"Kamu nggak apa-apa, 'kan, Be? Maaf, nggak sempat pamit sama kamu. Mommy nelpon pagi-pagi buta, minta aku siap-siap. Katanya, pesawat yang jemput aku bentar lagi dateng. Aku pergi jam empat pagi."Diva tetap cemberut meskipun Juna sudah menjelaskan alasannya kenapa tidak pamit padanya. Pipinya menggembung, bibir mengerucut. Tak peduli akan disebut anak kecil, dia hanya ingin menumpahkan kekesalannya pada pria yang saat ini terhubung melalui panggilan video, dengannya. Pukul sebelas siang, saat dia baru keluar dari kamar mandi. Sebab tak ada siapa pun yang membangunkannya, dia terlambat bangun hari ini. Ketika membuka mata, melihat ke jam dinding ternyata sudah lewat pukul sepuluh pagi. Padahal tadi malam dia tidak begadang, tidurnya di jam seperti biasa. Namun, tetap saja dia bangun lebih siang. "Mau nelpon kamu, tapi aku nggak mau ganggu kamu lagi tidur.""Tapi, seenggaknya kamu bisa kirim pesan, 'kan?" protes Diva. Ini adalah kalimat pertama sejak mereka terhubung beberapa menit ya
Seandainya saja pertemuan ini bisa diwakilkan atau lebih bagus lagi tidak dihadiri, ia pasti sudah melakukannya. Tidak akan pergi ke tempat yang jauh dari wanitanya. Melihat Diva menangis membuat dadanya terasa sesak juga. Juna menarik napas panjang, mendiamkannya beberapa detik di paru-parunya yang terasa kosong, membuangnya kembali setelah dirasa paru-parunya sudah terisi. "Maafin aku, Be, aku juga nggak pengen ada di sini." Juna mengusap wajah kasar. "Jangan nangis lagi, dong, Baby, ntar kamu makin cantik. Aku nggak mau ada saingan." Delikan mata Diva yang berair sedikit menghiburnya. Wanitanya tampak semakin menggemaskan. Seandainya Diva berada di sini, sudah pasti akan dipeluknya tubuh mungil itu."Apaan, sih, Juna! Ngehiburnya nggak banget!" Tawa Juna pecah melihat belalakan mata cokelat gelap itu. "Maksudnya apa, ya, Baby?" tanyanya dengan menekankan kata baby. Ia sengaja, Diva terlihat semakin menggemaskan jika cemberut. Tingkahnya masi
Swiss dan cokelat yang bersalju. Di akhir tahun hanya itu yang diingat Juna saat ia masih kecil. Kedua orang tuanya sering mengajaknya ke Titlis untuk liburan. Biasanya mereka menghabiskan waktu satu minggu di sana kemudian kembali ke New York untuk menghabiskan liburan musim dingin dan merayakan natal. Kembali lagi ke Jakarta setelah pergantian tahun. Namun, saat ini ia tidak sedang berlibur, melainkan bagian dari pekerjaan. Seperti yang dikatakannya pada Diva saat panggilan video mereka tadi pagi, siang sampai tiba makan malam, ia bersama Kevin dan kedua orang tuanya beserta asisten pribadi mereka masing-masing menghadiri pertemuan yang membahas masalah pekerjaan mereka. Sebenarnya ia tidak menyukainya, tetapi karena hanya para pebisnis yang memiliki pengaruh besar saja yang diundang, maka ia menghadirinya. Kata Kevin, ini sebuah kehormatan. "Ada yang mau Juna omongin nanti sama Mommy sama Daddy." Juna mengakhiri obrolan makan malam mereka dengan sebuah kalimat yang membuat Arsen
"Jangan lagi dekat dengan perempuan itu!"Kata-kata itu membuat Juna bagaikan tersambar petir. Dengan cepat ia menoleh ke arah Mommy yang berlinangan air mata. "Mommy nggak suka, dia udah bikin Mommy hampir kehilangan kamu." Barbara menggenggam erat tangan Juna, kepalanya menggeleng. "Jauhi dia!" pintanya dengan tatapan tak terbantahkan.Juna menggeleng. Ia sedang bermimpi, 'kan? Tak mungkin Mommy memintanya untuk menjauhi Diva. Iya, benar, ia sekarang pasti sedang bermimpi. Mommy sangat menyayangi Diva, dan menganggapnya seperti putrinya sendiri, tidak mungkin Mommy tidak menyetujui hubungannya dengan Diva. "Just leave her!" Suaranya bergetar hebat. Barbara terisak. Dia masih ingat bagaimana putranya setelah kepergian perempuan itu. Juna frustasi, beberapa kali mencoba untuk bunuh diri. Bayangkan apa yang terjadi seandainya percobaan bunuh diri itu berhasil, kematian Juna akan sia-sia karena ternyata Diva belum meninggal. Bukankah itu sangat keterlaluan? Sebagai seorang Ibu, dia be
Sedikit keterlaluan mungkin jika Diva dikatakan bangkit dari kubur. Namun, sebagai seorang asisten pribadi merangkap sekretaris salah satu pria dari keluarga Dirgantara, Kevin sudah terbiasa mendengar kata-kata pedas dan tajam itu. Sejak bergabung dalam William's Corps beberapa tahun lalu, ia lumayan mengenal anggota keluarga Dirgantara lainnya. Menurutnya, lidah tajam mereka adalah warisan turun-temurun dari leluhur keluarga mereka. Jadi, tak heran jika pria di depannya memiliki kata-kata yang pedas untuk Diva. Arsen Dirgantara adalah pria pemilik dari semua itu dan mewariskannya pada putra tunggalnya."Juna bilang sama saya, sama mommynya juga kalo pacarnya yang dulu meninggal, ternyata masih hidup, dan sekarang mereka kembali bersama." Jeda. Arsen memainkan bibir gelas, memutar-mutar gelas sebelum kembali menenggak cairan berwarna merah di dalamnya sampai tandas tak bersisa. "Apa kamu tau soal itu? Kapan mereka bertemu? Sejak kapan hubungan mereka dimulai lagi?"Sebanyak pertanyaan
Cepat Kevin meninggalkan tempat itu, ia tidak ingin menjadi pelampiasan kemarahan Arsen. Jika Juna yang marah adalah seekor singa jantan, maka arsen yang marah adalah pemimpin kawanan singa. Sangat mengerikan. Katakan ia pengecut, untuk sekarang ia tidak akan membantahnya apalagi marah. Jika ada yang mengejeknya karena mengakui dirinya adalah seorang pengecut, maka orang itu perlu bertemu dengan Arsen Dirgantara saat pria itu sedang dalam keadaan marah agar tahu definisi dari ketakutan yang sesungguhnya. Arsen seperti Dewa Kematian saja. Saat marah seperti tadi, wajahnya sedikit mirip dengan Juna. Sekarang ia juga baru mengetahuinya, sifat Juna yang sangat mirip dengan ayahnya. Kevin langsung mengunci pintu kamar setelah tiba di kamarnya. Bergegas ia menuju kamar Juna untuk memeriksa keadaannya. Kamarnya adalah kamar VVIP yang di dalamnya ada tiga buah kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi beserta kolam renang mini, dan sebuah dapur kecil. Ia bersama Juna menginap di kamar ini atas ta
Suara ketukan tak sabar yang berasal dari arah pintu depan membuat Kevin bangun tergesa. Matanya yang dibuka secara paksa berkedip beberapa kali. Sungguh, ia sangat mengantuk, tapi suara ketukan keras itu terlalu mengganggu. Tadi malam ia tidur sedikit lebih malam dari biasanya. Rencana untuk langsung tidur setelah pertemuannya dengan Arsen Dirgantara tadi malam, diurungkan. Ia lupa belum menyiapkan berkas-berkas yang akan dibawa Juna pada pertemuan hari ini. Omong-omong soal Juna, ia belum mengecek keadaan sahabatnya itu. Semoga Juna baik-baik saja, masih ada beberapa pertemuan yang harus dihadirinya, dan tidak bisa diwakilkan kehadirannya. "Wait a minute!" teriak Kevin dari balik pintu. Setiap kamar di hotel ini dipasangi peredam suara agar suara dari luar kamar tidak mengganggu kenyamanan tamu hotel yang bisa saja sedang tidur atau melakukan aktivitas santai lainnya. Begitu juga sebaliknya, oleh karena itu Kevin berteriak agar suaranya didengar oleh orang yang berada di balik pin
Sedetik pertanyaan balasan dari Juna mengubah raut wajah Barbara, di detik berikutnya dia sudah kembali seperti biasa. Tarikan napas panjang dilakukannya, kemudian mengembuskannya dengan pelan melewati rongga hidung. Putra kecilnya sudah mulai berani memberontak, putra Arsen sekali. Senyum tipis terbit di bibirnya yang dipoles dengan lipstik berwarna peach. Ada terselip rasa bangga, di samping kesal yang mendominasi. Namun, dia tak menunjukkannya di depan dua orang pria yang disayanginya. Dia tak ingin memancing keributan di antara mereka. Dia akan mengajak Juna berlibur berdua setelah pertemuan ini berakhir, dan berbicara pribadi dengannya. Dia berharap putranya tak memiliki sedikit kelembutan dari mendiang Maharani Dirgantara di dalam dirinya."I think, everything is under control. I wash right, am I?" Barbara menatap putra semata wayangnya dengan tatapan penuh makna. Dia yakin, Juna pasti mengerti arti tatapannya. Juna mengembuskan napas panjang melalui mulut. "Thank you, Mom." H