Setelah salat Magrib, suasana rumah Pak Wahyu tampak hening. Pak Wahyu dan istrinya masih berada di kamar, sedangkan Nur, Indah, serta Bagas berada di meja makan. Karena suasana duka, mereka sampai lupa makan. Perut baru bisa terisi setelah Bagas membeli makanan di luar. "Ibu sama Bapak udah makan, Neng?" tanya Bagas sembari menyuap satu sendok nasi dengan lauk tempe orek."Ini mau Neng anterin, A. Sok Aa makan dulu yang banyak. Mau ke kantor desa lagi, kan?" Pertanyaan itu diangguki oleh Bagas. Pria itu fokus makan, sedangkan Nur dan Indah menata nasi di piring dengan menu yang apa adanya, terpenting kedua orang tuanya mau makan. Setelah makan rencana Bagas akan pergi, pria itu melarang Pak Wahyu untuk ikut lagi."Biar aku yang anter ke kamar, Teh. Teteh temenin A Bagas aja." Nampan yang sudah berisi dua piring nasi beserta dua gelas air putih itu dibawa oleh Indah ke kamar. Tak lupa Nur meminta adiknya untuk menyuapi ibunya kalau perlu, sekalian memijat kaki. Merasa perutnya tida
Sudah tiga hari lamanya pencarian Nilam terus dilakukan. Untuk menghindari warga yang kelelahan, Pak Lurah sampai mengatur jadwal layaknya jadwal ronda. Begitu juga Bah Karsun, setiap malam beliau mencoba berzikir agar bisa berinteraksi dengan 'mereka' yang membawa Nilam, sayangnya mereka belum ingin terbuka. Bu Rodiah terlihat lebih kurus, seharian ia hanya duduk di teras—menatap jalanan, berharap semoga anaknya segera datang. Untung saja Nur dan Indah bersedia bulak-balik dari desa mereka ke Desa Wangunsari untuk mengurus Bu Rodiah. Untuk Pak Wahyu, beliau sudah tidak terlalu menunjukan kesedihannya, bahkan masih ikut aktif mencari. Pagi-pagi sekali Indah sudah datang membawa beberapa sayuran mentah untuk dimasak di rumah ibunya. Wanita berjilbab segitiga merah itu memarkirkan motornya di halaman, lantas menyalami Bu Rodiah yang masih duduk di teras. Kantung matanya tampak turun, akibat kurang istirahat. "Ibu, masuk, yuk. Teh Indah bawa bubuk cokelat, oleh-oleh dari A Hafiz. Past
Sebelum Bu Rahayu bercerita tentang kejadian semalam, Ela sadar dari pingsannya. Cepat-cepat Teh Rita membantu gadis itu berdiri lalu merebahkan badannya terlebih dahulu di ranjang agar lebih baikan. Tak lupa Bu Rahayu meminta putrinya membuatkan teh manis hangat untuk Ela. "Makanya, jangan ngelamun. Harus banyak istigfar," ucap Bu Rahayu sembari memijat kaki Ela. "Gak usah dipijat atuh Bu. Ela teh gak enak sama Ibu kalo kayak gini," ucap gadis itu berusaha bangkit dari posisi berbaringnya, tetapi Bu Rahayu menahan supaya Ela tetap diam. "Kamu udah Ibu anggap anak sendiri. Jangan ada bahasa gak enak segala. Sok diem sekarang mah. Namanya orang kesurupan, sebadan-badan sakit." Bu Rahayu beranjak dari ranjang, lantas berjalan ke arah nakas untuk mengambil minyak cengkeh di laci. Beliau dan Teh Rita selalu punya minyak itu untuk menghilangkan masuk angin dan juga pegal di badan. Tak berapa lama, Teh Rita datang membawa segelas air yang masih mengepul, ia menyimpan air tersebut di nak
Kedatangan Hafiz dan dua orang asing di jam malam itu disambut oleh keluarga Pak Wahyu. Nur sampai menyimpan ponsel milik Nilam di tempat paling aman. Tadinya, ia ingin langsung mencari nomor Putri, tetapi waktunya sangat kurang tepat. Nur dan Bu Rosidah dibuat saling pandang ketika melihat penampilan salah satu tamunya. Pria itu memiliki rambut putih dan panjang sampai pundak. Ia memakai ikat kepala batik, bajunya serba hitam, ditambah segala macam aksesoris dari batu-batuan membuatnya terlihat begitu ramai. Belum lagi janggut tangannya sibuk mengusap janggut yang senada dengan warna rambut. "Pak, Bu," ucap Hafiz sembari menyalami mertuanya dengan takzim. "Perkenalkan, ini namanya Abah Padri, beliau akan membantu kita untuk mencari Nilam."Ada senyum keterpaksaan dari Pak Wahyu. Bukan tidak senang, ia bersyukur banyak orang baik yang ingin menolong, apalagi ini menantunya sendiri. Hanya saja, ia tidak mau menambah beban dengan melibatkan lagi orang luar. "Silakan duduk dulu," ucap
Semua orang seolah membeku ketika seseorang memanggil dari luar. Gegas Nur berlari ke arah pintu lalu membukanya. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan ketika mengetahui siapa yang datang saat ini. Yaitu Teh Rita. Memang tidak dipungkiri, suara Teh Rita dan Nilam memiliki kemiripan.Ada desah kecewa dari Bu Rosidah. Wanita itu menjatuhkan diri di sofa, merasakan ulu hatinya sakit, juga asam lambung yang kembali naik akibat cemas berlebihan. Kalau sudah seperti ini, kakinya ikut mendadak lemas. Indah yang melihat wajah pucat ibunya buru-buru menghampiri. "Assalamualaikum. Maaf kalau saya teh sudah menganggu malam-malam. Sebenarnya saya tidak enak, tapi saya lihat lampu rumah ini masih menyala. Jadi, terpaksa saya ke sini buat nganterin ini." Teh Rita membuka tote bag yang ia bawa lalu menyerahkan kebaya putih dan kain milik Nilam yang diantar secara gaib. "Waalaikumsallam." Dahi Nur mengernyit, ia menatap pakaian yang dipakai oleh adiknya terakhir kali saat dia pergi. Bu Rosidah langsung
Tepatnya sekitar 44 tahun yang lalu, saat itu Rahayu berumur 16 tahun. Namun, keterbelakangan status sosial membuat anak pada zaman itu menikah di usia dini. Umur 16 tahun dianggap sudah sangat matang untuk berumah tangga.Rasa bahagia tentunya tengah menyelimuti perasaan Rahayu karena sang kekasih yang bernama Jaya, datang melamar. Dengan lantang Jaya meminta Rahayu pada Abah Yusman dan Mak Dasimah, pria itu ingin mempersunting Rahayu dengan segera."Abah mah gimana Rahayu saja. Kalau putri Abah mau, ya, silakan," ucap Abah Yusman sembari menghisap cerutu. Bau tembakau menguar, asapnya memenuhi rumah dengan dinding bilik tersebut. Rahayu tampak malu-malu di samping sang ibu ketika abah dan emaknya menatap ke arah Rahayu, seakan meminta jawaban. Perasaan cinta untuk Jaya terlampau besar, rasanya Rahayu sudah sangat mantap untuk menjalani hari-hari sebagai istri. Gadis berkebaya cokelat dengan motif bunga kecil itu mengangguk, membuat Jaya tersenyum bahagia. Pekerjaan sebagai buruh t
Langkahnya terhenti kala ia melihat Kusuma memeluk Jaya begitu erat. Tak ada kata yang keluar, hati Rahayu seperti teriris belati. Bibirnya bergetar, bebarengan dengan telapak tangan yang dingin dan berkeringat. Kedua insan itu berdiri di jalan setapak yang memisahkan ladang kanan dan kiri. Sementara itu, Rahayu langsung bersembunyi di sebelah kanan, tetapi masih bisa menyaksikan pemandangan mesra di depan sana. "Kenapa Akang malah mau nikah dengan Rahayu? Padahal, selama ini Akang tahu kalau Kusuma cinta sama Akang," ucap Kusuma, suaranya terdengar bergetar, tetapi masih ada desah manja yang keluar. Tangan Rahayu langsung mengepal di dada, merasa degup jantungnya mengencang. Ia tidak menyangka, padahal selama ini Kusuma terkesan mendukung hubungannya dengan Jaya. Jika saja Kusuma bilang, mungkin pantang bagi Rahayu untuk membuka hati. "Kita itu bagai bumi dan langit. Nyai anak Juragan, sementara saya hanya buruh tani. Tidak mungkin akan ada kisah cinta seperti dongeng. Nyai Kusum
Kendaraan roda empat milik Putri sudah sampai di halaman kos-nya. Karena tempat kuliah yang jauh, Putri terpaksa tinggal sendirian di ibu kota. Gadis berdarah Sunda itu tidak terlalu menyusahkan orang tua, sebab ia mendapatkan penghasilan dari kegiatannya di sosial media. Kosan Putri terbilang tempat yang cukup bagus, memiliki empat lantai dengan tipe C—di mana tipe ini mempunya fasilitas lengkap seperti AC, TV, ranjang yang bagus, dan pastinya tidak perlu memikirkan pakaian kotor. Semua sudah dijamin oleh pemilik kos. Putri yang sudah sampai di kamarnya, menjatuhkan diri di ranjang berseprai putih. Ia terdiam sejenak, merasakan keheningan yang membuat suasana semakin sepi. Sama seperti kehidupannya saat ini. Kesepian. Orang yang paling rajin menanyakan kabar adalah Ayu, apalagi saat mengetahui postingan Putri, saudaranya itu selalu meminta Putri untuk menghapusnya. Namun, tidak pernah Putri gubris sama sekali. Putri mulai bangkit dari tempat tidur, ia meraba remot AC yang tergele