Share

RCDD | 5. Fariz Menyerah

Berbeda dengan Kaira yang tengah menyantap makan siangnya diiringi canda dan tawa, Fariz justru sebaliknya. Lagi-lagi ia harus menghadapi amukan beruang kutub, alias kedua orang tuanya yang tiba-tiba datang ke kantornya tanpa diundang.

Jika kemarin hanya Bian seorang, kali ini bersama Lina. Wanita itu sudah berceramah dari sabang sampai merauke, kesana kemari dari A sampai Z sambil hilir mudik dihadapan Fariz dan juga Bian. Sedangkan kedua pria itu hanya mampu memijat pelipis masing-masing sambil menghela napas panjang. Mau kabur tak bisa, menghentikan tak berani, bertahan lama-lama telinganya jadi panas, kan serba salah itu namanya.

"Mama itu cuma tidak kamu jadi jomblo bangkotan lo Ariz...Ariz..."

"Ma siapa juga coba yang mau jadi jomblo bangkotan, jomblo tu ya jomblo saja, bangkotan ya sudah bangkotan saja namanya itu sudah tua. La Ariz kan masih muda." Protes Fariz pada akhirnya. Niatnya hanya ingin diam sepertinya harus mencoba opsi kedua yaitu menghentikan dengan cara membantah sebelum akhirnya harus dengan opsi pertama yaitu kabur.

"Mama tu capek loh Ariz, CAPEK." Keluh Lina, ia juga menekan kata capek untuk mempertegas.

Fariz menghela napas putus asa. "Ariz juga capek, malah lebih capek dari Mama karena setiap hari Mama selalu maksa Ariz buat cepat menikah. Padahal jodoh saja belum kelihatan hilalnya. Pacar saja belum punya kok jodoh."

"Gimana mau punya pacar kalau kamu setiap hari ketemunya sama Tiara, Tian, kertas. Kalau saja Tiara itu mau, sudah Mama nikahin kalian. Sayangnya Tiara nolak waktu Mama tanya."

Kedua mata Fariz spontan membola, ia cukup terkejut dengan apa yang Lina katakan. "Mama serius?" tanya Fariz belum percaya.

Lina memutar bola matanya malas. "Ngapain juga Mama bohong, kurang kerjaan banget. Sayang sih Tiara nolak kamu mentah-mentah padahal Mama suka juga sama anak itu."

"Ma-" tegur Fariz berniat untuk menghentikan ucapan Lina.

Lina justru membuang muka, membuat Fariz yang mulai frustasi mengusap wajahnya kasar sambil menghela napas panjang.

"Ma, kapan sih Mama biarin Ariz tenang. Berhenti buat bahas soal nikah, nikah, nikah mulu. Ariz pusing Ma dengarkan." Keluh Fariz mengharap belas kasih.

"Nunggu Mama mati baru Mama bisa berhenti. Kayaknya kamu juga nunggu Mama sekarat dulu kok baru mau ngabulin permintaan Mama."

"Kenapa sih Mama selalu bilang itu terus, itu lagi. Lagipula apa kaitanya coba Fariz nikah sama Mama kenapa-kenapa?"

Lina menatap Fariz nyalang, tapi Fariz belum menyadari karena wajahnya masih ia benamkan di kedua telapak tangannya. "Jadi kamu memang pingin Mama sekarang terus cepet mati?" tanya Lina, sedikit meninggikan nada suaranya.

Fariz menarik napasnya berat, kemudian mengepalkan kedua tangan nya kencang-kencang sebelum akhirnya balik menatap mata teduh Lina. Semarah apapun Lina, dimata Fariz Lina selalu menatapnya dengan tatapan teduh penuh kelembutan.

"Ma-"

"Apa?" jawab Lina cepat.

"Apa? Mau bilang apa lagi? Mama bukanya mau keras sama kamu ya, tapi Mama juga semakin hari semakin bau tanah. Wajar Mama sudah tua, begitu kodratnya. Tapi kamu tahu? Betapa gilanya Mama sama Papamu ini cuma buat mikirin kamu ini? Anakku sudah dewasa, aku sudah tua, aku tidak bisa terus merawatnya, bagaimana anakku nanti waktu aku sudah tidak ada, siapa yang akan menjaganya menggantikanku. Begitu isi pikiran kami para orang tua. Terus, buat siapa kami selalu minta kamu buat menikah? Buat Mama? Atau buat Papa? Itu semua buat kamu Fariz. Kamu paham tidak sih?" ujar Lina panjang lebar. Susah payah ia menahan tangis. Ia tidak mau terlihat lemah saat ini.

Tapi Fariz, adalah anak yang sudah dilahirkan dan dibesarkan selama 32 tahun. Hal sekecil itu mustahil untuk tidak disadari olehnya.

"Ma...." ujar Fariz melemah. Ia tidak tahu harus berkata apa.

Buru-buru Lina mengalihkan pandanganya. Kemana saja asal tidak pada putranya.

Ruang kerja Fariz lenggang sesaat. Bian juga tak berani angkat bicara. Sejak tadi ia hanya berperan sebagai penonton. Namun kini tatapan ditebarkan pada Fariz. Tatapan yang dalam sekali penuh banyak arti.

Fariz yang ditatap seperti itu oleh Bian dan mendengar penuturan Lina barusan, Fariz jadi tak berdaya. Ia hanya mampu memejamkan kedua matanya beberapa saat, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan secara berulang untuk menenangkan dirinya dan menguatkan mentalnya.

Dengan sekali helaan napas panjang akhirnya Fariz berucap. "Oke Fariz nurut, sekarang terserah Mama mau seperti apa. Tolong carikan Fariz pasangan hidup." Itu katanya, setelahnya ia membenamkan wajahnya dalam kedua telapak tangannya.

Lina yang semula mengalihkan pandanganya akhirnya kembali menatap Fariz terkejut, Bian pun tak kalah terkejutnya. Setelahnya keduanya serempak mengembangkan senyum penuh kelegaan.

"Tapi Ariz minta, selama itu tolong jangan ganggu Ariz waktu lagi kerja. Pekerjaan Ariz sudah cukup terabaikan karena masalah ini. Mau seperti apa dan bagaimana orang nya terserah Mama Papa." Ujar Fariz dengan keputusan finalnya.

Ia hanya bisa berharap dalam diam, semoga tidak ada luka setelah luka.

*****

Selepas perdebatan yang cukup panjang dan melelahkan serta menggemparkan kala itu. Satu minggu berlalu sudah. Selama satu minggu belakangan tak ada huru hara yang terjadi dalam keluarga kecil Kamran.

Kedatangan Bian Kamran dan Lina Kamran berhasil mencuri perhatian seluruh karyawan di ZK Media, perusahaan periklanan terkemuka di kota Semarang. Bagaimana tidak, kedua orang tua bos mereka itu datang dengan wajah kaku dan tegang, sedangkan pulang dengan wajah berseri-seri hingga menyapa seluruh orang yang mereka lalui.

Perubahan yang terjadi pada Lina juga sangat membuat Fariz sering merasa bingung, dari peraturan di rumah yang tiba-tiba ganti secara mendadak tapi hanya khusus untuk Fariz tidak dengan Lina dan Bian. Tidak ada teriakan nyaring Lina yang mengomelinya karena sibuk bekerja dan lupa pulang atau makan. Semua hanya ada kelembutan dan kedamaian. Bukankah ajaib?

Seperti pagi ini misalnya. Hari minggu jam tujuh pagi, waktunya sarapan.

Fariz baru saja menyelesaikan pekerjaannya, belum sempat tidur barang semenitpun. Niat hati ia ingin turun untuk mengembalikan gelas kosong bekas kopi semalam, akan mencucinya lalu kembali ke kamar untuk mandi barulah sarapan. Tapi, baru saja ia memasuki area dapur sekaligus ruang makan, Lina sudah menyambutnya dengan senyum merekah.

"Ah, anak tampan Mama turun juga akhirnya. Ayo kita sarapan, Mama sudah masakin rendang daging kesukaan kamu," ujar Lina, menggiring Fariz kemeja makan.

Fariz yang tak terbiasa, tentu saja menautkan kedua alisnya. Keningnya berkerut. Hatinya berkata, "sejak kapan Mamanya mengizinkan seisi rumah makan masakan berat di pagi hari. Biasanya cuma ada salad, susu, roti gandum, omelet atau makanan-makanan sehat lain yang diolah dengan cara sederhana".

"Ma, Ariz belum mandi. Ariz cuma turun buat cuci cangkir kosong terus mau naik lagi mandi baru sarapan. Mama sama Papa duluan saja," kata Fariz apa adanya ia tak ingin cari masalah pagi-pagi dengan Lina. Mama nya ini juga paling anti dengan menyentuh sarapan disaat belum mandi.

"Ah gampang, mandi nanti saja bisa setelah sarapan. Sini cangkirnya biar Mama saja yang cuci," jawab Lina, mengambil cangkir itu dari tangan Fariz. Kemudian mendorong kecil Fariz agar duduk di kursi.

Fariz semakin bingung, ia melirik Bian. Tapi sayang pria tua itu sedang asik melahap sepotong roti gandum. Dan saat itu pula Fariz menyadari perbedaan menu sarapan antara dirinya dan kedua orang tuanya.

Belum sempat Fariz mengajukan protes. Lina lebih dulu mengisi piring Fariz dengan nasi dan rendang daging, mengisi gelas Fariz dengan air mineral hingga terisi penuh.

"Dimakan ya anak Mama tersayang, habisin. Mama mau cuci cangkir kosong kamu dulu." Katanya setelahnya berlalu meninggalkan Fariz yang terpaku dan Bian yang seolah acuh tak acuh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status