berkas yang aku pegang."Bagus! Sesuai dengan apa yang aku inginkan!" ucapku seraya menyerahkan kembali berkas yang beberapa menit lalu aku kuasai."Syukurlah, tid
Part 19"Kau! Pria arogan yang sok kecakepan." Delina menunjuk Angga dengan jarinya.Angga menatap sekilas pada Delina, lalu beralih pada plat motor yang terparkir tak jauh dari tempat dirinya berada."Dan kau pikir, kau siapa? Perempuan binal yang suka kebut-kebutan di jalan. Iya!" ketus Angga ingat akan kejadian kemarin. Dia tahu betul nomer polisi yang tertera pada motor yang dibawa Delina. Delina membuang muka untuk beberapa saat, lalu menatap Angga lagi dengan mimik muka yang sama."Kau sungguh tidak mengenal siapa yang kemarin?" selidik Delina.Delina tahu siapa orang yang tengah berada di hadapannya saat ini. Delina awalnya ingin menenangkan diri dengan menyendiri di tepi danau. Namun siapa sangka suara bising Angga membuat moodnya semakin memburuk. Dan lebih buruk lagi saat mengetahui siapa orang yang dia hadapi kini."Hahhh ...!" Delina membuang muka dengan senyum kecut. Bagaimana bisa seorang sua
"Bolehkah saya ikut gabung dengan kalian?" Tanpa sungkan orang itupun duduk diantara mertua dan menantu."Apa kabar, Tante?" Senyum secerah matahari terbit tercetak jelas di bibir Zalina. Wanita yang penuh kepalsuan. "Lama kita tidak jumpa." Jika dilihat dari gerakan tubuhnya, Zalina terkesan ingin memeluk Lina, namun dengan gerakan tangan Lina menolak mentah-mentah."Cukup!" Feesa tidak mengenal siapa wanita yang baru saja bergabung, hanya diam mengamati interaksi keduanya. Dia hanya menilai jika wajah Lina berubah suram semenjak kedatangan wanita yang baru saja duduk diantara mereka. Seperti ada kebencian yang tersirat."Pelayan, saya pesan makanan dan minuman yang sama dengan mereka berdua ini!" "Tidakkah kau merasa canggung duduk bersama orang asing?" ketus Lina. "Ah! Iya, aku lupa jika kau bahkan tidak punya rasa malu. Nona Zalina Penggoda." Lina tersenyum mengejek ala kelas atas. Bahasa tubuhnya terkesan anggun nan elegan namun kata-katanya menyakitkan.Feesa berpikir jika wan
Part 21 Feesa POV Mungkin angin telah berubah haluan musim hujan sudah mulai menyapa. Bergilir angin sepoi-sepoi berganti arah. Semilirnya menyejukkan hati yang semula terasa kering. Mungkin aku sudah bisa berharap pada pernikahan ini. Mas Angga sepertinya sudah mulai bicara kepadaku. Meski justru hal itu menimbulkan banyak pertanyaan di benakku. Ada apa gerangan? Mengapa tiba-tiba saja Mas Angga baik padaku? "Astaghfirullah! Seharusnya aku bersyukur dengan keadaan ini," gumamku sambil mengusap seluruh wajah. Kini aku duduk di sofa bawah jendela kamar. Dari lantai dua rumah ini, rembulan terlihat terang benderang hingga cahayanya masuk dan menembus kulit. Korden jendela sengaja tidak aku tutup. Sebuah note kecil berwarna hitam menarik perhatianku. Aku ingat benar semua rencana hidup telah kususun rapi selama satu tahun bersama Saroh. Dan bulan ini, ada satu hal yang harusnya aku lakukan bersama Satoh. Rencana untuk menyusul Saroh ke Jakarta. Sepertinya hal itu harus aku kuburkan
"Aku ingin bertemu denganmu tapi tidak mungkin!" tangisku semakin pecah. Bahkan aku mulai sesenggukan. Entah kenapa rasanya begitu sulit berpura-pura."Apa hanya itu?" Sepertinya Saroh tidak percaya padaku.Kuusap sekali lagi pipiku yang basah. Mencoba mengatur nafas beberapa kali dan dengan susah payah akhirnya bisa menguasai diri kembali."Aku hanya merindukanmu. Kenapa kau tidak percaya padaku?" kataku di sertai senyuman."Masak!""Kau ini! Apa aku terlihat berbohong?" rajukku dengan menggerakkan mulut seperti bebek."Entahlah!Aku juga heran kenapa kali ini aku kurang percaya padamu.""Tentang?""Semuanya! Terlebih lagi tentang pernikahanmu. Aku tidak pernah melihat suamimu satu kali pun."Seketika tubuhku menegang. Kali ini aku benar-benar merasa telah melakukan kesalahan dengan menerima panggilan video dari Saroh di rumah. "Itu...a aku.""Mana suamimu?" Belum kelar aku menemukan sebuah alasan, Saroh kembali membuatku panik dengan pertanyaannya."Di- Di- dia sedang istirahat!""
Ingat Istri Angga POV "Bos, pagi ini kita akan kedatangan klien penting dari PT Pesona Maya. Dan kabar baiknya adalah. Tuan Gibran Candra yang akan meeting dengan kita nanti siang" Viki dan Viona menjemput pagiku dengan wajah sangat sumringah. Berbeda denganku yang sebenarnya sangatlah tidak ada mood. Nana telah menghilang entah kemana. Sejak pertemuan kita di minggu terakhir yang lalu, dia sama sekali tidak ada kabar lagi. Dan istriku Feesa. Kenapa aku baru menyadari bahwa dia memiliki wajah yang mirip dengan Nana? Aku mencoba beberapa kali menghubungi Nana. Nihil. Bahkan pesanku pun tidak kunjung dia balas. "Bos, bagaimana? Apa tidak sebaiknya kita bersiap mulai sekarang? Aku banyak mendengar jika Tuan Gibran sangat sulit untuk didekati. Tapi kali ini, beliu sendiri yang berkenan hadir menemui kita. Ini adalah suatu keberuntungan." "Itu benar, Bos. Tuan Murad yang menelepon beberapa menit yang lalu. Beliau mengatakan jika Tuan Gibran akan datang secara langsung guna membica
POV Angga. Sungguh lelah rasa batin ini menunggu pertemuan yang menurutku sangatlah lama. Membuang waktu saja. Tuan Gibran Candra bahkan sangat arogan hingga meninggalkan meeting di tengah jalan. Tuan Gibran lebih memilih break ketika suara adzan berkumandang. Mau tidak mau aku ikut juga dengannya ke musholla yang berada di lantai bawah. "Aku senang bisa bekerjasama dengan orang yang selalu mengingat Tuhannya." Ucap Tuan Gibran yang aku sangkakan bahwa perkataannya hanya untuk memuji tentang adanya musholla di antara gedung perkantoran ini. Dan mungkin saja dia berpikir jika atasan dari gedung ini, yaitu diriku, pastilah ahli ibadah.Padahal, musholla itu sudah ada sebelum aku yang menjabat sebagai Presdir. Tentu saja papa lah yang mengatur semuanya atau bisa jadi malahan kakek."Saya bukanlah ahli ibadah seperti yang Tuan kira!" jawabku sambil tersenyum. Aku melihat wajah teduh Tuan Gibran yang nampak bercahaya dalam basuhan air wudhu. Umur dan wajahnya sangatlah tidak sinkron. Bel