Share

Bab 2

Part 2

Ucapan Kania hari itu selalu terngiang-ngiang. Beberapa kali ia berusaha menepis rasa curiga, yang sempat terlintas akibat ucapan rekan kerjanya tersebut.

Gak mungkin mas Bara mandul. Bukankah ia terlihat baik-baik saja dan memiliki sperma yang cukup bagus. Alice membatin dalam hatinya. Seraya mengungat-ingat kembali, saat dirinya berhubungan intim dengan sang suami.

Tiba-tiba sebuah suara khas mengejutkan dirinya, dan telah berada tepat di belakangnya.

"Wah, wah, ternyata begini toh kerjaan kamu saat sedang libur kerja. Lihat nih, rumah berantakan kaya gini tapi kamu malah leyeh-leyeh." Mariam tersenyum sinis ke arah Alice. 

"Bu, kapan datang?" Alice segera menghampiri dan mencium tangan Mariam.

"Sudah dari tadi. Ibu ucapin salam, tapi kamu tidak juga menyahut. Akhirnya ibu langsung masuk saja." Mariam menjawab seraya menerima tangan Alice dengan ekspresi datar.

"Maaf Bu, aku sedang menyelesaikan pekerjaan. Besok ada event, jadi harus benar-benar dipersiapkan dengan matang." Alice tersenyum lalu mempersilahkan Mariam untuk duduk.

Tanpa ekspresi sedikit pun, Mariam langsung duduk di sofa pijat yang tersedia di pojok ruangan.

"Ibu mau refleksi dulu. Kamu nyalakan mesinnya." Titah Mariam, yang kemudian memejamkan matanya sesaat sebelum akhirnya membuka sebentar untuk melihat pergerakan tubuh Alice.

"Pantas saja kamu belum bisa punya anak. Lah wong mikirin kerjaan terus, bukan mikirin gimana caranya punya anak!" cetus Mariam santai.

Alice hanya tersenyum, ia sudah tidak kaget lagi dengan ucapan sang ibu mertua. Bahkan, ia selalu mempersiapkan telinganya untuk mendengar cacian Mariam setiap bertemu dengannya.

"Kalo dibilangin kok malah senyum-senyum. Kamu tuh mikir kenapa sih, Lice! Ibu malu loh, kalo dengar omongan tetangga di rumah. Lihat kakaknya Bara, baru nikah tiga tahun saja, sudah punya anak dua." Mariam terus saja bicara, sambil menikmati pijatan pada kursi yang di dudukinya.

Ya beda dong, Bu. Kan kalo mbak Anisa nabung duluan, makanya bisa punya anak dua dalam waktu tiga tahun pernikahan. Alice menggumam seraya meletakkan teh manis hangat di atas meja.

"Kamu bilang apa barusan? Ibu ndak dengar." Mariam membuka matanya dan mengarah ke tempat Alice duduk.

"Ndak apa-apa, Bu. Cuma bilang silahkan di minum tehnya." Alice kembali tersenyum dan menatap ke arah Mariam.

"Oh, nanti sajalah minumnya. Ibu mau pijat dulu." Mata Mariam kembali terpejam usai mengatakan hal tersebut. Hatinya selalu kesal dengan sikap Alice, yang begitu tenang saat di sindir perihal kehamilannya.

"Kamu sudah ke dokter lagi?" tanya Mariam selang beberapa menit kemudian.

Alice yang tengah serius menatap layar laptopnya langsung menoleh dan menjawab, "Sudah Bu." 

"Apa kata dokter?" 

"Mas Bara di suruh hadir juga dalam pemeriksaan." 

"Loh, kenapa bawa-bawa Bara? Kan bukan dia yang hamil?!" Mariam bertanya dengan wajah kesal.

"Kalau dalam keterangan dokternya, kedua belah pihak harus ikut diperiksa, Bu. Bukan salah satu saja." Alice menimpali pertanyaan Mariam, dengan menatap lekat wajah wanita paruh baya tersebut.

"Aah! Itu sih bisa-bisaan kamu, bilang saja minta ditemani ke dokter. Dasar manja!" cetus Mariam seraya memejamkan matanya kembali.

Alice hanya tersenyum mendengar ucapan sang ibu mertua. Meski dalam hatinya selalu terasa sakit, setiap habis mendengar ucapan Mariam, namun ia tetap sikapi dengan senyuman.

"Kalau sampai tahun depan kamu belum juga hamil, Ibu mau jodohkan Barana dengan anak sahabat sekolah Ibu dulu. Dia seorang janda, baru punya anak berusia lima tahun. Cantik, pekerja kantoran, dan yang pasti bisa memberikan keturunan untuk Barana. Tidak seperti kamu!" Mariam kembali berkata, namun kali ini penuh dengan penegasan. 

Alice yang mendengar ucapan Mariam barusan, segera mengalihkan pandangannya dari laptop. Tubuhnya tiba-tiba terasa sangat sesak dan tak berdaya, bagaikan dihantam palu dari berbagai arah dan meluluh lantakan pertahanannya selama ini.

Senyum manis yang selalu menghiasi bibirnya, adalah perisai diri agar ia terlihat baik-baik saja meskipun dicaci dan dihina seperti apapun. Akan tetapi kali ini, perisai itupun telah hancur dan sirna.

Tangisnya pun sudah tak tertahan lagi. Alice segera berlari menuju kamarnya, mengabaikan teriakan dari Mariam yang tengah tersenyum sinis.

Biar mikir tuh anak! Di diamkan bertahun-tahun, gak mikir juga. Dia pikir aku gak malu apa, setiap arisan pada menanyakan kondisinya! Mariam menggumam sambil menikmati pijatan di kursi refleksi tersebut.

Matanya kembali terpejam dan mengingat pertemuannya dengan Indah beberapa waktu lalu. Senyum menghiasi bibirnya yang tebal, karena mengingat ucapan sahabatnya itu.

"Mar … gimana kabarnya putramu, Bara? Sudah hamil belum istrinya?" Indah bertanya sambil menyesap es teh manis di hadapannya.

"Belum Ndah, gak tahulah aku harus apalagi. Padahal mereka sudah ke dokter manapun dan belum membuahkan hasil juga." Mariam menjawab pertanyaan sahabatnya dengan wajah belagak bersedih.

"Lah terus dokter bilang apa?"

"Ya katanya mereka berdua baik-baik saja. Tapi ya begitulah, tetap saja belum dikaruniai anak. Aku jadi pusing dan malu, Ndah." Mariam memasang mimik sedih dihadapan sahabatnya. 

Sebenarnya sejak dulu Mariam menginginkan Barana menikah dengan putrinya Indah. Tapi apa daya, Barana menolak dan memilih menikah dengan Alice.

"Coba kalau dulu dia nikah dengan Sarah, pasti sekarang udah bahagia hidupnya!" cetus Mariam melirik ke arah Indah. 

"Sayangnya, Sarah pun sudah bahagia dengan pilihannya sekarang." Mariam kembali menambahkan ucapannya. Ia ingin melihat ekspresi sahabat, yang telah lama tidak bertemu dengannya itu.

"Mar … kamu tahu tidak? Sebenarnya Sarah sudah berpisah dengan suaminya sejak setahun lalu. Suaminya ketahuan berselingkuh dan telah mempunyai anak dari selingkuhannya tersebut." Wajah sedih Indah mulai terlihat saat menceritakan kehidupan putrinya.

"Astaghfirullah … kasihan Sarah. Coba jika dia menikah dengan Barana, pasti tidak akan mengalami hal seperti itu." Mariam segera memeluk Indah dan menghiburnya.

Indah hanya tersenyum sesaat sebelum akhirnya ia memiliki sebuah ide untuk Sarah dan Barana.

"Mar, kita nikahkan saja Barana dengan Sarah. Putramu tidak harus bercerai dengan istrinya, cukup jadikan Sarah istri kedua. Bagaimana menurutmu?" tanya Indah dengan tatapan penuh harap kepada Mariam.

Mariam yang mendengar ide Indah segera menyetujuinya. Ia pun segera memeluk sahabatnya kembali dan berkata, "Tapi kita jangan tergesa-gesa dulu, Ndah. Beri waktu pada mereka untuk saling dekat kembali. Aku pun sekalian memberi ultimatum kepada menantuku, agar ia berpikir."

Indah tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Mereka berdua kemudian tertawa lepas, membayangkan kelak kedua anak mereka benar-benar menikah.

**

Sejak mendengar ucapan Mariam beberapa hari lalu, hati Alice berubah menjadi penuh curiga kepada suaminya. Terlebih jika Barana tidak memberinya kabar sama sekali jika sedang berada di kantor atau di luar rumah.

Tangisnya kembali pecah, mengingat semua hal yang ia alami. Tak ada tempat baginya untuk bercerita, perihal rencana sang ibu mertua. 

Alice bukanlah tipe yang mudah percaya dengan orang lain. Alhasil ia pun menghabiskan waktu sendirian dengan menangis dan meratapi hidupnya.

                      ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status